Chereads / SURAT CINTA USTADZ FAJAR RAMADHAN / Chapter 2 - AKU BENCI SEMUANYA

Chapter 2 - AKU BENCI SEMUANYA

"Ada apa!" ucap Arani dengan dada naik turun menahan amarah.

"Ustadz Fajar sudah datang dan sekarang menunggu di bawah." ucap Asih dengan ketakutan.

Kedua alis Arani terangkat menatap Asih yang berdiri ketakutan.

"Alief, cepat ganti pakaianmu dengan yang sopan. Ustadz Fajar sudah datang, dan ingat jaga kesopanan kamu." ucap Arani dengan tatapan serius.

Tanpa menghiraukan ucapan Mamanya, Alief beranjak dari tempatnya seraya memasang handset di telinganya dengan santai.

"Alief!!! kamu mendengar apa tidak!!" teriak Arani mendekati Alief dan mencabut handset yang terpasang di telinga Alief.

"Ada apa lagi Ma? aku sudah mendengar semua apa yang di katakan Mama. Sekarang tolong jangan berteriak lagi padaku. Aku akan berganti pakaian dan segera turun." ucap Alief dengan suara pelan merasa lelah menghadapi sikap orang tuanya.

Arani mengambil nafas panjang, entah kesalahan apa di masa lalunya hingga mempunyai anak gadis yang begitu keras kepala dan susah di atur.

"Ya sudah, Mama tunggu di bawah." ucap Arani sambil meremas tangannya terpaksa meninggalkan Alief di kamarnya.

Di ruang tamu Fajar terlihat serius bicara dengan suaminya.

"Assalamualaikum Ustadz Fajar." sapa Arani dengan tersenyum ramah.

"Waalaikumsallam Bu Arani." ucap Fajar sambil menganggukkan kepalanya pada Arani seorang tokoh publik di kota C.

"Bagaimana kabar Kyai Sidiq, Ustadz Fajar? beliau baik-baik saja bukan?" tanya Arani sangat menghormati tokoh muslim terkemuka di kota C selain Ustadz Zailani Muchtar.

"Alhamdulillah baik." ucap Fajar merasa canggung dengan Azhari dan Arani teman Ayahnya sekolah.

"Di mana Alief, Rani?" tanya Azhari merasa kesal dengan sikap Alief yang semakin tidak bisa di kendalikan juga tidak mengenal takut sama sekali.

"Sebentar lagi turun." ucap Arani dengan wajah merah padam melihat tatapan Azhari yang muram durja.

Tidak berapa lama kemudian Azhari melihat Alief turun dari tangga dengan penampilan gaya anak jalanan. Kaos putih lengan pendek, celana belel yang robek-robek serta memakai topi merah.

Azhari dan Arani saling pandang tidak bisa berkata apa-apa selain menelan salivanya.

Tanpa merasa bersalah Alief duduk di samping Arani.

"Aku sudah ada di sini, kalian mau bicara apa? aku sudah bilang aku tidak mau tinggal di Pondok pesantren yang terlalu banyak aturan." ucap Alief dengan tatapan matanya yang jernih.

"Arani, apa kamu belum bicara lagi dengan Alief?" tanya Azhari merasa malu di hadapan Fajar.

Arani mengangkat kedua bahunya dengan tatapan rumit.

"Alief, apa kamu benar-benar tidak mau tinggal di pondok pesantren?" tanya Fajar memastikan keinginan Alief.

Dengan cepat Alief menggelengkan kepalanya.

"Aku sudah bilang pada Papa dan Mama kalau aku tidak mau sekolah di sana apalagi tinggal di sana." ucap Alief dengan jujur sambil melirik ke arah orang tuanya yang terlihat marah besar.

"Ustadz Fajar, jangan hiraukan ucapan Alief. Dia masih anak-anak. Dan seorang anak harus menurut apa kata orang tua kan? apalagi kita melakukannya demi kebaikan Alief juga." ucap Azhari menahan amarah pada Alief yang telah membuatnya malu di hadapan Fajar.

Alief mengangkat kedua alisnya saat mendengar ucapan Papanya.

"Om, jangan memaksaku. Bukankah kita harus menghargai keputusan orang lain? aku sudah dewasa! aku bukan anak-anak! aku sudah berusia sembilan belas tahun, aku juga sudah punya kartu identitas." ucap Alief sambil berdiri dengan dada naik turun karena rasa marahnya.

