Aku tiba di rumah sudah malam. Sejak Luke pergi, aku tidak pernah memakai mobilnya. Semua miliknya juga tidak kusentuh. Aku hidup dari gaji kerja sambilan dan tabungan sisa peninggalan kedua orang tuaku yang berusaha aku cukupkan. Lampu dalam rumah sudah menyala dan pintu depan tidak terkunci. Jarum jam sudah menunjukkan di angka 7:13.
Harum aroma masakan menyerbu hidungku. Aku terus melangkah menuju kamarku melewati ruang keluarga yang jadi satu dengan dapur dan meja makan. Hatiku berdebar. Luke sedang berada di dapur dengan celemek warna ungunya.
"Malam Rie," sapanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Suaranya yang ngebass dan dalam terdengar hangat. Aku mengeraskan hatiku dan terus melangkah ke kamar.
"Makan malam siap jam delapan ya," teriaknya. Aku menutup pintu dan jatuh terduduk di lantai. Amarah dan kecewa membuncah menyaksikan tidak ada penyesalan ataupun permintaan maaf dari Luke. Apa yang menahan dia dari kembali padaku? Bukankah dia panglima tertinggi neraka? Dan Abaddon akan selalu membantunya? Dia seperti sengaja membiarkan aku terluka dan menyembuhkan goresan ini sendiri. Seperti itukah dia selama ini? Sudah berapa gadis yang dia perlakukan seperti ini?
Aku bergegas mandi dan tidak mau berlarut dalam suasana melankolis. Sia-sia dan buang waktu.
Ketukan di pintu terdengar. Sudah lama aku tidak mengalami ini. Hatiku bimbang sesaat. Haruskah aku bersikap biasa saja? Bukankah seharusnya aku menunjukkan pada iblis satu itu bahwa aku bukan Riona yang sama? Kutarik napas dan memutuskan untuk mengikuti ajakannya.
Luke di depan pintu dengan pandangan penuh rindu. Jantungku berdebar tidak karuan. Kuredam keinginanku untuk menghambur kepelukannya.
"Kita makan?" Aku tidak menjawab tapi berlalu menuju ke ruang makan.
Kami makan tanpa suara. Tidak ada pembicaraan apapun. Luke tidak menyentuh masakannya sama sekali. Sepanjang kami di meja makan, dia memandangku.
"Rie," panggilnya pelan. Aku mengangkat mukaku.
"Aku senang bisa kembali ke rumah ini dan pulang," ucap Luke dengan penuh harap aku memberi tanggapan kalimatnya. Hanya kubalas dengan anggukan. Helaan napas panjang terlepas dari bibirnya yang masih merah dan sangat mengundang untuk dikecup.
"Mau meluk urung, mau nyium gengsi. Kita mau ngapain?" ucapnya bernada putus asa. Aku tersentak. Lupa jika dia bisa membaca pikiranku.
"Jika kamu datang di waktu yang tepat, mungkin aku sudah mengajakmu bercinta," cetusku membanting lap makan dan mengangkat piringku ke wastafel.
"What?! Kita harus berjanji di depan Magna Patris dulu!" serunya tertawa geli.
"Udah telat! That's not gonna happen shortly!" sahutku mencuci piring dan kembali ke meja makan untuk membereskan makanan.
"Rie, bisakah sekali ini aja. Kita duduk dan biarkan aku menjelaskan," pinta Luke. Aku membungkus lauk dan memasukkan ke dalam kulkas.
"Silahkan menjelaskan tapi no excuse Luke," jawabku tajam. Luke meremas rambutnya dan menepuk meja.
"Ok, kita mulai dari awal ya," ajaknya masih berharap aku akan luluh.
"Try harder, this time i won't be easy," sahutku dan berlalu masuk kembali ke kamar. "Thanks for the dinner," teriakku sambil menutup pintu.
"Yup, anytime," sahut Luke pelan.
Hatiku puas sudah membalasnya. Diam-diam di dalam kamar aku berdoa, penuh syukur, dia telah kembali.
***
Hari minggu. Aku baru kembali dari gereja dan setelah beberapa kali latihan memasak, kali ini aku ingin membuat ayam panggang. Setelah selesai menyiapkan bumbu, aku bersiap untuk mengiling dengan blender supaya cepat.
