Suatu pagi aku bangun lebih cepat. Kuseret koper besar itu menuju halaman kontrakan yang sempit. "Axton, kau tidak makan dulu?" Ibu mengejarku terburu-buru. "Tidak usah, Bu. Nanti aku bisa makan di jalan. Aku harus cepat ke terminal."
Ibu tampak tidak peduli. Dia meletakkan kotak bekal itu di atas koperku. Ibu meraih pipiku sebentar. Meski aku sedikit risih karena diperlakukan seperti anak kecil, tapi aku merasa nyaman.
"Axton, hormatilah atasanmu dengan baik. Dia pasti orang baik, sampai-sampai memberikan pekerjaan yang sehebat itu padamu. Tolong sampaikan rasa terima kasih Ibu pada temanmu yang sudah membantumu itu. Baik-baiklah dengannya, jangan sampai bertengkar." Aku hanya mengangguk kecil saat Ibu mengatakan itu semua.
"Sampaikan juga salam Ibu pada Ella, jadilah pemuda yang baik dan sopan padanya." Pesan Ibu yang satu ini membuatku tersenyum.
"Ibu tenang saja. Aku bukan anak kecil lagi."
Sebelum itu, aku tidak lupa berpamitan dengan Kak Erlan. Sebenarnya aku sangat cemas tentang siapa yang akan mengurus Kak Erlan, mengingat bahwa selama ini aku yang selalu mengurus Kak Erlan. Untungnya, Bi Mey bersedia melakukan itu tanpa harus kuminta lebih dulu.
"Kak, aku pergi dulu, ya?" Kugenggam tangan kanannya yang bergetar. Aku sangat tahu, tangannya akan selalu bergetar jika sangat bersedih. "Ka-kapan … kapan kau pulang?"
"Aku akan selalu pulang untuk bertemu bos ku ini." Hah! Aku pasti akan merindukannya.
"Ja-jangan … jangan lama-lama. Aa-aku ... aku akan beli mainan."
"Tentu saja tidak akan lama."
Aku melirik Ara yang sedang bergelayutan di kaki Ibu. Dia terisak sangat dalam. "Hei Tuan Putri. Jangan menangis gitu, dong. Kakak kan pergi cuma sebentar. Katanya mau jalan-jalan? Hm?" Dia tersenyum padaku dengan keyakinan yang sangat kuat.
Binar-binar matanya yang polos membuatku merasa iba.
"Kalau begitu aku pamit dulu, ya?" Aku berlari secepat mungkin setelah mencium dahi adik kecilku itu. Selain karena mengejar waktu, aku juga takut hatiku akan goyah jika masih berdiri di sana.
"Axton!" Suara Ibu menghentikan langkahku yang hampir menjauh. Aku berbalik sebentar untuk melihatnya.
"Hati-hatilah di tempat yang bukan rumah kita! Di dunia ini, mereka yang terlihat baik bahkan bisa saja berbuat jahat!" Pesan terakhir Ibu kutepis begitu saja dengan senyuman. Kulanjutkan langkahku dengan berlari setelah melambaikan tangan.
"Hati-hati! Jangan lupa kabari Ibu kalau sudah sampai!"
Saat itu, aku hanya bisa mengabaikan pesan Ibu. Tanpa tahu, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya.
**
Bim! Bim!
Suara klakson mobil membangunkan aku yang tertidur di dalam bus. Tak terasa akhirnya aku sudah sampai di ibu kota.
"Halo, Bu. Aku sudah sampai ni."
"Ha? Ah iya, aku akan memakannya nanti."
"Tidak, aku belum tahu."
Brakk!
Seseorang menyenggol tubuhku hingga berkas yang kubawa semuanya berserakan. Namun, lelaki itu pergi begitu saja tanpa mengucapkan maaf sama sekali.
"Halo, Bu? Sudah dulu, ya? Aku harus mengambil barang-barangku."
Tut! Tut!
Kuakhiri panggilan itu dengan cepat. Segera kuraih seluruh berkasku yang berserakan. "Ck! Dia tidak tahu etika, ya? Bukannya minta maaf, malah pergi begitu. Benar-benar!"
Setelah semua berkas itu tersusun, aku menyadari akan satu hal. "Sial! Dia copet!"
"Hai! Berhenti!" Kukerahkan semua tenaga yang tersisa untuk mengejar lelaki yang sudah menabrakku tadi. Sayang sekali, aku kehilangan jejaknya dalam hitungan detik.
Sebenarnya, dompet dan kartu-kartu semua masih aman. Hanya saja, tampaknya dia salah target dan malah mengambil tasku yang berisi berkas-berkas penting untuk dibawa ke perusahaan. Sial! Baru saja aku tiba di ibu kota, aku sudah bertemu sampah masyarakat di sini.
Untung saja aku masih punya salinan file-nya di laptop. Setidaknya untuk saat ini, semua berjalan lumayan baik-baik saja.
Kriiing … kriiiing!
