Aku masih mencoba membayangkan bagaimana Luke menyelamatkan ibu dari Bian. Apakah dia akan berhasil? Bagaimana jika dia celaka dan terperosok dalam penderitaan? Dulu Kupikir Luke adalah iblis yang paling kejam dari semuanya, namun ketika mengenal dan mengetahui semuanya ternyata tidak sedikit pun benar. Lamunanku buyar saat Bian datang dengan wajah penuh harap. Kantin masih tampak sepi dan belum begitu ramai, aku mungkin bisa memiliki waktu sejenak untuk menemani Bian.
"Adakah info dari Luke yang terbaru, Rie?" tanyanya. Aku mengangguk dan mempersilahkan duduk.
"Mungkin Luke akan butuh waktu untuk membantu ibumu keluar dari lembah ratapan. Tapi Bi, ibu kamu tetap akan tinggal di neraka hingga penghakiman terakhir," aku menjelaskan dengan sangat hati-hati. Bian menundukkan kepala dengan getir.
"Apakah dengan menyelamatkan Ibuku dari lembah ratapan nanti ada bedanya?" tanya Bian.
"Setidaknya dia bukan berada di tempat yang tidak ada harapan sama sekali, Bian. Doa kita nanti yang bisa membantu meringankan siksaan mereka di alam sana," hiburku.
Bian kembali terdiam namun wajahnya tampak murung. Beberapa mahasiswi berbisik melihat kami berdua. Akhir-akhir ini sejak dia terpilih ketua senat yang kedua kali, hidupnya menjadi sorotan. Bahkan ada yang khusus membuat page khusus 'Bian Fans Club'. Rupanya kedekatanku dengan Bian menimbulkan pandangan lain. Aku mengajak Bian pulang karena Luke mengirim pesan dan mengabarkan dia sudah sampai di rumah. Tiba-tiba seseorang menarik rambutku dengan kasar hingga aku hampir terjatuh.
"Dasar perempuan murahan! Kemarin pacaran dengan om-om, sekarang pacar orang direbut!" seru Winda dengan histeris dan bersiap menendangku. Bian langsung menarik tangan Winda dan menghentaknya ke belakang.
"Winda! Konyol banget kamu!" pekik Bian murka. "Jaga mulutmu Winda!" teriak Bian. Kami sontak menjadi tontonan.
"Pantes semua keluargamu mampus, kelakuanmu terkutuk sama seperti orang tuamu!" Winda yang ditahan oleh teman Bian terus memaki dengan kata-kata kotor.
"Nggak ada lagi tentang kita, Winda! Camkan itu!" tegas Bian dengan jengkel. Bian membantuku berdiri dan mengajak pergi.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bian. Aku mengangguk dan mengajak pergi. Kami melesat meninggalkan halaman parkir. Aku menangis dalam diam. Begitu mengetahui Luke dan Maya sudah di rumah, aku mengusap air mataku buru-buru. Bian mengusap rambutku dengan lembut seperti menguatkan.
"Puri dan Panji?" tanyaku dengan suara sengau.
"Mereka tidak bisa datang, ada acara kumpul keluarga," sahut Maya. "Kamu kenapa?" tanya Maya kemudian dengan cemas. Aku menggelengkan kepala.
"Winda nyerang dia tadi," jawab Bian dengan suara penuh rasa bersalah.
"Apa?!" pekik Maya.
"Sudahlah, nggak penting. Kita fokus sama Bian aja dulu. Please?" pintaku. Maya menghela napas dengan ekspresi geram. "Jangan beritahu Luke …," bisikku. Maya melirik dengan kesal namun mengiyakan. Kami bergegas ke ruang tengah dan duduk di sana mendengar rencana Luke selanjutnya.
"Aku harus pergi," ucap Luke. Aku tercekat. Sekarang? Kenapa begitu cepat?
"Mungkin sekitar satu minggu," lanjutnya. Kami terdiam dan mendengarkan dengan seksama.
"Jadi tolong, selama aku pergi untuk mengurus ibu Bian, temani Rie. Jangan tinggalkan dia sendiri," pesan Luke dan menatap Bian juga Maya bergantian. Aku memalingkan muka ke arah kolam. Ada perasaan tidak enak menyergap.
