"Yah Mama kebiasaan, aku doang yang disalahin. Daniel tuh sesekali Mama marahin biar dia bisa terus pulang kerumah, jadinya rame enggak sepi ini istana," ketus Hardiem tidak terima.
"Iya, Nak. Makan terus udah lanjutnya nanti aja," sahut Mama tanpa terlalu memikirkan perkataan anaknya.
Begitulah keadaan keluargaku, memiliki kemewahan yang melimpah tapi, terkadang kenyamanan sangat susah untuk dirasakan terlebih untukku sendiri. Sikapku yang dingin sama seperti papa. Kami menyukai ketenangan dan juga hanya untuk beberapa orang tertentu yang bisa membuat kami nyaman dan tertawa. Sedangkan Hardiem, dia lebih seperti mamaku sedikit cerewet meskipun dia memiliki sisi penyayang yang tinggi walaupun aku sering mengabaikannya.
"Iya, Mama. Ini lagi makan sambil ngobrol. Eh! Daniel, aku boleh minta bantu enggak?" tanya Hardiem.
"Apa?" sahutku.
"Aduh ini anak makin hari makin parah dingin banget berasa kaya hidup dalam tumpukan es," omel Hardiem ngawur.
"Apa sih?!" ucapku kesal.
"Duh iya deh, bisa bantuin aku enggak? Aku mau curhat sama kamu. Kasian tahu curhat sama Stella di kantor enggak enak banget enggak asyik malu. Biarpun kamj dingin tapi, nyambung kalau diajak ngomong," ucap Hardiem memohon.
Aku tidak menjawab hanya menganggukkan kepalaku tanda aku mengiyakan permintaannya. Selesai dari sarapan aku langsung menuju ketempat ruang tamu, sambil menunggu Hardiem datang. Melihat waktu masih tersisa sekitar tiga puluh menit lagi untuk istirahat, mengambil beberapa cemilan dan tidak lama dari itu Hardiem datang langsung duduk di depanku.
"Wah ... Banyak cemilan, aduh beruntung deh punya adek kaya begini pengertian biarpun sikap kamu kadang nyebelin pas aku ajak ngobrol tapi,setidaknya kamu tahu suasana itu harus agar bisa santui," ngoceh Hardiem terus-menerus.
Aku mengkerutkan keningku mendengarkan ucapannya. "Mau curhat apa mau puji aku?" tanyaku sinis.
Hardiem menarik nafas dalam-dalam. "Iya aku curhat bentar atur nafas dulu lagi." Aku melihatnya dengan tatapan sinis, berulangkali dia melakukan tarikan nafas. Kadang juga kakakku ini sedikit tidak waras.
"Dengar ya, waktu itu aku sempet ketemu sama satu cewek cantik banget astaga ... Kamu sampai enggak bisa berpaling ngeliat dia terus meskipun udah jauh! Waktu itu dia lari-lari eh enggak sengaja kami tabrakan. Tentunya dong aku sebagai cowok sejati bantuin dia bangun dan kamu tahu tatapan matanya indah banget! Namanya Queen Caroline. Aku tahu sebab dia pakai almamater kampus, nah dari sana aku ngerasa dia cocok untuk jadi istriku nanti," curhat Hardiem panjang lebar.
'Argh! Apa-apaan ini Queen! Itu gadisku dan akan tetap jadi milikku, satu orangpun enggak bisa ambil dia dariku,' batin Daniel.
"Heh kenapa kamu malah bengong? Kamu dengarkan dari tadi aku ngobrol sampai berbusa ini mulut!" Hardiem geram.
Aku melirik jam di tanganku. "Maaf, Kakak. Aku harus pergi dulu nanti aja kamu curhat lagi," ucapku lalu pergi dari hadapannya.
"Daniel mau kemana? Sialan kamu ya. Aku capek-capek ngobrol main pergi aja, woy balik! Masuk kerja masih ada waktu ini dua puluh menit lagi!" teriak Hardiem kesal.
Aku tidak peduli ucapannya, meskipun dia teriak sejadi mungkin aku tetap tidak akan mendengarnya. Enak sekali dia menyukai gadis yang sudah aku klaim menjadi milikku. Apapun caranya meskipun aku harus perang darah dengan Hardiem. Aku tidak akan membiarkan Queen bisa dekat dengannya apalagi menjadi miliknya, tidak akan! Aku harus mencari cari agar gadisku bisa terus bersamaku.