"Alief!! duduk!! kamu sadar kamu bicara dengan siapa?" tanya Azhari dengan nada membentak apalagi memanggil Fajar dengan sebutan Om.

Sambil menghentakkan kakinya Alief kembali duduk dengan kedua tangannya terkepal.

"Ustadz Fajar, tolong maafkan Alief. Sungguh aku minta tolong pada Ustadz untuk bisa membawa Alief ke Pondok. Aku sudah tidak sanggup menjaga Alief. Aku dan Papanya Alief menyerahkan Alief pada Ustadz." ucap Arani dengan kedua matanya berkaca-kaca.

Fajar menegakkan punggungnya sambil menelan salivanya. Bagaimana bisa orang tua Alief menyerahkan Alief padanya. Sedangkan sikap Alief seperti singa betina yang tidak bisa di kendalikan.

"Ustadz mau kan menerima permohonanku ini? mengingat Kyai Sidiq pernah bilang ingin mengambil Alief sebagai Putri bungsu Kyai Sidiq." ucap Arani dengan bahasa halus.

Alief menatap Fajar dengan tatapan tajam, seolah-olah mengancam Fajar untuk tidak menerima permintaan orang tuanya.

"Baiklah Bu Arani, aku akan membawa Alief ke Pondok pesantren hari ini." ucap Fajar akhirnya mengalah daripada mendapat masalah dengan Ayahnya.

"Ustadz...jangan panggil Bu lagi, panggil saja Tante dan Om pada kami. Kita berdua sudah seperti saudara dengan Kyai' Sidiq." ucap Arani merasa lega setelah Fajar membantunya untuk menyelamatkan Alief dari gaya hidupnya yang tidak benar.

"Kalau begitu aku minta izin berangkat sekarang." ucap Fajar sambil melirik ke arah Alief yang masih duduk dengan tatapan penuh kemarahan.

"Alief ayo, cepat bangun! kamu harus pergi sekarang dengan Ustadz Fajar." ucap Arani bangun dari duduknya dan menarik tangan Alief namun tangan Alief berpegangan pada pinggiran kursi dengan sangat kuat.

"Lepaskan aku Mama! aku tidak mau pergi ke sana!" ucap Alief dengan berteriak penuh kemarahan dan rasa kecewa yang dalam.

"Azhar!! bantu aku!! Alief tidak mau bangun!" ucap Arani para suaminya yang berdiri dan diam saja.

Sadar dari keterpakuannya Azhari segera melepas tangan Alief, namun tangan Alief mencengkeram erat gagang kursi dengan kedua kakinya yang menendang ke sana kemari hingga Azhari dan Arani kewalahan.

Melihat Alief yang memberontak keras membuat Azhari benar-benar kehilangan kesabaran hingga berniat menampar Alief agar sadar dengan sikapnya.

"Om... jangan!!" ucap Fajar tidak bisa berdiam diri saat tangan Azhari terangkat hendak menampar Alief.

Segera Azhari menurunkan tangannya kemudian duduk di kursi sambil mengusap wajahnya.

"Aku benar-benar tidak sanggup mengendalikan Alief Ustadz. Tolonglah bantu kami untuk membawa Alief ke Pondok pesantren." ucap Azhari dengan perasaan putus asa.

Fajar menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alief yang masih berpegangan pada kedua gagang kursi.

"Alief, ayo kita berangkat." ucap Fajar penuh kesabaran.

"Tidak!!! sekali tidak tetap tidak!! kenapa Om juga memaksaku!! AKU BENCI KALIAN SEMUA!" teriak Alief dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian.

"Tante...Om bagaimana ini? Alief bersikeras tidak mau ke sana?" ucap Fajar tidak tega melihat Alief seperti singa betina yang terluka.

"Ustadz, aku mohon jangan menyerah. Alief memang selalu seperti itu." ucap Arani dengan kedua matanya berkaca-kaca.

Fajar berdiri di tempatnya dengan keadaan bingung harus berbuat apa.

"Ustadz, bukankah suatu kewajiban Ustadz untuk menjadikan seseorang untuk bisa menjadi baik? aku mohon padamu Ustadz. Jangan menyerah pada Alief." ucap Arani sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.

"Baiklah Tante, semoga aku bisa melakukannya." ucap Fajar kemudian secara tiba-tiba melepas kedua tangan Alief dan menggendongnya dalam pelukannya.

"Apa yang Om lakukan!!! lepaskan aku!' teriak Alief saat sadar sudah dalam gendongan Fajar.