Sejak pagi, angin berembus tak seperti biasanya, ada hak yang seperti ingin disampaikan dan itu penting untuk Lisa. Senyum ayah yang setiap pagi menyapanya, mendadak pudar, ayah menggenggam tangan ibu erat seakan tak mau pisah dari ibu atau takut kehilangan sesuatu yang berharga untuknya.
Itu, harapan ayah sejak ayah masih muda.
Usaha percetakan yang dikabarkan tenggelam seiring berjalannya jaman, sudah banyak pelanggan ayah yang lari ke perusahaan lain yang jauh lebih mumpuni, sedang peralatan di kantor kecil ayah hanya sebatas itu dan tidak bisa mengikuti permintaan pasar, percetakan itu diancam tutup dan harus pindah dari tempatnya.
Ruang petak berukuran sedang yang dulu ayah beli dengan semua tenaganya, berkorban siang dan malam agar mewujudkan mimpinya, semua jeri payah ayah jadi di sana.
Semua sudah ayah gadaikan, dia tak sanggup membayar hutang yang menggunung, dan hari ini mendadak ada penawaran dari salah satu pelanggan lama yang kerap bekerja sama dengan ayah.
"Ayah mau aku terima nikah sama anaknya orang kaya itu? Yang duda? Yang sempat heboh di sosial media baru nikah satu bulan terus digugat cerai istrinya, iya?" Lisa menahan diri untuk tidak berteriak, dia sesak, baru saja dia lulus sarjana dan mengibarkan sayapnya di dunia kerja, dia bahkan masih baru mau menerima gaji pertamanya. "Ayah, kalau wanita itu saja mau pergi darinya, kenapa aku harus jadi gantinya, Ayah?" jelas dia juga tak akan sanggup hidup dengan pemuda itu, duda itu, satu bulan saja sudah digugat, bagaimana kalau dia mengalami KDRT atau hal yang tak mengenakkan selama menikah.
Tidak,
Lisa menolak keras apa yang ayahnya minta, walau dia harus pergi dari rumah ini, akan lebih baik begitu, dia anak tunggal di rumah ini, dia seharusnya bertugas mengibarkan kesuksesan di sini, bukan menikah dengan duda seolah dia tak laku saja di luar sana.
Baik, katakan saja selama ini Lisa belum pernah berpacaran, tapi tentu dia punya kriteria pasangan tersendiri, bukan dipilih asal dengan duda yang jelas-jelas digugat mantan istrinya satu bulan setelah menikah, itu sama saja menghancurkan harga dirinya sebagai perempuan dan gadis suci.
"Lisa, itu mimpi Ayahmu, Nak." ibu bersuara pelan, dia penuh harap karena tak tega melihat ayah bersedih, pasti ada sesak di sini. "Kenal dia lebih dulu, Ibu yakin kau akan suka padanya dan kau bisa menepis semua kabar yang ada, dia bukan pemuda yang buruk, Lisa. Itu pasti ada sebabnya dan kau bisa membuktikan kalau sudah mengenalnya, Ibu mohon Lisa."
Astaga, apa dia se-kejam itu menjadi seorang anak sampai satu permintaan ayahnya saja tak bisa memenuhi, Lisa berlaku mundur, memeluk ayahnya yang rapuh.
"Ayah, bukan aku menolak dan mau menghancurkan mimpi Ayah selama ini, tapi aku hanya merasa ini tidaklah hal benar, aku mungkin akan menerimanya, semua demi Ayah dan Ibu asalkan bukan duda itu, terserah mau menjodohkan dengan siapa, aku akan terima." Lisa berikan penjelasan. "Ayah, aku-"
"Ini permintaan terakhir Ayah, Lisa. Dari sana semua Ayah jalani dan wujudkan, hanya mereka yang bisa membantu dan membuat usaha Ayah bangkit lagi. Kau bahkan tumbuh dari sana, apa kau tak berbelas kasih pada usaha itu, Lisa? Itu bukan hidup Ayah saja, tapi juga hidupmu, Nak." Ayah menangis, dia semakin jahat di sini, selama ini ayah dan ibu selalu menuruti apa yang dia mau, tak pernah ada penolakan.
