Chereads / Riona / Chapter 27 - The Watcher Story and Welcoming

Chapter 27 - The Watcher Story and Welcoming

Tahun 1809

Tahun tersebut dunia cukup berada dalam kondisi kacau dan banyak bermunculan makhluk terkutuk seperti manusia serigala dan vampir yang merajalela. Perang banyak berlangsung dan negara yang kuat di daerah barat merambah ke wilayah timur untuk menjajah.

Eropa berada dalam masa kejayaan koruptor yang cukup membuat para bangsawan negara tersebut tergeser. Sebuah keluarga bangsawan yang mulai bangkrut, William Farley, mengungsi di pedesaan dan hidup seadanya. Tidak lama William Farley meninggal dan Mariane istrinya menjanda. Tinggal bersama beberapa adik ipar dan kandungnya, Mariane mencoba bertani. Kebetulan sekali, mereka bertemu dengan Luke.

Dalam kondisi terluka parah setelah bertarung, Luke terdampar di perkebunan keluarga tersebut. Luke menghadapi sekelompok iblis pemberontak di daerah Eropa timur yang pada waktu itu disebut sebagai daerah paling tidak beradab lalu kalah. Keluarga Mariane Farley menolong dan menyembunyikan Luke hingga berhasil merekrut tentaranya kembali.

Tugas Luke untuk menumpas iblis dan jin yang merajalela di Eropa timur, mengharuskan Luke tinggal dengan keluarga Farley untuk sementara waktu. Cinta bersemi antara Luke dan Fiona, keduanya menjadi pasangan kekasih yang saling mencintai. Sayang, hubungan keduanya menjadi perbincangan di dunia Luke. Bahwa hubungan seorang manusia dan tentara iblis maut adalah terlarang. Luke berjuang untuk mendapatkan ijin dari atasannya, panglima Iraze. Namun berujung ultimatum yang membahayakan kedudukannya sebagai prajurit iblis pangkat rendah. Luke memilih mundur dan mengorbankan perasaannya.

Keluarga Fiona yang akhirnya mengetahui bahwa Luke adalah tentara berbakat dari hirarki kerajaan jurang maut Abaddon, mulai mengatur siasat. Jika Luke melindungi keluarga Farley, maka mereka akan terbebas dari tekanan kericuhan. Bahkan mungkin hidup berkecukupan karena Luke bisa memberi segalanya untuk mereka. Mariane dan semua keluarganya mencari cara terbaik supaya rencana mereka berhasil.

Kala itu, vampir mulai merambah daerah mereka dan cukup meluas dengan cepat. Ibu dari Fiona, Mariane, mengambil keputusan yang sangat mengerikan. Dia mengubah semua keluarganya menjadi vampir. Dengan status barunya, Mariane berharap Luke akan menjadikan Fiona permaisurinya. Tidak ada lagi perbedaan signifikan antara keduanya dan restu dari Iraze akan mereka dapatkan. Mariane semakin yakin akan rencananya. Terutama saat Luke menjadi kesayangan raja Abaddon dan mendapat pangkat yang sejajar dengan Iraze atasannya.

Sayangnya, Luke tidak lagi memiliki perasaan yang sama. Fiona Farley menjadi pribadi yang berbeda setelah berubah menjadi vampir. Sepak terjang Fiona sebagai vampir muda sangat mengerikan. Gadis itu mengumbar tubuhnya untuk menarik dan mengumpan para korban. Seks bebas adalah gaya hidup Fiona dan keluarga. Mereka membantai hampir seperempat dunia timur.

Tahun 1850

Luke yang diutus untuk meredam dan membinasakan keluarga Farley. Tapi karena hutang budinya dulu, ia memilih untuk menyelamatkan mereka ke daerah barat. Keberadaan keluarga Farley dirahasiakan dari siapapun. Mariane berusaha untuk menarik simpati Luke supaya kembali. Namun tidak peduli seberapa kuat usaha mereka, Luke tidak pernah memilih untuk kembali pada Fiona. Mariane sangat kecewa namun tidak mampu memaksa. Selama beberapa abad Luke mengawasi keluarga Mariane. Mereka harus bersumpah untuk tidak lagi membuat keributan dengan menjauhi manusia dan tidak memangsa satu pun dari mereka.

***

Lelaki tua itu setelah selesai bercerita bangun dan hendak berlalu. Bian menahannya.

"What is your purpose by told us those story?" tanya Bian. Lelaki tua yang ternyata seorang suku indian, tersenyum.

