"Aku tidak mau sekolah di sana!" teriak Alief dengan wajah memerah menatap wajah kedua orangtuanya dengan berani.
"Dengarkan permintaan papa kamu Alief! kamu sudah tidak bisa lagi sekolah di kota ini. Sudah banyak sekolah yang lepas tangan tidak sanggup mendidik kamu lagi." ucap Arani pada Alief putri semata wayangnya.
"Lebih baik aku tidak sekolah daripada aku harus tinggal di pondok yang penuh dengan peraturan!" ucap Alief sambil mendengarkan musik yang terpasang di telinganya.
"Kamu harus ke sana." ucap Azhari Ayah Alief dengan tatapan tajam.
Alief mengangkat wajahnya, sama sekali tidak takut dengan tatapan Azhari yang di takuti oleh seluruh karyawan di perusahaannya.
"Aku tetap tidak mau Papa! lebih baik Papa menghukumku atau mengusirku dari rumah ini!" ucap Alief hendak bangun dari duduknya namun tangan kuat Papanya memegang lengannya dengan sangat kuat.
"Dengar Alief! semakin kamu memberontak! Papa tidak akan tinggal diam. Semua fasilitas yang kamu miliki akan Papa sita semua!" ucap Azhari dengan sungguh-sungguh.
Seketika Alief menyentakkan tangan Papanya yang masih mencengkeram lengannya.
"Ancaman Papa selalu itu!! aku sama sekali tidak menyukainya! aku benci padamu Papa!" teriak Alief kemudian berlari pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang saling pandang tidak sanggup lagi mengurus Alief yang sudah tidak bisa di kendalikan lagi.
"Rani, cepat kamu urus anak kamu itu!" ucap Azhari melanjutkan membaca koran harian pagi.
"Apa hanya aku yang mengurusnya! Alief bukan anakku saja! dia juga anakmu Azhar!" sahut Arani dengan tatapan kesal.
"Kamu Mamanya! bagaimanapun juga Alief tanggung jawabmu! aku sudah capek bekerja seharian di kantor. Otakku sudah penuh dengan masalah di kantor!" ucap Azhari seraya menghempaskan koran yang di pegangnya ke atas meja.
"Memang otak kamu saja yang penuh dengan masalah? apa aku tidak! dengar Azhar aku juga sibuk dengan semua aktivitasku! sebagai anggota dewan aku tidak bisa berpangku tangan dengan semua yang terjadi di sekelilingku!" ucap Arani dengan panjang lebar memperjelas lagi kedudukannya pada suaminya.
"Anak kamu itu yang harus kamu perdulikan lebih dulu! bukan yang lainnya!" ucap Azhari dengan emosi yang sudah mulai meledak.
"Alief bukan anakku saja! dia juga anakmu!!" ucap Arani dengan nada tinggi tidak mau kalah dengan suaminya.
"Kamu!! aku menyesal telah membantumu mencapai pada kedudukan itu!! sekarang cepat kamu hubungi Ustadz Fajar untuk segera ke sini menjemput Alief! atau aku harus berbuat sesuatu yang tidak kamu inginkan dalam hidup kamu!" ucap Azhari dengan kemarahan yang sudah pada puncaknya.
Mendengar ancaman suaminya dengan terpaksa dan hati kesal Arani menghubungi Ustadz Fajar.
"Assalamualaikum Ustadz." sapa Arani dengan ramah dan sopan penuh wibawa.
"Waalaikumsallam, ada apa Bu Arani? apa niat anda untuk menyekolahkan Alief di Yayasan Nur Hidayah sudah benar-benar anda pikirkan?" tanya Fajar sebagai salah satu Ustadz yang sudah di percaya oleh Haji Bahri.
"Aku dan suamiku sudah memikirkannya dengan matang Ustadz. Tapi Alief tidak mau untuk sekolah di sana. Apa aku bisa minta tolong pada Ustadz untuk membujuk dan menjemput Alief?" ucap Arani dengan suara memohon.
Sesaat tidak ada suara dari Ustadz Fajar selain keheningan.
"Insyaallah, aku akan ke rumah anda. Tolong kirim saja alamat anda, aku akan segera ke sana." ucap Fajar berpikir sudah menjadi tugasnya untuk membantu semua umat manusia yang sesat ke jalan yang benar.
