Dua orang lelaki tengah duduk sembari membaca koran Hadramaut Times di kantin pada sebuah pangkalan militer.
"Seharusnya kau bisa menghancurkan Kota Al Ghaydah tanpa mengorbankan kedua Orang itu," celetuk seorang Perwira Mesir dengan banyaknya lencana yang tertempel pada seragam militernya yang berwarna coklat muda.
"Di sana ada Iblis Es Mecklenburg," jawab Letnan Ahmad Mubarak, "dan mereka berdua dibunuh oleh dia."
"Kenapa kau tak membunuhnya?" tanya Letnan Kolonel Yahya Gdridg Mirzoyan, seorang Perwira Mesir keturunan Armenia.
"Kami kehabisan amunisi," jawab Letnan Ahmad Mubarak.
"Aku kira kau akan bertindak nekat dengan menyerangnya," kata Letnan Kolonel Gdridg, "bukankah kau seorang Wizard."
"Itu terlalu beresiko dan kalau aku menyerangnya. Sudah pasti aku akan diserang oleh musuh dari berbagai penjuru."
"Kau bisa menggunakan kekuatan anginmu," balas Letnan Kolonel Gdridg, seolah dia tak mau mendengar alasan apapun.
Letnan Ahmad Mubarak segera pergi meninggalkannya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat marah mendengar ucapan dari atasannya tersebut. Bagi dirinya, para atasan itu hanya orang-orang yang hanya ingin tahu hasil tanpa tahu keadaan yang sebenarnya di lapangan. Akan tetapi, dia sadar bahwa dirinya hanya Tentara yang harus mematuhi segala macam perintah dari atasan, tak peduli para atasan mengetahui kondisi yang sesungguhnya di lapangan.
"Kau tampak terlihat kesal," sapa salah seorang rekannya yang mengenakan kippah berwarna hitam yang menutupi kepalanya.
"Diam!" Letnan Mubarak mencengkram kerah seragam rekan Yahudinya.
Lelaki Yahudi itu juga mencengkram kerah seragamnya, "Kau pikir hanya kau saja, aku juga sama kesalnya dengan dia."
Perlahan Letnan Mubarak melepaskan cengkramannya, begitu pula dengan Gilon Shiloh yang melepaskan cengkramannya.
"Namun kita hanyalah bawahan yang harus mematuhi atasan kita, suka atau tidak suka," ujar Letnan Mubarak mengontrol emosinya.
"Kurasa aku setuju denganmu," balas Lelaki Yahudi itu.
Letnan Mubarak menggenggam tangan rekannya, "Kuatkan hati kita dan saling mendukung satu sama lain."
"Kuatkan tekad!"
.
.
Maria bersama dengan para Tentara Bayaran dari PMC Landsknecht tengah berkumpul mengelilingi api unggun membicarakan sebuah obroloan kecil.
"Sepertinya perang ini tidak akan berlangsung lama," celetuk Maria sambil memandangi api unggun.
"Kau tahu darimana?" tanya Alfred Schmidt.
"Mereka memberontak karena kurang perhatian dari Pemerintah Pusat di Aden," balas Maria. "Selain itu, aku mendengar dari Stasi akan ada kudeta di Aden."
"Jadi, sebenarnya Pemerintah Pusat di Aden sedang kacau," celetuk Kruger dengan sedikit kaget.
"Pangeran Shaleh bisa membaur dengan semua kalangan, tidak peduli dia itu Collective Security Organization atau North Atlantic Alliance. Dia juga orang yang progressif dan reformis, tidak seperti Pangeran Yahya yang sangat kolot dan tidak kompeten. Hanya saja, Pangeran Yahya memiliki kemampuan diplomatik yang bagus, sehingga dia bisa meraih banyak dukungan dari Negara-negara Arab sekutunya," jelas Alfred. "Bahkan North Atlantic Alliance tidak memberikan dukungan kepada Pangeran Yahya, meskipun yang sedang angkat senjata adalah Kaum Nasionalis Arab."
"Selain itu, menurutku mereka tidak sepenuhnya memberontak," kata Maria.
"Pemberontakan ini hanyalah ungkapan kekesalan rakyat terhadap kudeta yang dilakukan oleh Pangeran Yahya terhadap ayahnya, Sultan Hassan. Sebenarnya aksi bersenjata terjadi di seluruh Hadramaut, hanya saja di Al Mahrah yang pemberontakan dilakukan secara terang-terangan dan terbuka. Sedangkan di daerah lain hanya serangan secara seporadis terhadap para loyalis Pangeran Yahya," jelas Alfred.
"Pangeran Shaleh, sekarang di mana dia?" tanya Kruger.
"Dia sedang berada di Wasihington D.C. bersama dengan para loyalisnya untuk melobi Presiden William Berry Obama," jawab Alfred.
.
.
