Deritan pintu kamarku menggema cukup nyaring. Asrama ini terlalu sunyi untuk sekedar menarik pintu. Bahkan mungkin saja gerutu yang dari tadi kulemparkan didengar mereka. Tanpa berpikir panjang kuhadapkan wajahku pada orang gila yang berteriak di depan pintu kamar, setelah pintu itu terbuka.
"Ya?" tanyaku berpura-pura tak tersinggung.
Sosok yang berdiri di depan pintu membuatku terkejut. Pria bertubuh tinggi, dengan dada bidang yang tampak sangat kuat tengah bersedekap. Tangannya menengadah ke langit, terulur ke arahku.
Lelaki itu mengunyah permen karet. Dua orang bertubuh kurus sedang tersenyum dari ke dua sisi belakang pria itu.
"Mana?"
Satu kata yang keluar dari mulut lelaki itu membuatku terheran-heran. Dia minta uang padaku? Wah benar-benar keterlaluan.
"Apa?"
Aku tak tahu dia mau apa dengan tatapan seperti itu. Aku hanya kebingungan saat dia melangkah maju, menarik kerah kemejaku.
SRETT!
Bunyi apa itu? Jangan bilang kemejaku robek! Aku menarik lepas tangannya yang kekar dari kemejaku, kuperhatikan baik-baik kemeja ini. Memastikan tak ada yang robek. Ck! Akan sangat menyedihkan kalau kemeja baru ini robek. Aku baru memakainya beberapa kali.
"Woi!"
DEG
Astaga! Jangankan tubuhnya, suaranya pun terkesan gagah dan menyeramkan. "Ma-maaf? Maksudnya?" tanyaku bingung.
Dia tak menjawab pertanyaanku, langsung saja menerobos kamarku dengan lancang. "Apa yang Anda lakukan, Pak?" Aku mencoba menghalanginya sebisaku agar tak mendekati koperku yang berharga. Aku takut kalau pria bertubuh kekar ini tukang palak. Jangankan uang untuk menghentikannya, bahkan uang untukku makan saja, aku harus berpikir dua kali untuk menggunakannya.
BRAK!!
"Aw!!" Benar-benar sangat kuat, aku tidak bisa menghentikannya. Dia mendorong tubuhku hingga terhempas ke sudut pintu.
Di dekat meja kecil itu, dia berjongkok, melempar koperku menyingkir dari hadapannya. Saat itu aku langsung kebingungan. Aku tidak mengerti dia mau apa. Kutatap dua orang kurus di depan pintu yang sedang mengintip ke dalam.
"Brengsek!" teriaknya tiba-tiba.
Tentu saja aku sangat terkejut. Dia mengeluarkan kata-kata kasar yang membuatku muak. Berkali-kali melakukan sesuatu yang tidak dapat kupahami. Please! Tolong biarkan aku tenang, kenapa?!
Setelah mencaci, dia masuk ke kamarku dengan paksa, dan sekarang malah kembali berkata kasar. Aku bertolak pinggang setelah berdiri, memperhatikan punggung besar yang masih sibuk berjongkok di bawah meja kamarku.
"Sebenarnya apa yang Anda cari, Pak?" tanyaku geram.
"Kau membunuhnya?!" Jawaban yang aneh. Sekarang dia malah bertanya tentang sesuatu yang tidak aku mengerti.
"Ha?" Aku terkejut saat dia mengangkat tiga bangkai binatang kecil. "Aku membersihkan kamar, jadi aku tidak tahu ada binatang seperti ini di kamarku," jawabku polos.
Dia kembali menarik kerahku, sekarang sedikit mengangkat tubuhku yang lebih pendek darinya. "Sialan! Kau tahu betapa berharganya Juliet-ku?!"
Dia menyebut nama seorang wanita. Aku menoleh pada hewan yang masih ada di tangan kirinya. Kutunjuk hewan itu ragu-ragu dengan telunjuk kanan. "I-ini? Ju-Juliet? Serangga ini … Juliet-mu?" tanyaku tak percaya. Masa iya dia marah hanya karena serangga kecil itu? Dan caranya menyebut nama itu persis seperti caraku menyebut nama "Ella". Dahiku berkerut tak sengaja. Mungkin wajahku tampak seperti orang yang mencela.
"Apa katamu?!" Dia mendorong tubuhku hingga terpojok ke sudut kamar kecil ini. "Serangga kau bilang?! Jaga ucapanmu pada Juliet-ku, brengsek!" Dia mengangkat kerahku lebih tinggi dari sebelumnya. Jujur saja, seumur hidup … baru kali ini aku merasa takut pada seseorang.
Hutang keluargaku belum lunas, Ibu yang masih sakit, dan adik yang masih sekolah. Aku tidak boleh mati konyol hanya karena bertengkar dengan pria gila berotot yang sedang marah-marah tidak jelas ini. Rasanya aku belum satu jam di sini, tapi orang ini membuat masalah seolah-olah sudah lebih dari 10 tahun bertengkar denganku.