Lisa akhirnya duduk di sebuah ruangan privat rumah makan seafood terenak di kota ini, semua orang tahu berapa uang yang harus disiapkan kalau mau makan di sini, hari ini juga dia harus menuruti ayahnya, menemui pemuda dengan label duda itu, menerima pinangannya.
Tangannya gemetar di bawah meja, pemuda itu lima menit lagi akan sampai, bayangan Lisa sudah ke mana-mana, wajah seram dan tingkah kerasnya mungkin yang akan Lisa lihat dengan lekat, dia sudah siap bila nanti dicaci maki, mantan istrinya saja satu bulan sudah menyerah, apalah dia yang rapuh begini.
Krekk,
"Kau sudah datang, tepat waktu sekali." Pemuda itu masuk dan langsung mengambil duduk ke depan Lisa, melihat Lisa dari atas sampai bawah, kemudian dia tersenyum.
Aku yakin dia lelaki mesum! batin Lisa.
Lisa rapikan roknya, kenapa juga dia harus menuruti kemauan sang ibu berpenampilan begini, sudah tahu pemuda yang akan dia temui itu menyeramkan.
Eh, dia tersenyum lagi, gila!
Tapi, wajahnya tidak menyeramkan, tampan dan manis, bahkan setiap bibirnya menarik senyuman, rasanya Lisa ikut tersenyum juga.
"Namamu?"
"Lisa Tunggal Dewi, panggil saja Lisa. Kau?" sumpah, dia manis sekali.
"Hmm, itu namamu, aku panggil Ica saja, kau harus setuju. Kau datang ke sini, itu artinya kau sudah setuju menikah denganku, kan?"
"Tidak!" meralat cepat. "Maksudku, itu-"
"Ica," potongnya.
Lisa, namaku Lisa!
"Kau harus menikah denganku, atau usaha ayahmu gulung tikar, hmm?" mengetuk surat jual beli yang dia bawa. "Kau pilih mana, Ica?"
Sumpah, namaku Lisa, bukan Ica!
***
Mobil biru itu berhenti tepat di depan halte dekat kantor Lisa, buru-buru Lisa berlari masuk sebelum suaminya mengomel, dia rasa sudah cukup melamun mengingat masa lalu mereka sebelum menikah, mendadak saja dia ingat, kebetulan bulan depan hari ulang tahun pernikahan mereka, tepat satu tahun sudah.
"Berhenti melamun, Ica!" titahnya tanpa menoleh, sudah menjadi kebiasaan Gio berkomentar begini.
"Ahahah, siapa yang melamun? Aku hanya sibuk melihat pengendara yang lewat, mobilnya keren-keren yang sekarang, Gi. Anak muda sekarang sudah pandai mengemudi ya?" tertawa lagi dengan renyahnya.
"Ck, itu karena kamu melamun setiap hari sampai tak bisa mengenali perubahan jaman." komentar ketusnya selalu saja menjadi cabe di perjalanan mereka, tapi memang dasar Lisa yang mudah mengubah suasana hatinya, dia raih tangan kiri Gio dan dia tautkan, sepanjang perjalanan hanya itu yang membuat mereka tenang. Hal spontan yang masih saja membuat Gio merona, dia sembunyikan dari Lisa. "Ica, mau makan apa?"
Ah, terserahlah mau Lisa atau Ica.
"Mau makan di luar? Tumben, Gi." Lisa sudah menempel di lengan Gio, walau kata cinta belum pernah terucap sejak mereka menikah, tapi hati lemah Lisa dan perlakuan Gio membuat keduanya melalui itu semua, berjalan dengan damainya. Entah ke mana perginya rasa takut yang dulu hinggap, Lisa masih ingat mau kabur satu malam sebelum pernikahan.
"Ica," panggilnya.
"Hem?"
"Mau beli atau masak?" bertanya lagi, istrinya mau menjauh, ditarik lagi, terus menempel itu kesukaannya. "Ica!"
"Iya, masak saja. Besok, kita baru beli ke luar, aku ada acara bersama teman-teman, Rena-" dia tahu rem yang dipijak itu tanda tidak suka. "Gi, hanya acara pertemuan biasa, sungguh!" harus memelas, merayu mantan duda satu ini memang harus kerja keras.