Ingin berteriak pada Luke tentang keputusan sepihaknya yang sangat membuat hatiku jengkel dan kesal. Namun urung, ternyata rumah pilihan Luke lumayan bagus. Rumah tipe 42 di ujung jalan dengan tiga kamar utama, ruang dapur yang luas dan terbuka menghadap kolam renang. Mungkin Luke sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, karena perabotan rumah pun terlihat lengkap. Walaupun tidak ada satupun perkakas rumahku yang dia bawa. Didominasi oleh bahan material kayu, rumah baru yang kami tempati ini terlihat adem dan nyaman. Aku segera merasakan tidak asing dan damai.
Wajahku masih terlihat tidak bersahabat. Luke berusaha menunjukkan semua sisi baik dari rumah baru kami, tapi aku memilih untuk pura-pura tidak acuh. Akhirnya makhluk itu memilih menyibukkan diri dan berhenti menciptakan bahan obrolan yang tidak aku tanggapi sedikit pun.
Rabu ini aku berencana mengundang ketiga temanku untuk merampungkan tugas perpajakan Pak Hartono yang kian hari kian sulit. Ini berarti aku harus meminta ijin kepada Luke. Kuintip dia dari ruang tamu, dia tampak sibuk merapikan beberapa kertas di meja kerjanya. Jujur aku agak geli melihat Luke menyediakan meja kerja untuk dirinya sendiri di ruang tengah. Mana ada iblis yang butuh file? Bukannya semua ada dalam otaknya? Kalau punya otak, cibirku dalam hati.
"Nggak usah ngintip-ngintip. Apalagi ngomongin orang dalam hati. Dosa," seru Luke masih memilah-milah kertas ditangannya. Aku gugup hampir menjatuhkan ponselku ke lantai.
Merasa kepergok, dengan setengah hati aku berjalan mendekati Luke.
"Aku mau mengundang ketiga temanku untuk bikin tugas kuliah Rabu ini," aku mengucapkan tanpa melihat sedikit pun ke arahnya. Aku asyik memandang lemari yang berisi koleksi aneh Luke, piala yang terbuat dari berbagai macam material dan dari bentuknya beberapa sudah kusam serta jelek.
"Terus?" sahutnya.
"Ya aku mau undang mereka itu aja. Semoga aja kamu nggak mengacaukan dengan tingkah anehmu," ledekku sambil memeragakan tangan seperti penyihir yang melemparkan mantra. Luke tertawa lepas. Makin lama makin tidak terkendali. Aku malas mendengar nada tertawanya, hatiku sudah dipenuhi kejengkelan.
"Rie, rumah ini adalah rumah kita, kamu bebas mengundang siapa pun," ucapnya pelan, matanya memancarkan sinar kelembutan, aku membuang muka tidak mau hanyut dalam pesona palsunya.
"KECUALI, orang yang tidak kamu kenal," ucapan terakhirnya cukup tajam dan diberi tekanan untuk kata kecuali.
Aku membatalkan kelegaan hatiku, ada rasa penasaran yang menggelitik. Luke tahu aku tidak akan membawa orang asing ke rumah.
"Apa maksudmu dengan orang yang tidak kukenal Luke?" tanyaku. Luke meletakkan semua kertas dan mempersilahkan aku duduk
"Kamu tahu berapa banyak makhluk dalam wujud manusia seperti aku?"
Aku menggeleng atas pertanyaan Luke.
"Jutaan Rie. Mereka penuh tipu daya, mulut manis, selalu licik dan tidak kenal belas kasihan."
Aku menelan ludah menunggu penjelasan Luke berikutnya.
"Kelemahan dari kaum seperti mereka yang menyamar wujud manusia adalah, tidak akan bisa memasuki rumah jika kita tidak mengundang mereka masuk. Selain itu, selamatlah rumah orang-orang beriman yang masih mengumandangkan doa di dalam rumah mereka, karena penangkal bagi makhluk busuk untuk datang dan menghuni," lanjut Luke sambil bersedekap.
"Aku tidak akan mengundang dengan sembarangan. Janji," ungkapku dengan suara gemetar. Luke mengangguk dan tersenyum hangat.