"Anda punya masalaha apa sih, Pak?" Kalimat itu hampir saja keluar dari mulutku. Sayang sekali, kedua bola mata yang merah itu membuat aku yang pecundang ini lemah.
"Kau punya masalah apa denganku, Bung?!" ujarnya.
Lah! Bukankah seharusnya aku yang bertanya demikian? Wah! Keterlaluan! Semua orang yang kutemui sejak beranjak dari kampung benar-benar keterlaluan!
"Maaf, Pak. Aku anak baru di sini. Aku tidak tahu kalau serang … maksudku Juliet-mu ada di kamar ini. Kamar ini terkunci saat aku kemari, dan aku bahkan belum satu jam membuka kamar ini. Aku sangat lelah dan hanya menyingkirkan sampah-sampah yang ada di atas meja."
Sabarlah Axton, sabarlah! Kau bahkan baru tiba, jangan cari masalah. Aduh! Mulutku bahkan tidak bisa diajak kerja sama. Nadaku menjawab dan napasku yang memacu benar-benar menunjukkan ketidaknyamanan.
"Hahahahahahaha!!!"
Apa lagi sekarang?! Setelah membuatku merasa sangat sulit, sekarang dia bersama dua orang pria kurus itu menertawakan aku atau … entahlah.
"Selamat datang, tikus kecilku!"
BUK!
Pria betubuh gagah itu memukul pundakku dengan ramah, tapi … ini cukup sakit untuk kuterima. "Kenapa kalian tertawa?" tanyaku bingung.
Prok
Prok
Prok
Suara tepukan tangan beramai-ramai datang mendekat dari ujung asrama. Kulihat ada banyak orang berjalan mendekati kamar kecil ini dengan membawa sebuah kue.
"Tu-tunggu!" Kudorong tubuh gagah pria yang mendekat kepadaku. "Apa maksudnya … astaga!" Saat kulihat keramaian, otakku tak dapat mencerna dengan baik. Mereka berjalan dengan senyuman yang sama. Sama seperti sebelumnya, aku masih dalam lamunan dan terdiam.
"Selamat datang anak baru!"
"Selamat datang!"
"Selamat datang tikus kecil!"
Suara itu bermuara di segala sisi kepalaku yang hampir saja pecah. Ini … sedikit norak. Mereka menyambut kedatangan seorang junior dengan tiup lilin? Rasanya cukup menggelikan, mengingat sudah berapa usiaku sekarang.
"Ah, hahahaha! Terima kasih, terima kasih. Tidak perlu repot-repot begini." Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi … sebisa mungkin aku berusaha tertawa agar tidak terlihat begitu kesal. Hanya saja,
"Cantik bukan kuenya?"
"Ha?" Mulutku sedikit ternganga melihat mereka tersenyum sama. Aku melirik pada kue yang mereka bawa dan, salivaku mengalir cukup sulit di tenggorokan. "I-ini … ini untukku?"
Kue itu tidak hanya jelek, tapi juga menjijikkan. Aku yakin ini bukan kue dari toko. Pasti mereka yang membuatkan kue menjijikkan ini. Bagaimana bisa mereka menggunakan lilin biasa di atas kue dan membiarkan cairan lilin itu menempel begitu banyak? Jika tetap memaksa, dari pada repot-repot membuatkan kue menjijikkan, kenapa tidak membelinya saja?"
"Good … go-od … good alive?" Aku tidak tahu mereka menulis apa di atasnya, tapi apa tulisannya memang itu?
"Selamat bergabung bersama kami. Di tempat ini kita bisa berbagi bersama …."
Aku tidak mengerti kenapa mereka berdiri sedekat ini padaku. Mata itu,
"Tidur bersama …."
Orang-orang ini kenapa begitu sok ramah.
"Makan bersama …."
Mereka bahkan memegang pundakku sekarang sambil tersenyum.
"Hidup bersama …."
Ocehan yang tidak ingin kudengar rasanya … membuatku hampir gila. Aneh, kenapa aku bisa pusing begini tiba-tiba?
"Dan mati sen--"
"Ah hahahaha. Terima kasih, terima kasih banyak atas kuenya. Aku rasa … aku sangat lelah dan butuh istrihat. Bagaimana kalau perayaannya besok saja … hm?" potongku cepat. Kutarik saja kue itu dan langsung membawanya ke dalam kamar. Kututup pintu bilikku dengan cekatan. Hufft! Tak peduli apa jadinya besok, yang jelas aku harus istirahat sekarang.
"Hei anak muda! Lain kali kau tidak boleh melewatkan perayaan!"
"Baik, Paman!"
Aneh. Hampir semua dari mereka berusia cukup, tapi kenapa masih melajang dan lebih memilih tinggal di sini dari pada membeli rumah? Bukankah upah perusahaan cukup besar? Kalau aku sudah punya cukup uang, aku bersumpah akan membeli rumah daripada harus bergabung dengan para pria. Gila saja! Bisa sia-sia masa mudaku.