"I'm their the watcher, and as the story teller of Farley family, I live to tell and make sure the history is always be remember. Just becareful, if Luke not coming on time, your life might in danger," katanya pelan. Tanpa berpamitan, lelaki Indian itu berjalan masuk dan meninggalkan kami berdua. Perilakunya yang ganjil ternyata justru memberikan informasi yang akan menyelamatkan hidup kami.

"Rie, cerita itu. Apakah kau mempercayainya?" tanya Bian lirih. Aku mencengkeram lengan Bian.

"Kita tinggal dengan kelompok vampir Bian," bisikku ketakutan. Bian memeluk pundakku dan mengajak untuk bergegas masuk.

Kami segera masuk kamar dan mengunci pintu rapat. Bian memeriksa setiap jendela dan celah. Memastikan semua tertutup rapat. Aku mengeluarkan laptop dan berusaha mencari informasi tentang cara memusnahkan vampir. Bian tertawa kecil.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Kamu belum pernah nonton film tentang vampir sampe segitunya nyari?" jawab Bian. Aku menggeleng kemudian mengangguk.

"Hidupku terlalu serius dulu, Bi. Aku pernah nonton sih, tapi tidak pernah tamat karena mas Andre keburu mergokin. Syukurlah Mariane juga mengundangmu. Kalo nggak, mungkin aku sudah menyusul keluargaku," kataku penuh syukur.

"Hush, jangan bilang gitu ah." Bian tampak tidak ingin mendengar asumsi buruk lagi. "Kita tunggu besok pagi. Kalo Luke nggak dateng juga, kita pindah ke kota," ucap Bian memberitahu rencananya.

"Gimana caranya? Kota jauh banget, kita harus menempuh satu jam lebih," keluhku putus asa.

"Aku lihat ada kafetaria kecil di ujung perempatan sebelum kesini. Kita bisa ke sana untuk minta bantuan." Aku mengagumi ketelitian Bian. Dia sungguh orang yang bisa diandalkan.

"Aku sholat dulu, kamu juga jangan lupa doa," kata Bian bergegas ke kamar mandi untuk wudhu. Aku melirik jam di tangan. Jam delapan malam. Perutku hanya terisi daging sedikit tadi karena Mariane merusak selera makanku. Rasa lapar mulai menyerang. Tapi apa daya, aku tidak ada simpanan snack.

Satu setengah jam kemudian, kami selesai berdoa. Aku menyimpan rosario dan mengeluh perutku lapar. Bian mengeluarkan snack kacang bawang. Aku melonjak kegirangan. Kami berdua menari menikmati snack berharga kami sambil bernyanyi riang. Sungguh momen sederhana yang mampu memberikan kekuatan untuk bertahan hidup. Tidak lama kemudian kami lelah dan kemudian terlelap.

Entah sudah berapa lama kami tertidur, saat Bian membangunkan aku dan memberi isyarat untuk diam. Ketukan di pintu kembali terdengar. Bian memakai jaketnya dan membuka pintu perlahan, Fiona berdiri di sana dengan gaun berwarna biru gelap. Aku tidak bisa mendengar jelas pembicaraan mereka. Semenit kemudian Bian menutup pintu.

"Mereka mengundang kita untuk menyambut kedatangan Luke dan tentaranya."

Wajah Bian terlihat tegang. Aku langsung terjaga.

Tiba-tiba aku dilanda kepanikan dan bingung harus bersikap bagaimana. Kali ini aku akan berjumpa lagi dengan Luke setelah enam bulan terpisah. Bian terus menggerutu karena harus bersiap diri lagi di saat lelah dan penat masih terasa.

"Gila udah jam dua belas malam dan mereka mengadakan acara penyambutan," keluh Bian. Pengukur suhu ruangan di luar menunjukkan angka -9°C. Aku memutuskan untuk memakai baju berlapis sebanyak mungkin. Di lemari kami ternyata tersedia juga jaket bulu yang khusus dibuat untuk iklim dingin. Bian mengajakku segera bergegas. Aku mengikutinya dengan kikuk. Tebalnya baju membuatku sulit bergerak.

Hampir semua yang hadir makan malam tadi berkumpul di halaman rumah. Api unggun besar tersusun di tengah. Kayunya gemeretak terbakar dengan cepat. Bian menghela napas pendek.

Tidak ada satupun yang memperhatikan kehadiran kami. Bian mengajakku berdiri di dekat tangga naik ke teras. Menyadari bahwa kami berada di antara puluhan vampir sempat menciutkan nyali. Tapi mungkin bagi mereka, kami bukan mangsa yang perlu diburu. Mengingat Mariane memperkenalkan kami sebagai tamu dari Luke.

