Chereads / Raja Kecil / Chapter 8 - Pak Cik, Itu Apa?

Chapter 8 - Pak Cik, Itu Apa?

Encik Muar menatap dua anak di hadapannya setelah menceritakan apa yang terjadi sebelum kelahiran Cil tujuh tahun lalu.

Yunus paham apa yang disampaikan Encik Muar. Yang tidak dipahaminya, kenapa dirinya yang tidak ada hubungan apa-apa dibiarkan mendengarkan kejadian tragis di masa lalu. "Saya mengerti apa yang tuan guru sampaikan. Tapi kenapa tuan guru menceritakan semuanya juga pada saya?"

"Karena atuk akan menjadikan kamu sebagai wakil, pendamping Yang Dipertuan Besar dalam pengambil keputusan! Kamu anak yang dapat di percaya, bertanggung jawab, pekerja keras dan tak mudah menyerah." Encik Muar mengatakan itu semua karena sudah mengenal lama Yunus dan keluarganya yang petani.

Meski hanya keluarga petani tetapi sang ayah selalu mengajarkan anaknya untuk tidak menyerah dengan keadaan walau sesusah apa pun. Selama menunggu masa panen keluarga Yunus biasa mencari ikan di sungai atau menanam sayur-sayuran. Hasil sayuran mereka selalu di jual kepada Encik Muar. Dari kebiasaan membantu orangtuanya mengantar sayur ke rumahnya, Encik Muar mengenal Yunus.

"Kamu bebas memilih. Silahkan bicarakan dulu bersama ayah dan ibumu. Atuk tak kan memaksa. Tapi, jika kamu menerima permintaan atuk. Akan ada banyak guru yang dapat kamu ambil ilmunya." Encik Muar memberi tawaran.

Yunus jelas sangat tertarik. Ingin belajar dengan lebih banyak guru yang sehebat Encik Muar atau mungkin lebih. "Baik tuan guru..."

"Sudah berapa kali atuk kata. Panggil atuk saja kalau tak lagi belajar." Potong Encik Muar sedikit menghela nafas.

"Tapi Cil memanggil guru..."

Encik Muar tertawa kecil. "Dia anak yang keras kepala. Jangan kamu turut."

Yunus melirik Cil di kanannya sambil menahan tawa. "Baik atuk."

Ruang belajar kemudian menjadi sepi. Setiap mata yang ada di ruangan itu menatap Cil yang diam tertunduk. Membayangkan seperti apa sosok ayahnya.

Apa benar jika ayahnya yang memberi perintah membunuh istri Laksemananya? Seberapa hebatnya seorang Sultan sehingga bisa memerintahkan orang lain untuk membunuh? Bukankah ia dan keluarganya bersembunyi dari orang-orang utusan Sultan yang saat ini berkuasa karena ingin melenyapkannya.

Encik Muar memintanya mengambil keputusan. Umurnya masih juga tujuh tahun, keputusan apa yang harus diambil anak sepertinya. Di saat yang ia tahu masih main, belajar dan berlatih menggunakan senjata untuk membela diri.

Encik Muar juga mengatakan ayahnya mengambil keputusan untuk menjabat sebagai Yang Dipertuan Besar ketika masih kecil.

"Apa pun yang terjadi, berjanjilah untuk bertahan!" Cil teringat perkataan ibunya pagi itu sebelum rumah mereka diserang orang-orang utusan Sultan.

"Cil tak tahu harus apa. Tapi Cil pernah janji sama ibu. Apa pun yang terjadi, Cil akan bertahan!"

Senyum tampak melebar di wajah Encik Muar, Puan Pong, Madi dan seorang laki-laki lain yang belum dikenal Cil dan Yunus.

Mendapatkan jawaban dari Cil, Encik Muar akhirnya mengenalkan laki-laki yang dari awal duduk bersama Madi. Laki-laki itu bernama Tan, utusan Datuk Laksemana, ayah dari Puan Pong. Baru datang pada subuh hari itu. Bertepatan dengan Encik Muar mempersiapkan semua pengawalnya untuk kembali ke tempat Datuk Laksemana.

