Chereads / My Name Is Fauzi / Chapter 5 - Part 1. 4. Penjelasan

Chapter 5 - Part 1. 4. Penjelasan

Keesokan paginya seluruh badanku terasa sakit sekali. Namun kaki yang tadinya tak bisa digerakkan mulai sedikit membaik dan bisa berjalan sendiri tanpa ditetah. Mulailah mencari orang rumah yang sekiranya tahu persis akan kejadian kemarin sore. Aku mencari Mba Lia yang semalam sempat bersama saat aku siuman. Aku tak mau bertanya kepada ortu agar mereka tak terlalu memikirkan tentang keadaanku saat ini. Yah walau bagaimanapun juga orangtua yang paling khawatir tentang keadaan anaknya.

Bertemulah aku dengan Mba Lia di ruang tamu. "Mba, tole mau bertanya sebentar boleh?" Dengan takut tanyaku ragu.

"Tanya apa le, tole?" Sahut dia dengan masih membaca buku. (Tole : sebutan untuk anak laki-laki.)

"Kemarin sore mba lia tahu persis dengan apa yang terjadi?" Kutatap matanya dengan serius.

"Mba sih ngga tahu ya. Seharusnya tole yang lebih tahu soal kejadian kemarin! Duduklah dulu le, jangan berdiri kayak patung gitu!" Suruhnya dengan meletakkan buku pada sisi kanan meja tamu.

"Iya mba." Jawabku singkat. Duduklah kami berhadapan.

"Tole ngga mau tahu tentang keadaan orang yang nabrak kemarin?" Tanya ia serius.

"Itu juga yang ingin aku tanyakan mba. Keadaannya bagaimana dan sekarang di mana?"

"Nanti malam mba dan mbah mau jenguk orang yang nabrak kamu di rumah sakit. Kemarin mereka juga udah nengok tole, tapi lagi tidur. Buktinya kemarin tole bangun jam 9 malam lebih kan? Makanya sekarang gantian mba yang kesana. Entah kenapa tole tidak sadarkan diri saat itu." Jelasnya dengan melihatku dan merasa khawatir.

Aku yang mendengarkan penjelasan darinya hanya bisa terdiam. Walau tak begitu jelas mengingat apa yang terjadi padaku dan entah yang salah itu siapa. Yang pasti kenapa aku tak meperhatikan kanan-kiri saat itu.

"Tole boleh ikut nggak nanti malam?" Rayuku dengan mata berkaca-kaca.

"Boleh saja asal jangan pernah mengganggu pasien lain. Emang tole udah enakan badannya? Tole harusnya istirahat aja. Walau udah baikan mending sekarang masuk dan tidur lagi. " Perintahnya dan kembali mengambil bukunya yang tergeletak tadi.

"Ngga mau, aku maunya main di luar. Kalau gitu aku tak main dulu. Dadah mba lia!" Dengan berlari dan pergi meninggalkannya.

"Tole mau kemana? Istirahat dulu, kakimu aja masi belum normal saat berjalan. Le, kesini ngga!" Dengan marah ia memanggilku.

"Iya-iya. Tole balik nih! Orang cuma mau main di depan sama mas po aja kok." Perlahan masuk dan mendekatinya karena takut kena marah. Dengan kepala tertunduk dan tanganku memegang gorden jendela.

"Dengarkan mba kalau lagi bicara. Sini duduk yang manis."

"Iya..!" Kembalilah aku pada tempat semula.

"Mba nanti mau ke rumah sakit karena sudah mendengar penjelasan dari pihak keluarga bahwa yang nabrak tole dalam keadaan kritis dan mau memastikan apakah benar seperti itu. Tole tau tidak, Berapa meter terpental saat itu?" Tanya Mba lia dengan menatapku serius.

"Ngga tahu aku! Saat sadar udah ada di kamar semalem."

"Suatu keajaiban le, kamu hari ini bisa jalan seperti ini. Mba juga kaget kalau bunyi kemaren itu disebabkan karena tole ketabrak sepeda motor. Otomatis semua yang mendengar mencari asal suara darimana. Mba lihat tole sudah tergeletak di rumput. Kalian berdua tak sadarkan diri. Orang yang nabrak tole keluar darah banyak banget, helmnya sampai copot saat itu."