"Aku dan Luke memutuskan untuk bersama," ucapku tiba-tiba. Bian tidak tampak terkejut.
"Aku ingin kamu tinggal di bumi dalam waktu lama setelah engkau kembali nanti," pintaku. Luke terhenyak. Tidak menduga kalimat itu terucap dari bibirku.
"Kamu melamar aku?" tanya Luke lucu. Aku tertawa kecil walau terdengar getir.
"Ya, bisa dibilang aku melamar kamu," jawabku dengan senyum.
"Baik, aku akan berusaha tinggal lebih lama setelah kembali nanti," sahut Luke dengan senyum lebar. Maya memekik kegirangan dan Bian tertawa tulus.
Kami menghabiskan malam itu dengan penuh kegembiraan. Namun di relung hatiku yang paling dalam, tersimpan firasat, bahwa Luke tidak akan kembali dalam waktu singkat.
***
The Mysterious Girl
Sudah menginjak hari kelima sejak Luke pergi. Bian, Maya terus bergantian dengan Puri dan Panji untuk menjagaku. Sebenarnya aku terbiasa sendiri. Tapi pesan Luke dipegang oleh teguh oleh keempat sahabatku, terutama Bian, dia memutuskan untuk menetap di minggu kedua.
Hari-hari yang kulalui seperti berulang. Tapi kali ini aku berjanji akan menanti Luke dengan kesabaran tidak berujung. Sampai kapan pun, hati ini untuknya. Maya dan Puri mulai khawatir dan Bian merasa bersalah. Dari minggu hingga beranjak ke bulan, tidak terasa, Luke sudah pergi selama tiga bulan.
"Rie, maafkan aku. Ini semua gara-gara permintaan konyolku," sesal Bian. Aku tersenyum, tidak ada kesedihan ataupun sesal terukir di wajahku.
"Dia akan selalu kembali untukku," sahutku meyakinkan Bian. Teror dari Winda dan fans club Bian semakin merajalela. Bahkan mereka menyebar fitnah tentang statusku yang menjadi gadis panggilan di social media. Maya sempat terprovokasi, bahkan Puri yang biasanya lebih tenang juga hampir membuat laporan ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik. Aku tidak terusik. Ini tahun ketigaku dan tahun depan akan menuju proses pengajuan skripsi. Aku tidak akan mengambil resiko bodoh hanya karena mengindahkan masalah pertikaian receh.
Sikapku menenangkan ketiganya. Kami berencana untuk lulus tepat waktu. Jadi dengan keteguhan tekad, kami melangkah bersama dan berusaha menjadi mahasiswa terbaik saat ini.
Dititik penantianku menunggu Luke kembali, kehadiran Bian yang selalu ada dan menemaniku sempat menggoyahkan pertahanan diri. Semua perasaan itu muncul walau hanya sebatas membutuhkan kehadirannya. Namun hatiku tidak pernah merasakan seperti yang kurasakan pada Luke. Aku kembali merasa bersalah.
2017 hampir berakhir. Lima bulan Luke pergi. Bulan Desember hampir tiba. Ini akan menjadi Natal ketigaku tanpa keluarga. Sejak keluargaku meninggal akhir tahun 2015, aku melewatkan Natal karena berharap tidak akan mengingat hangatnya kenangan saat keluargaku masih lengkap. Jauh di lubuk hati, masih ada harapan Luke akan kembali dan merayakan Natal bersamaku. Setidaknya ada seseorang yang akan menemani diriku menikmati indahnya Natal. Mungkinkah dia akan kembali sebelum Natal?
Liburan kali ini keempat sahabatku sudah memiliki rencana masing-masing. Aku diundang oleh keluarga Puri tapi kutolak halus. Pada saat putus asa mulai mendera, aku menerima sebuah postcard. Keheranan sempat muncul dan menimbulkan berbagai spekulasi liar. Siapakah yang mengirim postcard ini? Aku membalik kartu itu dan membaca.