"Siapkan dirimu, kita akan mengunjungi rumah gadis yang kuceritakan tempo hari. Dia bukan manusia, tapi iblis yang mulai mencari tumbal. Jangan sampai ada korban berikutnya, repot aku harus mengurus proses transfer dari neraka ke alam tunggu," ujar Luke. Aku meremas ujung kaosku dengan gemetar. Walaupun awalnya berniat baik, tetap di ujung kalimat dia tidak mau repot apalagi rugi. Mengetahui bahwa makhluk yang hidup bersamaku adalah salah satu penghuni neraka, kadang membuatku dibayangi rasa ngeri.
"Apa bedanya dengan engkau. Kamu adalah salah satu dari mereka," desisku lancang. Luke sontak berdiri dan mendekatkan mukanya ke wajahku hingga berjarak sepuluh senti.
"Aku penghukum, bukan perusak. Dan aku bukan makhluk hina seperti mereka," bisiknya pelan namun tajam. Aku bisa mencium aroma vanila dari hembusan napasnya. Sesaat aku terpesona oleh tatapan dalam dan misterius Luke. Dengan kikuk aku berdiri dan meninggalkan dia tanpa berucap sepatah kata pun.
Tanpa membuang waktu, kami berangkat satu jam kemudian. Rumah yang kami tuju berada di kawasan daerah perbatasan kota yang cukup sepi. Dari depan rumah itu tampak terawat baik. Pagar besi rendah mengelilingi rumah bercat abu-abu. Luke mencoba mencari bel rumah tapi tidak ditemukan. Aku mendekati pintu pagar, tergembok dari dalam. Luke mengacungkan tangannya dan gembok itu hancur berkeping-keping tanpa suara. Aku terhenyak.
"Aku bingung, kenapa kamu masih butuh aku terus menemani kamu," gerutuku pelan.
"Seorang laki-laki dengan usia tiga puluhan tidak akan terlihat mencurigakan jika berjalan bersama seorang gadis cantik," sahutnya enteng dan masuk ke dalam. Mukaku memanas. Aku jengah. Pujiannya sedikit melambungkan hatiku. Menurut Luke aku cantik. Benarkah?
Kami berdua berdiri di teras dan mengetuk pintu berkali-kali. Tidak ada sahutan sedikit pun. Luke mendekatkan telinga di pintu dan tersenyum. Dengan sekali tendangan, pintu itu terbuka.
"Luke, jangan konyol!" pekikku. Luke tidak peduli. Aku menengok kanan dan kiri, berharap tidak ada satu pun tetangga yang melihat kami.
"Tunggu di luar!" perintahnya.
Sore itu ternyata sangat sepi. Bahkan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, aku bernapas lega dan tanpa mengindahkan larangannya, menyusul Luke masuk.
Ruangan itu gelap. Aku pikir ini rumah normal seperti yang terlihat dari luar. Tapi ternyata di dalam ruang tamu penuh dengan sesajen dan lambang yang aku tidak tahu apa artinya. Simbol- simbol aneh yang baru sekali ini kulihat tersebar di seluruh ruangan dan dinding. Aku mencari Luke, dan kudengar suaranya dari lantai atas. Segera kakiku menapaki anak tangga naik dan melihat ada pintu kamar yang terbuka.
"Aku tidak akan menunggu dengan sabar terus. Keputusanmu, menyerah sekarang atau berakhir dengan hal yang tidak kau bayangkan sama sekali," seru Luke terdengar tenang.
Aku membuka pintu perlahan dan pemandangan di depanku membuatku mual sekaligus jijik bercampur ngeri.
Wanita itu memiliki tanduk mencuat di dahinya, dengan kulit tubuh berwarna merah dan dari belakang tubuhnya muncul ekor yang bergerak liar. Kedua buah dada perempuan itu hanya tertutup rambut dan kakinya mirip kaki kuda. Aku menjerit tertahan. Luke menepuk dahi dengan kesal.
"Kenapa naik kesini, aku bilang tunggu di luar!" seru Luke. Aku menutup mulutku dan menggeleng tidak karuan.
"Wah … wah Sang Fallen Angel, panglima tertinggi neraka memiliki gadis simpanan, kupikir seleramu jauh lebih bagus, ternyata hanya manusia rendahan seperti dia. Apa istimewa gadis ini Luke …," wanita siluman terkekeh dan mengejek.