Suara seperti sangkakala ditiup berbunyi. Lampu obor yang tersebar di seluruh halaman dan jalanan ke bawah membuat pemandangan yang indah. Begitu suara berhenti, langit bergemuruh seperti suara petir. Semua menengadah.

Lututku gemetar saat menyaksikan puluhan sosok besar seperti sedang memacu kuda muncul dari langit yang gelap. Jumlahnya mungkin sekitar dua puluh mahkluk yang mengendarai kuda yang bermata merah dan berekor api. Mahkluk-mahkluk tersebut memakai baju perang lengkap dengan zirah besi. Tubuh mereka besar seukuran pohon beringin. Wajah makhluk tersebut terlihat bengis dan bertanduk di dahi. Kulit mereka merah membara. Inikah yang disebut dengan tentara neraka? Saat pasukan itu mulai mendarat dan berbaris rapi satu persatu. Aku mulai mengenali seseorang yang terlihat paling kecil di antara mahkluk raksasa yang duduk di atas kuda. Luke.

Aku menutup mulutku. Dia tampak berbeda. Kedua tanduk muncul di dahi dan bajunya menunjukkan bahwa dia adalah panglima pasukan. Inikah wujud Luke yang sebenarnya? Aku terhuyung mundur. Bian mendesiskan nama Allah. Oh Tuhanku, diakah lelaki yang kucintai? Kenapa aku tidak bisa menerima fisiknya yang mengerikan? Ketakutan menyergap hatiku dan pikiranku dipenuhi oleh bayangan horror.

Saat Luke turun dari kuda api, serentak kumpulan vampir bersimpuh. Mahkluk raksasa meneriakkan yel-yel yang tidak kumengerti, tapi suaranya menggetarkan es yang menjadi pijakan kami. Setelah berteriak selama beberapa detik, Luke memberi isyarat untuk mereka berhenti.

"Grata retro Dominus Lukas," seru kelompok vampir serentak dan berdiri. (Selamat datang kembali Tuan Lukas). Aku memahami sedikit bahasa latin, mereka menyebut Luke sebagai junjungan mereka.

Mariane maju dan menundukkan kepala tanda hormat. Luke mengangguk. Fiona berjalan anggun ke arah Luke. Dengan gerakan tubuh pelan, Fiona membungkuk.

"Luke ...," sapanya dengan lembut.

"Fiona," sambut Luke sambil tersenyum. Tiba-tiba pandangannya mengarah kepadaku dan Bian. Aku semakin merapatkan tubuhku ke Bian. Seluruh mata sontak memandang kami berdua. Baru dua langkah Luke berjalan menuju kami, Fiona berseru,

"Its time for coffee isn't it?" Suaranya terdengar manja.

Luke terhenti sebentar. Aku mengambil kesempatan itu untuk berlari ke dalam dan menghindar. Kakiku terus melesat menapaki anak tangga dan masuk kamar. Kulepas semua jaket dan bajuku buru-buru dengan setengah gugup. Aku tidak bisa melupakan wajah Luke yang bertanduk. Tangan dan kakiku terus gemetar tidak bisa berhenti. Kudekatkan tubuh pada perapian. Rasa hangat mulai menjalar. Kucoba menenangkan hati dan pikiranku. Luke yang kukenal sangat lain, bukan seperti itu!

Batinku terus menyangkal. Logika dan hatiku bertentangan. Bagaimana aku bisa menerima kekurangan Luke, jika melihat fisiknya saja aku tidak sanggup. Inikah yang dimaksud Luke dulu? Manusia hanya cenderung menilai dari permukaan saja? Dangkalkah pemikiranku? Bian menyusulku ke kamar.

"Rie," panggilnya khawatir. Aku memandang Bian dengan gigi bergemelutuk kedinginan.

"Temuilah dia," pintanya. Aku memalingkan mukaku.

"Beri aku waktu," bisikku. Bian menghela napas.

"Apakah karena sosok Luke membuatmu takut?" tanya Bian. Aku terdiam dan menatap nyala api perapian yang meliuk. Aku malu menjawab pertanyaan Bian barusan. Haruskah aku mengatakan alasan kenapa aku menghindar? Bian menarik napas panjang dan duduk di pembaringan.

"Dia masih Luke yang sama. Percayalah." Bian mencoba meyakinkan diriku. Brengsek! Aku tidak bisa meredam kebingungan dan ragu yang kini semakin mendominasi keputusanku. Bian tampak kecewa. Dia keluar dan tidak kembali lagi hingga aku tertidur karena kelelahan.