Setelah menyelesaikan misinya di Kerajaan Somalia. Maria tiba secara rahasia di sebuah Kota kecil bernama Al Ghaydah, yang merupakan salah satu basis dari Kelompok Pemberontak, Tentara Pembebasan Al Mahrah.
Kesultanan Hadramaut dan Kesultanan Dhofar sedang dilanda Pemberontakan yang dilakukan oleh Kelompok Republik, di mana mereka menginginkan berdirinya sebuah Negara Federasi Arab yang membentang dari Samudra Atlantik hingga Teluk Persia, dan dari Suriah hingga ke Somalia. Selain itu, pemberontakan ini terjadi karena ketidakadilan yang dialami oleh rakyat sehingga mereka memutuskan untuk melakukan pemberontakan guna mendapatkan kebebasan serta keadilan.
"Aku tidak menyangka bahwa kalian turut terlibat dalam perang ini setelah menahan invasi Lithuania," ungkap Maria akan kehadiran beberapa orang Jerman, Tartar, dan Polandia dari Landsknecht, yang merupakan salah satu Private Military Contractor asal Hesse.
"Kami hanya ingin membantu tanah yang ingin terbebas dari para Ttirani, Puteri Es Mecklenburg-Schwerin," balas seorang Lelaki berambut pirang coklat pendek berkacamata hitam.
"Aku hanya manusia biasa, sama seperti kalian," balas Maria merendah.
"Sepertinya dia tidak menyukai pujian," celetuk salah seorang Perempuan berhijab sambil mengelap AK-47 miliknya. Dilihat dari hijabnya, perempuan itu merupakan seorang Muslimah Tartar. "Kau benar-benar tidak peka, Alfred Schmidt."
"Santai saja," balas Maria. "Kalian sudah berapa hari di sini?"
"Kami sudah satu minggu di sini, Maria," jawab Alfred Schmidt. "Ada banyak kelompok dan ada banyak musuh."
"Namun ini adalah momen yang bagus untuk menghajar orang-orang Inggris, Perancis, dan Amerika Utara di luar Eropa," celetuk seorang Lelaki bertopi hitam dan berbadan tinggi besar.
"Yeah, kau benar Franz Krueger," celetuk salah seorang rekannya.
.
.
Kota Al Ghaydah tengah dihujani oleh sebuah Kapal Frigate berbendera Kesultanan Dhofar. Namun dioperasikan oleh beberapa Tentara Eropa yang sepertinya berasal dari Inggris. Frigate Bani Said itu menggempur dari jarak sembilan belas kilometer dari lepas pantai. Orang-orang berlarian ketika mendengar suara-suara rudal menghantam Kota Al Ghaydah.
Di udara, beberapa drone tengah terbang mengintai para pejuang dari Tentara Pembebasan Al Mahrah, yang merupakan Kelompok Pemberontak yang didukung oleh Negara-negara Republik Arab seperti Suriah, Palestina, Lebanon, Aljazair, dan Irak. Pemberontakan yang terjadi di jazirah Arab ini merupakan bagian dari Perang Dingin Arab, antara Negara-negara Republik Arab yang terdiri dari Suriah, Aljazair, Suriah, Palestina, Lebanon, Aljazair, dan Irak melawan Monarki Arab yang terdiri dari Kesultanan Najd, Kerajaan Transjordan, Kerajaan Yaman, Kesultanan Hadramaut, Kesultanan Dhofar, Kesultanan Oman, Kesultanan Bahrain, Keemiran Qatar, Keemiran Abu Dhabi, Keemiran Dubai, Kerajaan Maroko, dan Republik Mesir, yang satu-satunya Negara Republik yang bersahabat dengan kubu Monarki.
Seorang Lelaki yang tengah menatap monitor laptopnya terlihat begitu bahagia setelah dirinya meng-hack sistem drone milik Kesultanan Najd, sehingga drone tersebut jatuh.
"Yeah, akhirnya," ungkapnya dengan senang hati setelah meretas sistem drone milik Kesultanan Najd.
"Dari laut dan udara musuh menggempur kita. Ini seperi Surabaya, walaupun kita masih belum melihat musuh di darat," ujar Franz Krueger.
"Perlahan Tentara Kesultanan Hadramaut dibantu Republik Mesir, Kesultanan Najd, dan Inggris telah merebut seluruh Kota-kota di pesisir barat Al Mahrah," kata Perempuan Tartar bernama Laysan Shabaeva.
