Sewaktu perjalanan menuju ke rumahku, kami mengobrol mengenai game yang akan kami mainkan nanti. Di tengah perbincangan, tak sengaja Ponci melihat sesosok bayangan hitam pekat yang duduk di bangku taman bermain. Melihat itu, sontak Ponci pun memberitahuku dan Kunti, kalau ada sesosok bayangan yang berada di taman bermain.
"Wan, Kun. Kalian lihat gak di taman bermain? Ada sesosok bayangan gitu."
"Bayangan??" ucapku dan Kunti sembari melihat ke arah taman bermain.
"Dimana, Pon? Bayangannya?" tanyaku sembari mencari sesosok bayangannya.
"Iya, mana Pon?" tanya Kunti sembari mencari juga.
"Itu tuch, lagi di bangku taman."
Satu per satu, aku dan Kunti melihat seisi bangku taman bermain. Akhirnya, ketemu juga sesosok bayangan yang dimaksud Ponci.
"Oh, ada nih Pon. Itu dia lagi ngapain ya?"
"Gak tau deh, mau disamperin gak?" tanya Ponci kepadaku dan Kunti.
"Serah, kalau kamu, Kun?"
"Hem... aku takutnya dia itu pembunuh gitu. Takutnya ada kenapa-napa lagi." ucap Kunti dengan khawatir, takut hal yang menimpanya terulang kembali.
"Yaelah, kamyu kan hantu sekarang. Yang mestinya takut kan Wawan," ucap Ponci sembari memberanikan Kunti.
"Yak, tapi kan kalau dia pembunuh setan gimana?" tanya Kunti dengan khawatir.
"Yak, kalau dia bisa ngelihat hantu. Kalau gak?"
"Hem... Ya udah deh, coba aja dulu." Ucap Kunti dengan sedikit memberanikan diri.
"Ayo Wan!! Kita ke sana!!" ajak Ponci.
"Ya udah. Ayo Pon, Kun!"
"Ayo..." ucap Kunti dengan terpaksa.
Setelah, berunding cukup lama. Akhirnya, kami pun mendatangi sesosok bayangan tersebut.
Saking takutnya terjadi sesuatu, kami pun melangkah dengan sangat berhati-hati untuk menghampiri bayangan tersebut.
"Pelan-pelan, Wan, Pon."
"Yaelah, ini juga pelan-pelan, Kun."
"Iya nich, kita pelan-pelan, Chin."
Setelah diperiksa sesosok bayangan tersebut. Ternyata "Sesosok bayangan" itu adalah seorang manusia yang sedang galau.
"Tuh, Kun. Ternyata orang, Kun."
"Oh... syukurlah. Eh... tapi tunggu dulu, dia bisa ngelihat hantu atau gimana?"
"Gatau deh. Chin, kamyu periksa gih. Dia itu bisa melihat hantu atau gak?"
"Bentar, Pon. Aku bakalan periksa. Kalian berdua tunggu di sini ya?"
"Oke, Wan. Hati-hati," ucap Kunti dan Ponci.
Dengan berhati-hati akan bahaya yang bisa menimpa diriku, aku pun melangkah dan bertanya kepada orang yang sedang galau tersebut.
"Hai, kenapa kamu sendirian di tengah malam?"
Melihat kehadiranku, sontak orang yang sedang galau itu pun kaget.
"Ha..?? Hahaha... gak. Aku lagi em... menikmati udara segar di malam hari," ucap orang tersebut.
Mendengar perkataan orang itu, aku pun heran, karena dia duduk di situ sendirian pada tengah malam begini. Lantas, aku mempertanyakan kembali seraya ingin berkenalan dengannya.
"Di jam setengah tiga begini?"
"Hahaha... iya," balas orang tersebut dengan tawa paksa.
"BTW, nama kamu siapa?"
"Alvan Prawinto, kalau kamu?"
"Wawan Prasetyo Ramadani."
"Oh... Wawan," ucap Alvan dengan suara pelan seraya menundukkan kepalanya.
Setelah melihat kondisinya, yang tidak bisa melihat Kunti dan juga Ponci. Aku pun menengok ke belakang dan memberikan isyarat "Aman" kepada Ponci dan juga Kunti. Lalu aku pun melanjutkan pertanyaan berikutnya kepada Alvan.
"BTW, kamu tinggal dimana?" ucapku sembari duduk di samping Alvan.
"Aku tinggal di Blok MC 9, Wan. Kalau kamu?" tanya balik Alvan sambil menoleh ke arahku.
"Kalau aku di Blok MC 31."
"Oh..." ucap Alvan dengan suara pelan seraya menundukkan kepalanya kembali.
Merasa simpati dengan kelakuan dia, aku pun menanyakan kegalauannya itu.
"Kamu sedang memikirkan apa, Van?"
Mata yang penuh keresahan terlihat dipancarkan dari Alvan. Ia pun menceritakan kegalauannya.
"Hem... aku lagi galau, masalah ortu, Wan."
"Ortu? Kenapa ortu?"
"Yah... tadi malam, aku bertengkar hebat sama ibuku, Wan."
Sontak dengan herannya akan permasalahan Alvan. Aku langsung bertanya kepadanya bagaimana awal mula pertengkaran antara ibunya dengan dia.
