Chereads / My Name Is Fauzi / Chapter 8 - Part 1. 7. Menangis

Chapter 8 - Part 1. 7. Menangis

Disela tangisanku bude berkata,"Fauzi. Kamu sementara ikut sama bude disini untuk sekolah. Ayah akan disini menemanimu dan kamu akan satu tahun bersama bude sampai sekolahmu selesai. Ya?" Bude merayu dengan penuh harap agar mau sekolah di Curup.

"Tapi ayah akan tetap disini juga bude?" Tanyaku lemas sambil menahan sedikit tangisan.

"Iya Ayah akan disini menemani fauzi." Jawab Bude.

"Iya deh kalau gitu fauzi mau sekolah disini." Dengan gembiranya bahwa tahu kalau Ayah akan tetap bersama selama berada ditempat bude.

"Nah gitu dong. Bude bisa atur semua yang fauzi perlukan untuk sekolah nanti. Sekarang kamu istirahat dan letakkan semua di kamar yang sudah disediakan." Suruh bude pada kami.

"Iya mbak." Jawab Ayah sambil menuju ke kamar.

Sekitar jam 12.00 WIB.

Aku terbangun dari tempat tidur yang berukuran 2x3 meter yang dimana itu bisa digunakan untuk 2 orang. Ada satu hal yang membuatku kaget. Ayah tak ada di kamar. Sontak aku memanggilnya dengan nada yang keras.

"Ayah kamu dimana!?" Tanpa memperdulikan rumah siapa yang aku tempati.

"Iya, kenapa?" Jawabnya dari balik pintu kamar yang sudah terbuka.

"Aku kira kamu kembali ke rumah kakung yah. Hoam." Dengan tubuh yang masih sempoyongan karena bangun tidur.

"Haish kenapa kamu ini!? Makanya jangan tidur siang habis perjalanan. Refresing atau keliling sekitar dulu, tuh sama mas kalau mau." Sahut Bude yang lari dari arah dapur mungkin karena mendengar aku berteriak tadi.

"Iya Bude." Jawabku.

"Cepat cuci muka dan mandi kalau kamu mau." Perintahnya.

"Dingin sekali hari ini." Dengan tubuh yang menggigil dan gigi yang berbunyi "TEK-TEK-TEK."

Segeralah pergi menuju WC untuk mencuci muka dan bersih-bersih.

Ternyata beda sekali suasananya daripada rumah Kakung. Hampir berbanding terbalik dan Di Bengkulu sangat panas, bahkan diwaktu yang masih terbilang pagi tapi rasanya tetap berbeda.

Dari sudut ruang TV melihat Ayah dan Bude sedang membicarakan sesuatu. Aku mendekat dan duduk bersebelahan dengan Ayah.

"Udah Le?" Tanya bude yang memotong pembicaraan mereka berdua karena kedatanganku.

"Fauzi cuma cuci muka dan kumur-kumur aja. Dingin sekali dan rasanya berbeda dari rumah kakung." Dengan polosnya aku menjawab sambil mengusap mata kekiri dan kekanan.

"Sini duduk samping bude. Bude mau bicara sebentar dengan fauzi. Ya?" Suruh bude dan menuntunku untuk duduk di sampingnya.

"Ada apa bude memangnya?" Tanyaku sambil menatap ke arahnya.

"Bude mau kamu TK disini karena kasihan sama ayah apabila kamu harus sekolah disana, di tempat kakung. Takutnya seperti kemarin, katanya kamu habis kecelakaankan? Ditabrak orang saat pulang dari ngaji?" Herannya.

"Iya bude." Sembari menundukkan kepala karena malu.

"Karena ayahmu sibuk di sana makanya kamu bude suruh sekolah di sini. Kamu tidak keberatan misal ayahmu balik?" Tanya Bude dengan sangat serius tanpa expresi apapun.

"Ngga mau! Aku maunya ayah di sini menemani fauzi sampai selesai. Hue-hue" Teriakku kesal. Aku berlari menuju pangkuan Ayah sambil menangis.

"Sudahlah mbak, aku disini sama fauzi juga tidak masalah." Tenang Ayah sambil mengusap air mataku.

"Janji?!" Tanyaku sambil berharap Ayah berkata jujur.

"Ya boleh saja silahkan kalau kamu tidak keberatan dengan keputusanmu. Toh istrimu berada di sana." Jelas bude sambil melihat kearahku yang masih duduk dipangkuan Ayah.