Tan mengatakan pada Encik Muar untuk menunda keberangkatan kembali. Terutama dalam iringan pengawal. Datuk Laksemana ingin membawa cucunya pada seorang sahabat baiknya.

"Nahkoda Malin kah?" Puan Pong menebak.

"Benar Puan. Nahkoda Malin. Pasti Puan pernah bersua dulu sekali sebelum menikah dengan almarhum Sultan Mahmud Syah ll. Menurut beliau, kekuasaan Johor-Riau tidak sampai hingga ke daerah asalnya."

"Siapakah kiranya Nahkoda Malin itu?" Encik Muar belum pernah bertemu langsung dengan Nahkoda Malin.

"Beliau adalah seorang saudagar dari kerajaan Pagaruyung. Datuk Laksemana mengenal beliau ketika menghadapi perompak yang menyerang kapal Nahkoda Malin. Karena merasa sangat berhutang nyawa dan rasa persaudaraan, Nahkoda Malin membantu kita sekarang."

Encik Muar mengangguk sambil mengusap janggut tipisnya. Merasa ingin mengenal langsung dengan Nahkoda Malin. "Di manakah gerangan Nahkoda Malin itu sekarang?"

"Beliau sedang dalam perjalanan ke daerah timur. Sekarang sekira sudah tujuh hari beliau berlayar. Datuk Laksemana ingin Cil segera dibawa ke tempatnya sebelum sahabatnya kembali dari berlayar."

"Jadi bila balik, beliau akan singgah kembali ke tempat ayahanda?" Puan Pong tampak senang jika benar ayahnya akan membawa anaknya ketempat yang aman. Jauh dari jangkauan orang-orang utusan Sultan.

"Benar Puan. Tapi..." Tan terlihat tidak senang akan melanjutkan ucapannya.

Puan Pong, Encik Muar dan Madi penasaran.

"Tapi Datuk tak ingin Puan ikut..."

"Kenapa tak boleh? Saya kan anaknya sendiri."

"Menurut Datuk Laksemana, jikalau Puan dan Encik Muar ikut serta dalam perjalanan. Identitas keberadaan Cil yang masih belum diketahui akan mudah terlacak. Itu sebabnya Datuk melarang Puan ikut serta."

Encik Muar menghela nafas mendengar penjelasan Tan yang memang benar adanya. Dirinya dan Puan Pong di kenal baik rupanya, jika melakukan perjalanan bersama diiringi banyak pengawal, serta sang ahli waris. Sudah dapat dipastikan, mereka akan menjadi sasaran empuk pembantaian.

Menahan diri tetap di pedalaman Temasek adalah pilihan bijak. Dan membiarkan Cil pergi ke tempat Datuk Laksemana dengan orang pilihan seperti Madi dan Tan.

Puan Pong menarik nafas dalam-dalam perlahan. Dia juga harus memilih untuk kebaikan anaknya. "Baiklah. Saya akan tinggal." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Menahan diri agar tak menangis merelakan anaknya yang manja dan keras kepala akan pergi dari pelukkannya.

Tapi Puan Pong tak bisa menahan air matanya kala melihat wajah polos anaknya. Cil mendekat melihat ibunya menangis dan itu membuat Puan Pong semakin menjadi tangisnya. Memeluk anaknya seolah tak akan melepaskan.

"Yang sabar." Encik Muar mengusap kepala Puan Pong yang terus menangis memeluk anaknya. "Kelak kita akan bertemu kembali. Jangan sampai membuatnya berat untuk pergi ke tempat atuknya sendiri."

Perkataan Encik Muar mengingatkan Puan Pong tentang ucapannya pada anaknya. "Berjanjilah untuk bertahan apa pun yang terjadi!" Maka dari itu pula Puan Pong menguatkan hatinya. Tak akan membuat anaknya berat untuk pergi ke tempat Datuk Laksemana.