"Jangan khawatir, mereka merebut Kota-kota pesisir karena di laut ada Inggris yang berkamuflase dengan menggunakan Kapal-kapal dari Hadramaut dan Dhofar. Kalau Inggris terang-terangan terjun, mereka akan dikecam oleh Rakyat mereka," jelas Alfred Schmidt.
"Ternyata Inggris bisa takut dengan rakyatnya," ujar Krueger terkekeh. "Aku kira mereka lebih takut dengan Tuhan,"celetuk Kruger sambil tertawa.
"Negara seperti Mesir dan Najd dipimpin oleh pemimpin yang sangat otoriter. Selain itu, baik Mesir dan Najd itu Negara Satelit dari North Atlantic Alliance," balas Alfred Schmidt memberi penjelasan kepada Krueger.
Serangan rudal dari kapal frigate berbendera Kesultanan Dhofar telah berhenti dan kapal frigate tersebut meninggalkan lokasinya.
"Lihatlah, Kapal itu berhenti menyerang dan mulai pergi," kata salah seorang Pemberontak.
.
.
Tiga unit TSF F-15E Strike Eagle berwarna kuning padang pasir tengah meluncur menuju ke arah Kota Al Ghaydah melewati gurun yang berbatu. Para Pilot mereka terlihat sangat tenang dan santai dengan ekspresi wajah yang begitu optimis.
[TSF, kepanjangan dari Tactical Surface Fighter. Sebuah Mecha dari serial Muv-luv.]
"Kita akan habisi para cecurut itu. Semuanya, bersiaplah, dan mari berpesta," ujar Letnan Ahmad Mubarak dengan seringai jahatnya.
"OK."
Dari arah barat laut terlihat seperti sebuah badai pasir. Namun tidaklah besar seperti badai pasir atau bisa dikatakan badai pasir berskala kecil. Dibalik badai pasir itu, ada tiga unit TSF Republik Arab Mesir yang tengah bergerak menuju ke arah Kota Al Ghaydah. Letnan Ahmad Mubarak memiliki kemampuan pengendalian angin dan dengan kekuatannya tersebut dia mengendalikan angin agar terlihat seperti sebuah badai pasir untuk menipu musuhnya.
Seorang Tentara tengah mengamati keadaan di sekitarnya dari atas sebuah menara bangunan. Ketika dia melihat ke arah barat laut, dia melihat sesuatu yang seperti badai pasir, namun tidak besar. Dia memperbesar teropongnya, sesuatu yang menyala segera meluncur dari dalam badai pasir itu dan menghancurkan menara tersebut serta menewaskan dirinya.
Suara ledakan tersebut mengejutkan banyak orang dan mereka segera mengambil senjata mereka untuk bersiap berperang. Kedua TSF F-15E Strike Eagle berpisah dari TSF yang dipiloti oleh Letnan Ahmad Mubarak dan mereka segera melancarkan serangan dari dalam badai pasir yang kecil tersebut.
Beberapa titik hancur akibat serangan dari ketiga TSF dari Republik Mesir.
"Rasakanlah itu, Teroris!"
Badai pasir itu telah hilang dan ketiga TSF itu memasuki Kota Al Ghaydah dari tempat yang berbeda. Mereka bergerak dengan cepat dan menghancurkan beberapa titik pertahanan Tentara Pembebasan Al Mahrah.
"Sial, kini musuh mulai menggempur kita dari darat," keluh salah seorang pemberontak.
"Matilah kalian!" kata seorang Pilot perempuan Republik Mesir sambil melepaskan tembakan secara acak. Serangan dari TSF tersebut bukan hanya membunuh Tentara. Namun membunuh beberapa Warga Sipil yang tidak berdosa.
Serangan balasan Tentara Pembebeasan Al Mahrah tak sebanding dengan kemampuan Tentara Republik Mesir. Mereka hanya bersenjatakan AK-47, beserta beberapa peluncur roket yang kini telah habis karena dihalau oleh serangan musuh.
"Sial, tanpa peluncur roket, apa artinya kita bertahan," keluh salah seorang pemberontak.
"Teruslah melawan, apapun yang terjadi," balas rekannya dengan nada optimis sambil menembaki salah satu TSF dengan AK-47.
Maria yang bersembunyi di balik sebuah dinding memperhatikan TSF tersebut dengan cermin es berukuran kecil yang dia buat.
"Sepertinya dia akan menjadi mangsa yang bagus," ujar Maria.