"Tole hanya melihat samar-samar, motor itu sudah berada tepat di belakang. Pas itu juga badan tole rasanya ringan banget. Seperti melayang di udara."

"Lah iya! Orang tole sampai terpental jauh. Akbar yang ngasih tahu mba saat itu. Tole berlari tak melihat sekitar apakah sudah sepi atau belum. Padahal kecepatan pengendara itu sangat kenceng. Yah itulah yang terjadi pada kalian."

"Giamana keadaan orang itu sekarang ya mba?" Dengan rasa bersalah dan mencoba menenangkan diri.

"Lebih baik tole sekarang makan dan istirahat dulu nanti siang mba belikan sesuatu. Tole mau apa?" Sambil tersenyum Ia menghiburku.

"Aku mau mainan yang itu. Mobil remot yang bisa jalan sendiri. Hehe." Jawabku dengan sedikit tertawa.

"Jangan mainan le, makanan aja."

"Kata mba apa yang tole mau. Maunya mobil remot itu."

"Kalau itu jangan sekarang. Tapi lain kali. Kalau tole sembuh nanti mba carikan ya?" Sambil mengusap kepalaku dengan lembut.

"Janji ya? Kalau fauzi sembuh nanti belikin pokoknya!"

"Iya mba janji. Tapi ingat, lain kali jangan lupa kalau nyebrang lihat sekitar sudah sepi atau belum. Jangan seperti kemarin. Langsung lari tanpa tau keadaan. Jadinya seperti ini kan?"

"Maaf kan tole, mba. Lain kali tole janji bakal hati-hati dan waspada." Melasku serasa ingin menangis.

"Sana makan dan istirahat." Ucapnya serius.

Aku pergi dan Mba Lia kembali membaca bukunya di depan televisi ruang tamu.

Tidak habis pikir dengan apa yang terjadi saat itu. Entah kenapa aku tak melihat kendaraan yang ingin melintas. Rasanya mataku seperti terpejam dan ada dua tangan yang sedang menjepit kedua buah mata. Sudahlah, menyesali juga percuma. Toh ini musibah dan sekaligus menjadi pelajaran untukku agar selalu berhati-hati melakukan segala hal.

Pukul 18.30 WIB. Tepat setelah sholat maghrib. Kami menjenguk orang yang menabrak aku kemarin. Tak tanggung-tanggung, tetangga sekitar juga ada yang ikut. Bahkan menggunakan kendaraan pribadi milik mereka. Sekitar 45 menit untuk sampai di rumah sakit. Memang agak jauh, tetapi jalannya lumayan sudah enak, semua sudah diaspal.

Saat di dalam mobil," Le mau makan?" Tanya Mbah Putri sambil memberikan roti bolu kepadaku.

"Engga mbah. Tole habis makan tadi. Kalau di mobil rasanya mual makan sesuatu itu. Hehe." Jawabku singkat dan sedikit canggung.

"Yaudah buat nanti disana aja ya?"

"Iya mbah." Jawabku singkat sambil melihat keluar jendela mobil dan indahnya kota pada malam hari. Merasa khawatir terhadap orang itu. Rasa bersalah yang tak pernah pergi sebelum tahu yang sebenarnya keadaannya.

"Kung. Habis ini belok kiri, mau beli buah dulu buat jenguk nanti. Kita belinya di tempat biasa aja." Ucap Mbah Putri terhadap Kakung. (Kakung : kata lain dari kakek.)

"Kalau belok kiri pukul pundak kiri, Kalau belok kanan pukul pundak kanan. Haha udah kayak tukang angkot aja yak!" Ucap Kakung dengan bercanda. Namun keadaan hening.

Krik, krik, krik..!

"Haha!" Kami semua tertawa. Bukan karena lelucon itu lucu melainkan suasana yang tiba-tiba berubah hening. Sekitar 6 orang yang berada di dalam mobil milik kakung. Salah satunya aku. Ortu tak ikut, karena kalau ditinggal rumah menjadi sepi. Salah satu dari kami harus ada yang menjaga rumah karena sering terjadi pencurian di wilayah sekitar.

Dan tibalah kami di rumah sakit pukul 19.20 WIB. Kami segera menuju kamar yang sudah dibilang kemarin. Dengan membawa buah beserta seisinya kami segera naik dan ke kamarnya.