"Menurut tips yang aku baca, dengan menumbuk manual rasanya akan jauh lebih sedap," cetus Luke muncul dari belakang. Aku diam, rasa malas menoleh dan menanggapi komentarnya.
"Aku bantu?" tanya Luke. Aku bergeser dan memberi ruang padanya. Dengan lincah, Luke mengambil cobek dan dengan luwesnya dia mengilas semua bumbu hingga halus.
"Aku meredam bagian utara setelah berhasil keluar dari lembah ratapan. Platein melaporkan bahwa daerah utara sangat parah dan jika itu kami biarkan, maka akan semakin menjalar dan tidak menutup kemungkinan, bagian timur terkena dampaknya," ujar Luke dan menyudahi pekerjaannya.
"Udah siap. Sebelum dioles, sebaiknya kamu membalur ayam dengan mentega sedikit supaya gurih," saran Luke. Aku melakukan semua sarannya walau hati mendongkol.
"Luke, aku tidak memiliki akses apapun untuk mengerti dan memahami perjalananmu, tugasmu dan juga semua drama yang melingkari hidupmu. Jika memang berat untukmu berjanji, jangan pernah mengucapkan dan memberi harapan," jawabku dengan dingin. Aku memasukkan ayam ke oven dan meninggalkan Luke yang memandang kolam seperti kecewa atas ucapanku barusan.
***
"Ayam ini enak banget," puji Puri. Aku tersenyum bangga.
"Dia bantu untuk masak," jawabku dengan setengah tidak peduli. Puri terdiam dan menghentikan suapannya.
"Kalian masih tidak akur?" tanyanya. Aku terdiam.
"Dia bukan manusia yang hanya memikirkan urusan kecil. Luke adalah panglima neraka tertinggi yang saat ini sedang mengemban tugas besar untuk menentramkan dunia. Bukan hanya tugas Abaddon yang dia tanggung, tapi juga sisi malaikatnya dia yang ingin menjaga bumi tetap aman. Tidakkah kamu menangkap dia berusaha membuat tempat dimana kamu bisa hidup dengan tenang dan tanpa ada bahaya yang mengancam?" pertanyaan Puri dan juga paparan kesimpulannya cukup memperngaruhi cara berpikirku.
"Cara dia yang tidak aku mengerti. Mungkin salah jika aku menjalin hubungan dengan dia, Ri," sahutku pelan. Puri melangkah menuju wastafel.
"Seharusnya sedari awal kamu memikirkan lebih dalam sebelum membalas perasaan Luke. Kamu harus ingat. Walaupun dia iblis, Luke berasal dari malaikat. Setia dan hanya bisa mencintai satu kali adalah sifat hakikinya. Jadi aku tidak yakin Luke akan mudah melupakan dirimu jika kamu mundur dan tidak lagi menyerahkan hatimu," seru Puri dengan kecewa.
"Aku harus bagaimana? Hatiku ragu dan tidak bisa lagi teguh saat semua ketidak pastian ini terus menerus!" Aku masih berusaha untuk tidak menangis. Namun mataku mulai panas dan air mulai memenuhi kelopak mata.
"Kenapa nggak kamu jalani aja semua satu persatu? Tidak ada yang menebak apa yang akan terjadi pada masa depan kita kan? Termasuk kenapa kamu ditakdirkan untuk menjadi wanita yang membuat seorang makhluk Luke jatuh cinta dan hanya memilihmu di antara ribuan gadis menarik di dunia," tangkis Puri dengan suara meninggi.
"Aku takut kecewa …."
"Mengalami itu semua adalah pasti Rie. Bahkan Ketika kamu menjalin hubungan dengan manusia normal. Itulah proses. Bagian dari pendewasaan diri. Ayolah, kita nggak mungkin berharap memiliki hidup seperti putri negeri dongeng kan? Itu semua cuman khayalan!" tekan Puri dengan tangan mengenggam tanganku.
"Jangan tolak lagi kesempatan untuk bahagia walau sesaat, Rie. Terkadang itu sangat berarti untuk menghapus semua duka," bisik Puri. Aku memeluk sahabatku dan menangis sekuatnya.