Perempuan itu segera berlari dengan sangat cepat menuju ke arah TSF tersebut. TSF itu mengarahkan tembakannya ke arah Maria. Namun Maria bergerak dengan cepat menghindari serangan musuhnya.
Maria menaiki TSF tersebut dan berdiri di atas kokpit yang terletak di bagian dada dan menonjol. Dia menempelkan kedua tangannya pada kokpit tersebut dan mengalirkan kekuatan panasnya untuk meledakkan TSF itu.
"Menyingkirlah dariku!"
Perempuan itu mengeluarkan banyak keringat, "Cih, ini sangatlah panas."
Dia berteriak dengan keras ketika dia sadar bahwa dia telah dipanggang. Maria segera melompat dari kokpit TSF tersebut dan ketika dia mendarat di atas sebuah bangunan. TSF tersebut meledak.
"Hindun!" teriak rekannya yang mendengar sebuah ledakan dari arah barat, di mana Hindun berada.
"Mikael, sekarang kita tinggalkan Kota ini. Misi telah selesai," perintah Letnan Mubarak. TSF yang dipilotinya segera terbang meninggalkan Kota Al Ghaydah.
Mikael memukul pahanya sambil berlinang air mata, "Sialan!"
TSF yang Mikael piloti segera terbang meninggalkan Kota dan dari arah belakangnya ada ribuan tombak es yang terbang ke arahnya. Ribuan tombak es tersebut menembus TSF yang dipiloti oleh Mikael dan menghancurkan TSF tersebut.
Maria hanya menatap tajam TSF yang terbang tersebut, sedangkan Letnan Mubarak melirik Maria dengan tatapan mata yang tajam.
"Itukah dia, Iblis Es Mecklenburg," gumam Letnan Mubarak.
.
.
Orang-orang tengah mengangkat para jasad dari korban serangan yang dilancarkan oleh Republik Mesir dan Inggris. Mereka berusaha untuk tetap tegar, meskipun harus mengangkat jasad yang sudah hancur lebur. Ekspresi wajah mereka tidak bisa dijelaskan, antara bersedih ataupun menahan amarah.
Sebagian orang-orang merawat dan mengobati para korban yang terluka, baik luka ringan hingga luka berat.
Tangisan anak-anak, dan para istri yang ditinggal oleh yang terkasih pecah. Kalimat kesedihan yang mereka lontarkan benar-benar menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
"Ini sama seperti yang terjadi di Belarusia Soviet, hanya saja Tentara Mesir jauh lebih unggul secara kualitas daripada Lithuania. Ini hanya pendapatku saja," ujar Franz Krueger sambil mengobati seorang anak yang patah tulang kakinya.
"Kau gila, di saat seperti ini masih sempatnya membanding-bandingkan kekuatan musuh. Untungnya mereka tidak mengerti Bahasa Jerman yang kita ucapkan. Kalau mengerti bisa bahaya!" balas Laysan Shabaeva dengan nada kesal. Perempuan itu tengah membalut perban pada kepala seorang anak perempuan yang terluka.
Lelaki berambut pendek berwarna pirang coklat itu berjalan menghampiri Maria sambil membawa segelas kopi hitam.
"Mau kopi?" Alfred menawari Maria segelas kopi hitam yang hangat.
"Terima kasih," Maria segera meminum kopi hitam tersebut dengan cepat.
"Kau sangat buru-buru dalam meminum kopi," cibir Alfred akan tindakan Maria.
"Bagiku semua minuman sama saja, sama-sama harus cepat dihabiskan," balas Maria.
"Kau sama seperti Istriku. Dia tidak pernah santai dalam menikmati kopi," ungkap Alfred. "Ketika aku bertanya kenapa, dia menjawab, 'semua air adalah sama."
"Bagaimana dengan istrimu?" tanya Maria.
"Dia adalah seorang Guru Bahasa Polandia di Kota Cottbus. Seorang perempuan Polandia yang membuatku jatuh cinta," ungkap Alfred dengan hati yang berbunga-bunga.
"Jadi kau menawari kopi hanya untuk memamerkan istri?" ujar Maria dengan nada bosan.
"Tidak juga, aku hanya bingung untuk merangkai kata. Mengingat aku sudah berkeluarga dan kau masih sendiri," balasnya.
Bagi Maria, perkataan Alfred Schmidt tidak nyambung, walau harus diakui bahwa dia adalah Tentara yang hebat. Dia dan rekan-rekannya merupakan para pejuang yang tangguh, yang berjuang dengan gagah berani.
"Sudahlah, lupakan saja barusan," kata Maria dingin.