Dear : Riona
I'd like to invite you to Merlow City, Canada. Your passport and tickets will be arranged. Please get ready and prepare on 5th of December.
Regards,
Mariane Farley
Ps. Lukas is on arrival.
Siapakah Mariane Farley? Teman Luke? Seingatku, dulu Luke pernah bercerita bahwa dirinya terdampar di Kanada selama sebulan. Mungkin wanita ini adalah sahabatnya, pikirku. Mungkin juga memenuhi undangan adalah pilihan yang terbaik daripada harus berlarut dalam kegelisahan. Seketika pikiranku dipenuhi rencana berlibur ke Kanada.
Aku membaca lagi isi postcard dengan seksama. Tidak ada keterangan lain hanya undangan untuk mengunjungi Merlow dan bertemu Luke di sana. Aku melihat kalendar di ponsel, empat belas hari lagi, jika aku mengiyakan, akan menuju ke sana. Mungkin ini rencana yang tidak begitu buruk.
***
Companion.
Sepuluh hari sebelum tanggal lima Desember, aku menerima sebuah paket amplop cokelat tebal seperti dokumen tanpa nama pengirim ataupun stempel pos. Aku membuka dan terkejut. Passport, ticket dan setumpuk uang dollar yang setelah kuhitung berjumlah lima ribu. Tidak kusangka Mariane akan mengatur dengan cara yang sangat rapi dan profesional. Darimana dia berhasil membuat passportku tanpa keterlibatanku? Kusimpan semua pertanyaan dalam hati.
Pertengahan semester sudah berakhir. Saatnya mulai berpikir mengajukan judul skripsi dan konsultasi kepada dosen pembimbing. Hari ini aku mengajukan cuti kerja untuk mengurus beberapa hal di kampus. Bian mencegatku di pintu gerbang kampus. Aku ingin menghindarinya, tapi dia tidak memberiku pilihan.
"Kamu menghindariku," serunya sambil mengiringi langkahku.
"Kalo kamu sudah tahu, mengertilah," jawabku dengan dingin.
"Riona, jika Winda masih menyulitkan, aku akan bicara padanya, tapi tolong, jangan perlakukan aku seperti ini," pintanya. Aku berhenti. Rambut ikalnya tertiup angin, matanya yang tajam menatapku tidak berkedip. Kenapa pria semenarik dia mau melakukan hal bodoh hanya untuk mengejar gadis seperti aku?
"Kenapa kamu jatuh cinta pada orang salah Bian? Dunia ini terlalu luas untuk hanya terpaku pada satu objek," ucapku tajam. Bian terperanjat. Baru kali ini aku melemparkan kata-kata menyinggung. Aku berlalu dari hadapannya segera, tidak mampu kubendung keharuan karena harus menyakiti dia dengan cara seperti ini.
Aku jarang menemui Bian lagi sejak saat itu. Puri dan Panji sudah berlibur dengan keluarga. Maya harus kembali ke Jakarta untuk pernikahan kakak sepupunya. Tinggal menghitung hari sebelum aku berangkat ke Kanada. Haruskah aku pergi? Bagaimana aku bisa yakin jika itu undangan untuk bertemu Luke bukan hal yang lain?
Aku mengambil satu keputusan besar, akan kuambil resiko besar untuk terbang ribuan mil jauhnya hanya mengetahui jawaban dari semua teka teki ini. Baru selesai menyiapkan semua keperluan berlibur, pintuku diketuk. Aku membuka dan Bian berdiri di sana dengan ransel besar tergantung di pundak.
"Aku akan ikut," kata Bian menyeruak masuk ke dalam.
"Ma-maksudmu?" tanyaku gugup dan tidak mengerti. Bian meletakkan ranselnya dan merogoh salah satu kantung tasnya. Disodorkan sebuah postcard yang sama kuterima dua minggu lalu. Aku terkejut. Bagaimana mungkin? Apa maksud semua ini? Bian menatapku.
"Kita diundang oleh Luke, mungkin ada sesuatu tentang ibuku," ucap Bian sambil menyenderkan tubuhnya di sofa. Aku kehilangan semua kata dan hanya menghela napas panjang.