***

Tan berjalan dengan hati-hati ketika mereka harus menyusuri jalan yang sedikit becek. Sisa genangan hujan tempo hari. Sementara Madi berjalan di depannya sambil memetik buah murbei dari pinggir jalan setapak yang ditemuinya.

"Cil mau?" tanya Madi sambil memasukan lima buah murbei ke dalam mulutnya sendiri.

Cil yang digendong Tan di punggungnya menyodorkan tangan.

"Sudah berapa kali kalian makan buah itu terus? Apa tak bosan?" Tan risih sendiri melihatnya. Sedikit menyesal dirinya mengikuti Madi.

Jalan yang dipilih Madi bukanlah jalan biasa di desa. Melainkan jalan di pinggir hutan yang jarang dilalui orang. Madi sengaja memilih jalan itu untuk menghindari kemungkinan apa saja yang akan menghalangi perjalanan.

Selain itu, Madi juga mengkhawatirkan rumah persembunyian Encik Muar, jika ada yang melihat mereka keluar dari desa. Madi memang berwajah seperti pemalas yang selalu mengantuk, tapi sebenarnya ia memikirkan banyak hal dalam setiap hal yang dilakukannya.

"Ye mau macam mana lagi. Kami ini kan orang desa." Madi mengulurkan kantong buah murbei pada Cil.

"Pak Cik tak mau?" tanya Cil ketika menerima kantong buah murbei.

"Pak cik tak suka..." sahut Tan namun ketika Cil menyuapi langsung buah murbei, tanpa komentar apa-apa ia kunyah buah itu dengan lahap meski awalnya sempat terdiam merasakannya.

"Enak?"

Tan terus menerima buah yang disuapkan Cil padanya. "Manis. Pak cik suka."

Madi tertawa melihat Tan makan sambil disuapi Cil. Tampak Tan tak sadar jika Cil menyuapi buah murbei dan bukan buah lain yang ada di dalam kantong buah. "Setelah melewati bukit itu. Kita akan sampai di pelabuhan terdekat." Madi menunjuk sebuah bukit.

"Apa kita akan bermalam di sana?"

"Kalau tak ada kapal, apa boleh buat."

"Kalau macam tu ada baiknya kita percepat langkah..." Langkah Tan tiba-tiba terhenti. Menatap lurus ke depan.

"Pak cik itu apa?" Cil menunjuk empat ekor hewan kecil, bertubuh bulat, ekor kecil bergulung dan hidung mengendus. Terkejut melihat kehadiran manusia.

"Sseee..." Tan menyuruh Cil diam. Melihat sekeliling, berharap tidak ada induknya. Induk hewan itu sangat ganas bila ada yang mengganggu anaknya. Akan mengejar dan berhenti setelah lelah sendiri atau kehilangan jejak.

Madi yang asik makan murbei tidak menyadari kehadiran hewan di hadapan mereka. "Kenapa berhenti?"

Tan menunjuk ke depan. "Ada babi..."

"Apa babi?" Madi segera melihat ke arah yang di tunjuk Tan. Suara Madi yang tidak di rem volumenya mengejutkan para anak babi yang ketakutan memanggil induknya.

Dari arah samping mereka tiba-tiba muncul induk babi yang sangat besar. Membuat Cil berteriak, antara senang dan histeris ketakutan melihat hewan liar itu untuk pertamanya. "Besarnya..."

Madi segera ambil langkah seribu, berlari lurus ke depan. Melangkahi empat anak babi sebelum di kejar induknya.

"Menyesal saya mengikuti si bodoh ini..." Tan berseru sambil berlari dan menyumpah menghindari kejaran induk babi.

"Hutan, harap maklum. Tapi sepertinya kita akan cepat sampai." Madi tertawa di tengah berlari.

"Bukan dengan kejaran babi caranya! Dasar bodoh!"