"Terima kasih Ustadz, segera aku kirim alamatnya sekarang. Assalamualaikum." ucap Arani kemudian menutup panggilannya dan segera mengirim lengkap alamatnya pada Ustadz Fajar.
"Sekarang apa kamu sudah puas Azhar? melihat aku susah payah menghubungi Ustadz? sekarang siapkan saja uangnya untuk mengurus sekolah Alief. Aku akan memberitahu Asih untuk mengemas pakaian Alief." ucap Arani beranjak dari tempatnya tanpa menunggu jawaban Azhari.
Azhari kembali menghempaskan koran di hadapannya melihat sikap Arani yang sama sekali tidak menghormatinya.
Di kamar Alief menenggelamkan kepalanya di bantal dan menangis sepuasnya.
"Aku benci dengan semua orang! aku benci Papa dan Mama! mereka berdua sama sekali tidak menyayangiku, hanya pekerjaan dan kedudukan yang mereka sayangi. Aku benci padamu Papa, Mama!!" ucap Alief di sela-sela isak tangisnya.
"Ceklek"
Pintu kamar Alief terbuka, Asih masuk mendekati Alief.
"Non Alief." panggil Asih pembantu paling muda di keluarga Azhari.
Alief diam saja tidak menjawab panggilan Asih.
"Non Alief, pakaian mana yang harus aku kemas?" tanya Asih sedikit merasa takut mendapat kemarahan dari Alief yang punya sifat temperamental.
Alief mengangkat wajahnya saat mendengar Asih bertanya pakaian apa yang akan di kemas.
"Jadi Papa dan Mama bersikeras menyekolahkan aku di Yayasan. Lihat saja, apa yang bisa aku lakukan di sana. Aku pasti bisa dikeluarkan dalam hitungan jam." ucap Alief bertekad untuk memberontak dengan tidak menjalankan semua peraturan Yayasan dan perintah dari siapapun.
"Tidak perlu membawa banyak Asih, bawa satu pakaian saja. Aku tidak akan lama di sana." ucap Alief merasa yakin dengan apa yang di ucapkannya akan terjadi. Dia akan kembali secepatnya.
"Baik Non Alief." ucap Asih menurut saja perintah dari Alief.
Setelah menyiapkan perlengkapan seperti yang di minta Alief, Asih berniat kembali jd dapur bersamaan dengan Arani masuk ke dalam kamar.
"Asih! tunggu!" ucap Arani dengan suara datar.
"Ya Nyonya." sahut Asih menghadap Arani.
"Apa kamu sudah selesai menyiapkan semua pakaian Alief?" tanya Arani memastikan semua yang di butuhkan Alief terpenuhi daripada akan merepotkannya lagi.
"Sudah Nyonya, seperti Non Alief minta aku hanya menyiapkan satu pakaian saja.
Kedua alis Arani terangkat kemudian mendekati Alief.
"Apa yang kamu lakukan Alief? kamu akan tinggal di sana sampai sikap kamu berubah. Bagaimana bisa kamu hanya membawa satu pakaian saja?" tanya Arani sudah mulai naik darah.
"Sudah aku bilang.. aku tidak mau tinggal di sana. Kalau Mama dan Papa tetap memaksaku sekolah di sana, jangan salahkan aku kalau aku di keluarkan dari Yayasan saat hari ini juga." ucap Alief dengan wajah memerah.
"Alief!! jangan membuat kesabaran Mama habis. Kalau kamu bersikap seperti ini terus, Papa kamu akan benar-benar menarik semua fasilitas kamu!" ucap Arani dengan marah.
"Aku tidak peduli! aku bisa mencari uang dengan mudah. Aku bisa menjual tubuhku pada laki-laki kaya dan aku dapat uang banyak." ucap Alief dengan perasaan marah hingga mengucapkan kata-kata yang membuat Mamanya semakin marah besar.
"PLAKKK"
"Mama benar-benar tidak percaya punya anak seperti kamu Alief!! sangat memalukan!" ucap Arani dengan perasaan campur aduk antara kecewa, sedih dan marah.
"Nyonya!" panggil Asih tiba-tiba sudah berdiri di pintu yang terbuka.
"Ada apa!" ucap Arani dengan dada naik turun menahan amarah.
"Ustadz Fajar sudah datang dan sekarang menunggu di bawah." ucap Asih dengan ketakutan.