Mulai dari ini aku sangat marah! Lalu aku meminta kepada paman gadisku untuk melunasi hutangnya tapi dia tidak bisa membayarnya dan aku harus menjadi Queen sebagai penebus hutang pamannya. Meskipun caraku sadis tapi, aku tidak ingin Hardiem atau siapapun mengambil Queen dariku.
(Queen Caroline)
Sepanjang perjalanan menuju pulang ke rumah rasanya aku sangat lelah. Bagiamana tidak, berjalan kaki sembari mendorong motor yang sudah rusak ditambah aku sudah basah kuyup oleh ulah pria sialan yang tidak tahu diri itu.
Entah mengapa akhir-akhir ini hidupku sangat sial dan berantakan! Rasanya aku ingin menyusul Mama dan Papa ke surga. Aku tidak menyadari kenapa hidupku ini bisa sangat malang. Di saat gadis lain yang sesuai denganku memilih hidup dengan bersenang-senang, berkencan hingga berlibur keluar negeri. Tapi, bagaimana denganku hidup yang sudah di atur oleh orang lain?
Terik matahari sangat menyengat di kulitku. Jarak menuju ke rumah tinggal sedikit lagi. Aku haus dan lapar tapi, tidak ada uang sepeserpun untuk aku jajan. Tante dan Om sama sekali tidak memberikan aku jajan jika bukan mencarinya sendiri dengan bekerja sebagai tukang seterika atau pembuat proposal untuk orang lain.
Sesampainya di kediaman keluargaku. Aku melihat dua mobil mewah sudah terparkir di halaman rumah. Entah siapa yang datang namun aku tidak peduli dengan tamu-tamu. Aku langsung masuk kedalam rumah lewat pintu belakang tanpa ingin melihat dulu tamu tersebut.
"Aah ... Lega sekali sudah sampai di kamar tercintaku," gumam ku seraya merebahkan diri.
Tok tok tok.
Belum sampai lima menit aku merebahkan diri sudah ada orang yang berusaha menganggu kesenanganku.
"Queen! Apa kamu di dalam sayang? Buka pintunya Tante ingin bicara denganmu!" teriak Tante dari balik pintu kamarku.
'Itu suara Tante tapi, kok aneh sejak kapan dia memanggil sayang? Jangankan sayang menyebut namaku saja tidak. Bahkan aku dipanggil gadis pembawa sial,' batinku seraya beranjak dari tempat tidur.
"Iya sebentar, Tante!" teriakku sambil membuka pintu.
Tante Ratna masuk ke kamarku dengan senyam-senyum hingga membuatku bingung dengan tingkah aneh yang ia tampilkan.
"Tan, kok hari ini ada yang aneh? Apa lagi ada acara sesuatu sampai Tante bersikap sangat baik denganku?" tanyaku penasaran.
"Udah deh jangan banyak tanya! Kamu itu ya mending nurut apa kataku, mending sekarang kamu mandi terus dandan yang cantik. Ingat jangan pakai lama awas kalau lama aku hukum kamu!" bentak Tante Ratna yang langsung berubah drastis.
"Ba-baik, Tante."
Aku tahu dia pasti baik denganku karena ada sesuatu yang ia mau. Tapi, sudahlah mungkin memang ini jalan takdirku. Harus menerima semua ketidakadilan ini dan hidup bagai dalam neraka di rumahku sendiri. Pulang kampus bukannya makan lalu istirahat tapi, aku hanya bisa makan sehari satu kali jika aku sudah selesai bekerja.
Tidak ingin berlama-lama aku langsung bergegas ke kamar. Namun, sebelum itu aku mengambil gelas yang sudah ku sediakan di kamarku untuk menampung air dari shower untuk ku minum. Yah ... Setidaknya aku punya sedikit tenaga supaya tidak tumbang.
Sekitar dua puluh menit bersiap-siap hingga akhirnya aku selesai dengan tugasku. Seperti ucapan Tante, aku harus turun kebawah untuk menemuinya. Namun, saat aku turun dari tangga, di bawah sudah terlihat beberapa orang yang sudah menghuni ruang tamu.
'Sepertinya tamu Om dan Tante bukan sembarang orang. Mereka kayaknya dari keluarga kaya. Tapi, baru kali ini aku melihat Om punya teman seperti mereka,' batinku saat menuruni tangga dengan pelan-pelan.