"Bertengkar karena kenapa?"
"Bertengkarnya karena, yah... aku itu kayak dikekang gitu sama ibuku. Jadinya ibuku ini suka ngatur-ngatur dan ngawasin aku gitu, Wan." balas Alvan seraya menundukkan kepalanya lagi.
"Ngatur-ngaturnya, kayak gimana?"
"Ngaturnya itu kayak, harus bawa bekal lebihlah. Lalu bawa obat-obatanlah, lalu bawa jaket harus double-lah, lalu bawa topilah, bawa inilah bawa itulah. Yak, aku tau sih kalau ibuku itu ingin ngelindungin anaknya. Tapi, gak kayak gitu juga." Ucap Alvan dengan sedikit emosi.
Aku sedikit mengerti dengan maksud curhatan Alvan. Aku pun tersenyum kecil. "Hm... emang sih, agak mengganggu hehehe."
"Apalagi dia itu ngawasin akunya kayak stalker gitu, Wan." sambung Alvan dengan kesel.
"Emangnya dia kayak stalker gitu, kalau ngawasin kamu, Van?"
"Iya, Wan. Aku sampe bingung sendiri sama kelakuan ibuku." ucap Alvan dengan raut wajah emosi.
Mendengar permasalahan Alvan dengan ibunya, yang suka ngatur dan stalker-in dia mulu (Stalker: orang yang mengawasi orang lain secara diam-diam). Yak jelas, itu sangat mengganggu buat Alvan. Lantas, aku pun menghibur Alvan dengan cara membandingkan ibuku.
"Hahaha... kalau ibuku beda lagi, Van," ucapku seraya ketawa, mengingat tingkah laku ibuku.
"Emang ibumu kayak gimana, Wan?" tanya Alvan dengan heran.
"Kalau ibuku… dia bakalan marah banget kalo diisengin. Tapi... Kalau dia yang iseng, malahan dia kesenangan gitu, Van."
Setelah mendengar perkataanku barusan terlihat Alvan menahan perasaan kesal dalam dirinya. Alvan langsung memasangkan raut wajah datar.
"Itu beda konteks bambang!"
"Oh… ya kah?"
"Iyalah bambang, itu beda konteks kalau kamu sebutin itu," ucap Alvan seraya menahan emosinya.
"Tapi kan, itu sama loh."
"SAMAA APAAN ANJIIR!!!" teriak Alvan dengan penuh emosi.
Ketika Alvan memarahiku karena ucapanku barusan, aku pun beranjak berdiri dari tempat duduk. Dengan gaya layaknya orang bijak seraya memberitahu Alvan bahwa orang tua punya cara untuk melindungi anaknya masing-masing.
"Tapi yah… namanya orang tua, emang sih dengan kelakuan seperti itu pasti bikin kamu kesel. Tapi, dia tetap ibumu, Van. Ya bisa jadi cara yang dilakukannya untuk melindungimu itu salah, tapi tetap saja dia berniat baik untuk melindungimu."
Setelah Alvan mendengar perkataanku yang sok bijak dan sok benar, dia pun sedikit menerima perkataanku itu.
"Iya sih, tapi kan aku ini cowok, Wan. Bukan cewek, yang harus dilindungi."
"Iya sih. Emang, kalau untuk cowok terdengar aneh. Apalagi, kita itu masih belum dewasa."
Seusai memberikan kalimat mutiara kepada Alvan, aku pun melanjutkan perkenalan diri.
"BTW, kamu masih SMP atau gimana, Van?"
"Iya, masih SMP."
Penasaran sekolah Alvan dimana, aku pun bertanya dengan keponya. "Sekolah di SMP mana kamu, Van?"
"SMPN 380 Jakarta."
Terkejut mendengar perkataan Alvan, sontak aku pun langsung menanyakan kelasnya. "Loh kamu murid SMPN 380!?"
"Kelas mana kamu, Van?" lanjut tanyaku.
"Aku di kelas VII-7, Wan."
Setelah mengetahui, dia di kelas VII-7, lantas aku pun memberitahu dia bahwa aku salah satu murid SMPN 380 dan murid VII-7 juga.
"Wait, berarti kita satu sekolah dan satu kelas, Van! Soalnya, aku di kelas VII-7 juga."
Setelah mendengar perkataanku, Alvan pun juga terlihat kaget.
"Oh… kamu juga murid SMPN 380 dan sekelas sama aku, Wan!?"
Sontak aku langsung menjawab dengan tersenyum seraya bersalaman tangan ke Alvan. "Iya, Van! BTW mohon kerjasamanya ya, Van!"
Tanpa ragu serta berpikir panjang, Alvan pun menerima jabat tanganku dengan tersenyum. "Iya. Mohon kerjasamanya Wan,"
---04.00 A.M.---
Setelah berbincang dengan Alvan. Akhirnya aku pun berpamitan ke Alvan untuk pulang ke rumah setelah tadi sempet melihat jam tanganku yang menunjukkan jam empat pagi. Setelah berpamitan dengan Alvan, aku langsung mengajak Ponci dan Kunti untuk pulang dengan memakai bahasa isyarat "Ayo pulang".