Letnan Mubarak tengah berbaring di kasurnya sambil membaca cerita horror berjudul "The Dunwich Horror" karya H. P. Lovecraft. Suara deru langkah kaki, denyut jantung serta hembusan nafas terdengar begitu jelas di telinganya, dan dia sudah tahu siapa gerangan.
Letnan Mubarak menaruh buku horror yang barusan dia baca ke mejanya dan dia segera membuka pintunya untuk mempersilahkan Letnan Kolonel Gdridg memasuki kamarnya beserta kedua pengawalnya.
"Silahkan masuk, Letnan Kolonel Gdridg," katanya mempersilahkan atasannya untuk memasuki ke kamarnya.
"Kau memang sangat pengertian, Letnan Mubarak," Letnan Kolondel Gdridg memasuki kamar Letnan Mubarak diikuti dengan kedua pengawalnya. Dia duduk di sebuah kursi dan kedua pengawalnya yang berkulit hitam legam dan berbadan tinggi besar berdiri di sampingnya. "Aku kira kau sudah tidur."
"Entah kenapa rasanya aku tidak bisa tidur," keluh Letnan Mubarak sambil memegangi belakang lehernya.
"Kalau kau belum tidur, itu bagus," katanya. "Bersiaplah. Sebentar lagi kita akan menyerang Tentara Hadramaut."
"Sepertinya Pemerintah kita memutuskan untuk membantu Pangeran Shaleh dan Sultan Hassan. Jika ini perintah, aku akan melakukan yang terbaik." Letnan Mubarak memasang posisi sikap tegak sempur dan memberikan hormat kepada atasannya. "Berikan kami perintah, Letnan Kolonel Gdridg!"
"Bunuh Tentara Hadramaut dan gulingkan Pangeran Yahya!" perinta sang Letnan Kolonel keturunan Armenia.
"Siap, laksanakan!" tegas Letnan Mubarak.
.
.
Para Tentara Mesir tengah bersiap dengan senjata mereka sedangkan Tentara Hadramaut hanya berpikir bahwa mereka sedang tidur dan kini Tentara Hadramaut yang tengah berjaga malam sambil asyik bermain Mobile Legend. Mereka tidak sadar bahwa malam ini akan menjadi malam berdarah dan terakhir mereka di Bumi ini.
Dalam kegelapan malam, para Tentara Mesir bergerak dengan cepat, dan membunuh para Tentara Hadramaut yang tengah besantai.
Peluru yang mereka tembakan menjatuhkan para Tentara Hadramaut dengan begitu mudahnya. Tentara Hadramaut memang tidak kompeten, tipikal khas Negara-negara Monarki Arab sehingga membuat mereka selalu meminta bantuan kepada Mesir yang merupakan salah satu kekuatan Militer terbesar di Jazirah Arab dan Benua Afrika.
"Lapor, Pangeran Yahya. Tentara Mesir menyerang kita secara tiba-tiba," kata seorang Perwira memberikan laporan tentang penghianatan Mesir.
"Apa kau bilang! Mesir menyerang kita," kata Pangeran Yahya yang kaget.
"Bukan hanya Mesir yang menyerang kita. Angkatan Laut Inggris Raya dan Amerika Utara tengah membombardir Aden."
Di tengah laut berjarak lima puluh kilometer, beberapa kapal perang milik Angkatan Laut Inggris Raya, dan Amerika Utara meluncurkan rudal-rudal mereka untuk menyerang beberapa titik di Kesultanan Hadramaut. Kapal-kapal Perang Hadramaut pun karam dihantam oleh rudal-rudal yang ditembakkan oleh mantan sekutu mereka.
Tentara Mesir telah menguasai beberapa Kota yang berbatasan dengan Al Mahran, sedangkan Kota Aden terasa seperti sebuah Kota Mati dengan situasinya yang begitu hening dan menenangkan.
Tentara Hadramaut terlalu lemah untuk melawanan Pemberontak, apalagi jika mereka harus berhadapan dengan beberapa kekuatan besar seperti Inggris Raya, Amerika Utara, dan Mesir.
Tentara Mesir beserta para loyalis Sultan Hassan dan Pangeran Shaleh terus bergerak maju menuju ke arah Kota Aden. Serangan kilat dan mendadak yang dilancarkan Tentara Mesir. loyalis Sultan Hassan dan Pangeran Shaleh benar-benar memberikan sebuah kejutan.
Seorang Pangeran Arab berkulit putih tengah berhadapan dengan para politikus yang pro dirinya.
"Situasi saat ini benar-benar merugikan. Terlebih kita dikhianati oleh para sekutu kita," jelas salah seorang Poitikus berkepala botak.
"Situasi saat ini bahkan jauh lebih kacau sebelum peristiwa itu," timpal salah seorang poltikus. Pangeran Yahya paham akan ucapan dari orang itu yang secara tidak langsung mengarah ke dirinya. Dia juga sadar akan tindakannya yang terlalu terburu-buru dan emosional dalam mengambil keputusan.