"Terimakasih mbak sebelumnya."

"Zi sana makan dulu mumpung bude masak banyak. Pakde juga belum pulang dari kerja. Mba mery masih sekolah. Mas ipin juga masih sekolah. Kalau bude sendiri memang tidak mengajar hari ini, karena memang menunggu kedatangan kamu."

"Nanti aja bude. Lagi ngga nafsu makan."

"Zi..! Bude udah masak banyak lo, masak iya tidak dimakan." Kesal Bude serasa memarahi.

"Iya bude fauzi makan. Tapi sama ayah." Melirik kearahnya.

"Ya sana. Bude tunggu disini. Nanti lanjut lagi ngobrolnya." Terangnya

Aku dan Ayah lantas pergi menuju dapur untuk mengambil beberapa makanan yang sudah tersedia di meja makan.

Saat sedang berada di meja makan.

"Yah!" Tanyaku sambil memakan sesuap nasi.

"Iya ada apa?" Lihatnya dengan tetap mengunyah makanan.

"Fauzi ngga mau sekolah kalau ayah tidak di sini titik." Marahku sambil memukul meja makan."

"Le jaga sikapmu! Ini rumah orang, bukan rumah kita tau?" Ayah marah sambil melirik kearahku. Matanya melotot dan wajahnya memerah serta tangannya ingin memukul tetapi tidak jadi.

Dari ruang tamu bude datang menghampiri lalu berkata,"Ada apa ini? Kenapa malah ribut di meja makan?" Teriaknya dengan nafas terengah-engah.

"Tidak apa-apa mbak. Tadi tole marah sambil memukul meja makan. Hampir aku marahin." Jawab Ayah sambil mencairkan suasana.

"Kenapa zi, kok sampai begitu?" Tanya Bude dengan tutur kata yang halus dan menenangkan hati. Jiwa-jiwa gurunya serasa mengalir padaku yang ingin menangis.

"Fauzi inginnya kalau ayah tetap disini bude. Menemani sampai selesai sekolah. Hiks-hiks." Menangis tersedu.

"Sini peluk. Fauzi akan bude jaga sampai selesai TK. Nanti kalau fauzi udah selesai boleh saja untuk kembali ke Bengkulu. Toh kalau kamu sekolah di sana yang ada malah ayahmu repot. Ngurus ini-itu, belum kamu sekolah. Mana nganterlah."

"Bude janji?" Tanyaku.

"Bude janji uzi. Nanti ada pakde dan semuanya yang ngejagain kamu. Sekarang dilanjut lagi ya makannya." Suruh bude sambil mengusap kepalaku dengan sangat lembut.

"Iya deh." Jawabku singkat.

"Ren ayo dilanjut lagi makannya." Bicara pada Ayah.

Pukul 15.00 WIB.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ibu apin pulang. Ibu udah ada di rumah?" Jawab seorang anak lelaki berpakain putih dan bercelana merah panjang. Namanya Alfin. Anak Bude yang no 2 dan juga terakhir. Jarak umur kami selisih 6 tahun dan saat itulah aku mengetahui dia untuk pertama kali.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Udah Fin, ibu di dapur." Sahutnya dan aku yang sedang duduk disampingnya.

"Loh ini siapa bu?" Jawabnya ngos-ngosan dari pintu samping rumah yang dijadikan tempat parkir motor.

"Ini fauzi. Sodaramu, anak dari paklik yang di Bengkulu. Sana ke depan beri salam dulu." Suruh Bude yang masih memotong-motong bawang pada telenan.

"Iya ibu." Iapun membuka sepatu dan menghampiri Paklik atau Ayahku.

"Sore paklik. Saya afin." Sambil menyalami.

"Walah kamu to fin. Udah besar ya sekarang. Kelas berapa?" Tanya Ayah terheran karena kagetnya

"Aku kelas 5 dan besok udah naik ke kelas 6." Jawab Afin santai.

"Loh, tapi kok baru pulang kamu jam segini?"

"Karena les dan kegiatan lainnya lik. Dan baru bisa selesai jam segini. Itu saja masih mengurus segala sesuatu yang harus disiapkan untuk menghadapi ujian di kelas 6 besok. Seperti sosialisasi dan pengarahan." Jelasnya sambil berdiri dengan sikap tegak sempurna.

"Semoga berhasil ya dalam menghadapi ujiannya besok."

"Terimakasih lik." Dan Afin menuju kamar untuk mengganti pakiannya.