"Halo, Ella? Ah iya, ini sudah sampai di terminal."
"Apa? Aku tidak mendengarnya. Di sini sangat berisik."
"Buku? Novelku maksudnya?"
"Oh baiklah, lanjut saja dulu. Aku juga harus … ."
Tut … Tut …
Selalu begini. Dia selalu saja mematikan ponsel tanpa mendengar salam penutup dariku. Aku tidak tahu, apa mungkin suasana hati perempuan suka berubah-ubah sehingga suka sekali membuat pacarnya khawatir. Atau, ini cuma Ella?
"Oi! Axton?" Tepukan kasar itu mendarat di pundakku. Benar-benar membuatku terkejut. Aku berbalik badan cukup cepat. "Kak Ansol?" Sebuah kebetulan yang luar biasa bagiku bisa bertemu dengan asisten dosen saat aku masih kuliah dulu.
"Kau baru saja tiba dari kampung?" tanyanya. Aku hanya sedikit mengangguk, "Kakak kenapa ada di sini?" tanyaku balik. "Kebetulan aku hari ini menjemput adikku. Dia habis tour. Wah ... kau benar-benar menyusul kekasihmu kemari? Ah iya, kau masih berpacaran dengan gadis cantik itu?"
Aku tidak tahu mengapa dia bisa berpikir begitu.
"Ella? Ya, aku masih dengannya. Tapi aku kemari karena aku mendapatkan pekerjaan di sini."
"Benarkah? Wah sudah hampir enam tahun kau bersamanya, luar biasa. Sepertinya Ella benar-benar sangat mencintaimu. Jarang sekali ada wanita secantik itu yang tidak pernah selingkuh dan meninggalkan kekasihnya seperti itu, lho. Hati-hati." Aku tidak tahu mengapa dia lebih tertarik membahas Ella daripada bertanya tempatku bekerja. Aku menatap lekuk matanya yang seolah sangat penasaran. Itu membuatku semakin kesal saja.
"Oh iya, di mana kau bekerja?" Akhirnya dia menanyakan sesuatu yang lebih pantas daripada membicarakan soal pacarku. "Ah, iya. Bukan perusahaan besar dan terkenal seperti tempat Kakak bekerja. Aku juga baru saja mendengar nama perusahaan itu. Untungnya perusahaan itu memberikan fasilitas tempat tinggal untuk karyawannya. Jadi aku tidak perlu mencari kos atau apartemen. Syukurlah, aku bisa hemat dan menabung."
"Benarkah? Aku baru kali ini mendengar perusahaan memberikan fasilitas tempat tinggal semacam itu pada karyawannya. Apa nama perusahaannya?" tanya Kak Ansol.
"Namanya … ."
"Kakak!" Suara seorang perempuan memotong kalimatku. Kulihat seorang gadis dari kejauhan berlari mendekat. "Kakak sudah lama menunggu?" tanyanya pada Kak Ansol.
"Ya begitulah. Untung saja aku bertemu dengan teman lamaku ini barusan. Kenalkan, dia Axton. Dia juniorku saat kuliah di kampung dulu." Jawaban Kak Ansol diikuti uluran tangan dari gadis yang kupikir itu pasti adiknya.
"Hai, aku Ran. Sepertinya kita seumuran," sapanya. Aku tidak tahu mengapa, tapi setelah aku menyambut tangan itu, aku merasa sangat tidak nyaman. Gadis itu terus saja curi-curi pandang dan terlihat sangat agresif.
"Hati-hati, lho. Axton ini sudah punya pacar yang cantik," pungkas Kak Ansol.
"Kan masih pacar, belum istri."
Apapun yang sedang mereka bicarakan, itu semua tidak berguna saat ini bagiku. Aku harus segera mencari alamat perusahaan itu untuk segera menyerahkan dokumen pelengkap lamaran ini. Aku juga harus mencari warnet terlebih dahulu untuk mencetak berkas-berkas yang tadi dibawa copet sialan itu.
"Ah, maaf. Aku sedang terburu-buru. Besok kita bisa berjumpa lagi. Aku pamit dulu, Kak." Terburu-buru aku menyeret koper besarku menuju seberang jalanan.
"Oi! Tidak mau kutraktir makan dulu karena sudah pindah ke ibu kota?!" teriaknya dari kejauhan.
"Terima kasih! Tapi aku rasa itu lain kali saja!" Kulambaikan tangan pada mereka berdua. Sejak lama aku tidak pernah benar-benar menyukai Kak Ansol. Namun, dia selalu saja datang dan sok akrab padaku.
Ah sudahlah. Aku harus segera pergi mencari alamat perusahaan ini. Sebenarnya aku agak bingung, perusahaan ini cukup bagus jika ditimbang melalui upah dan fasilitas yang diberikan. Hanya saja, setelah sekian lama mencari alamatnya … aku belum menemukannya. Alamat di internet juga tidak sama dengan alamat yang tertera pada amplop coklat ini. Apa aku salah lihat, atau bagaimana?