Selain itu, dia juga memiliki ketakutan yang besar akan kudeta. Pangeran Yahya menjadi Sultan setelah mengkudeta Ayahnya dan mengusir Kakaknya.
"Aku rasa, sepertinya sudah tidak ada harapan bagi diriku. Ayah benar, bahwa Shaleh adalah yang terbaik," ujanya. "Suka atau tidak suka, harus aku akui bahwa dialah yang terbaik."
Pangeran Yahya yang ketakutan segera menggelar konferensi pers secara mendadak dan tiba-tiba. Ekspresi wajahnya tergambar bahwa dia merasa ini sudah akhir bagi dirinya. Dia sudah putus asa, namun berusaha tegar untuk menyampaikan sebuah pesan penting.
"Assalammualaikum Wr. Wb. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semuanya. Kepada seluruh Rakyat Hadramaut yang aku sayangi dan aku cintai. Bahwa mulai detik ini dan seterusnya, aku telah mengundurkan diri sebagai Sultan Hadramaut. Aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan maafkanlah diriku jika aku salah. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah Yang Maha Pelindung."
Pangeran Yahya merogoh kantong celananya. Dia mengambil sebuah pistol Beretta 92 di balik kemeja hitamnya dan menembak kepalanya.
Orang-orang kaget akan aksi bunuh diri yang dilakukan oleh Pangeran Yahya, apalagi aksi bunuh diri ini disiarkan secara langsung. Bagi beberapa loyalisnya, dia seperti bukan Pangeran Yahya yang dikenal sangat ambisius, percaya diri, optimis, dan otoriter.
Sementara itu, di sebuah ruangan di Kantor Duta Besar Amerika Utara yang terletak di tengah Kota Aden. Beberapa orang tengah berdiri mengelilingi seorang Perempuan berambut pirang model ponytail yang tengah tertidur.
Perempuan itu segera membuka kedua matanya dan bangun dengan begitu gembira.
"Yahoo! Apakah kalian lihat? Aku berhasil membunuh Pangeran Yahya," ungkap Perempuan itu dengan riang gembiran.
"Kerja bagus, Natasha Ackerman," puji rekan Perempuannya yang merupakan sesama agen CIA.
"Aku tidak menyangka bahwa kekuatan supranaturalmu akan menyelamatkan masa depan Bangsa Hadramaut," ungkap rekannya yang merupakan salah seorang Staff di Kantor Duta Besar Amerika Utara di Aden yang bernama Elizabeth Marie. "Selain itu, ini adalah tugas yang hanya bisa dilakukan oleh kita."
.
.
Para Pemberontak mengarahkan senapan AK-47 mereka ke angkasa dan menembakinya. Mereka bersorak-sorai penuh suka cita ketika mendengar kabar meninggalnya Pangeran Yahya. Mendengar hal tersebut membuat penasaran para Sukarelawan dari PMC Landsknecht dan Maria, sehingga mereka berjalan menghampiri para Pemberontak.
"Hore, kita menang!"
"Pangeran Yahya telah tewas!"
Teriak-teriakan kemenangan dan kabar bahagia dalam Bahasa Arab terdengar oleh telinga mereka dengan jelasnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Alfred Schmidt dengan menggunakan Bahasa Inggris.
"Pangeran Yahya telah mati bunuh diri," jawab seorang pemberontak. "Lihatlah." Dia menunjukkan video di mana Pangeran Yahya menembak dirinya dengan pistol.
"Ini benar-benar di luar dugaan," ujar Alfred Schmidt.
"Kami benar-benar senang akan berita ini. Pangeran Faisal akan membawa kedamaian dan kesejahteraan ke seluruh penjuru Hadramaut. Semoga Allah selalu melindungi beliau dan membawa Negeri ini menuju kesejahteraan. Allah Akbar!"
"Allah Akbar!"
Teriakan Allah Akbar sebagai ungkapan kegembiraan dan kemenangan membahana dan terdengar di seluruh penjuru Kota.
Para Pemberontak dan Rakyat sujud syukur atas kematian Pangeran Yahya dan mereka berharap dan memanjatkan do'a untuk Pangeran Faisal agar dirinya bisa membawa Hadramaut menuju ke masa depan yang cerah.
"Kita telah memang, tanpa harus melalui peperangan yang merepotkan," ungkap Alfred Schmidt.
"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Kruger.
"Kita akan segera pulang. Misi ini telah selesai," jawab Alfred Schmidt.
Maria membuka ponselnya dan mengabari Keluarganya.
"Kami telah menang sebelum berperang." Itu isi email yang dia kirimkan ke seluruh Petinggi Klan Mecklenburg-Schwerin dan Mecklenburg-Strelitz.