Luke menjulurkan tangan dan menghantam siluman dengan sinar putih menyilaukan. Wanita itu menjerit kesakitan. Luke mendorongku keluar kamar dan di depan dia memegang wajahku sambil setengah membungkuk karena saking tingginya tubuh Luke.
"Please tunggu di luar," pintanya berharap. Aku mengangguk cepat dan berlari ke bawah.
Aku hampir terjatuh karena panik saat menuruni tangga. Sesampai di teras aku duduk gemetar. Wanita siluman itu menyebut Luke sebagai fallen angel yang menjadi panglima tertinggi di neraka. Oh Tuhan, apa yang membuatku harus terlibat dengannya. Kesalahan apakah yang pernah kuperbuat hingga iblis itu memilihku. Usiaku baru 20 tahun, dan aku tidak pernah melakukan hal konyol dalam hidupku. Bahkan dicium oleh lelaki pun aku belum pernah. Aku selalu taat kepada kedua orangtua dan kakakku, tidak pernah aku lupa beribadah. Tapi lihat apa yang kualami sekarang. Aku ingin bebas dari rasa takut ini!
"Rie …," Luke memanggilku dari belakang. Aku diam tidak menengok. Kupeluk kaki kuat-kuat. Luke menghela napas. Dia melangkah mendekat dan duduk di sebelahku.
"Ya, itulah aku. Malaikat terbuang yang harus berpuas diri hidup di neraka. Satu kesalahan yang pernah kuperbuat, dan hukuman jatuh seumur hidup. Sedangkan kalian manusia, walau terus menerus berulang-ulang berbuat kesalahan, Magna Patris selalu memaafkan. Tetap saja manusia kurang bersyukur," dengus Luke kesal. Aku mencengkeram lengan jaketnya.
"Aku ingin bebas dari rasa takut Luke …," bisikku hampir tidak terdengar. Luke menepuk tanganku pelan.
"Itulah manusia, takut yang pada terlihat jelek dan beda dari mereka, tapi tidak pada yang terlihat bagus dan indah . Rubah caramu berpikir, jangan dangkal. Dunia ini terlalu luas untuk dimengerti. Tapi setidaknya kamu memahami satu hal dasar. Jangan menghakimi hanya berdasarkan opinimu," katanya seraya bangkit.
"Kita pulang sekarang?" ajaknya. Aku mengangkat wajahku, Luke berdiri dengan kedua tangan di saku. Tubuhnya menjulang ke atas, mungkin sekitar 188 cm tingginya. Perawakannya tegap dan proporsional, aku baru sadar inilah lelaki yang selalu digandrungi para wanita. Aku ingin menaruh kepercayaan padanya, tapi sulit. Logikaku menolak naluri yang terkadang muncul dihatiku. Aku bangun dan berjalan mendahului Luke masuk ke dalam mobil.
Kami pulang dalam diam, Luke menyetel musik dan membesarkan sedikit suaranya. Alunan suara lagu mengalir dengan merdu. Aku memejamkan mata. Kusandarkan kepala di kaca dan meresapi tiap kata yang terucap dari sang penyanyi, Mercy by Shawn Mendez.
Dalam diam aku mulai berpikir. Haruskah aku mencoba untuk mencoba percaya padanya? Atau membebaskan diri daripada harus meminta belas kasihan padanya terus menerus? Luke seperti tidak peduli bagaimana memperlakukanku.
Dia tidak mengetahui bahwa enam bulan beradaptasi bukan hal yang mudah. Dia menghujaniku dengan kata-kata pedas dan memaksaku untuk memahami arti hidupku yang sekarang. Terkadang dia baik dan penuh perhatian, pada lain waktu dia juga tanpa belas kasihan mengajakku untuk melihat hal-hal asing yang mengerikan dan sulit untuk diterima.
You've got a hold of me
Don't even know your power
I stand a hundred feet
But I fall when I'm around you
Show me an open door
Then you go and slam it on me
I can't take anymore
I'm saying baby
Please have mercy on me
Take it easy on my heart
Even though you don't mean to hurt me
You keep tearing me apart
Would you please have mercy, mercy on my heart
Would you please have mercy, mercy on my heart
I'd drive through the night
Just to be near you, baby
Heart open, testify
Tell me that I'm not crazy