Chereads / BEHIND ME / Chapter 4 - Aeternum Company

Chapter 4 - Aeternum Company

Aku kembali melangkahkan kaki menuju tempat tujuan. Hari sudah mulai sore, tapi aku masih tidak melihat siapa pun di jalanan ini. Saat aku menoleh ke belakang, Bibi pemilik toko itu sudah lepas dari pandangan. Jauh juga, kakiku sampai sakit karena sejak tadi terus saja berjalan.

Dan benar, aku menemukan gedung yang kucari saat melihat papan nama besar bertuliskan "Aeternum Company" yang terletak di tepi gang sempit. Gedung itu cukup besar dan terlihat megah. Rasanya juga tidak begitu buruk untuk dijadikan ladang mencari uang.

Tak jauh dari gadung itu, ada gedung lain yang tidak besar. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat beberapa orang berlalu lalang di gedung yang kupikir itu adalah asrama. Cukup lega, karena aku jadi tak perlu memikirkan ongkos untuk berangkat kerja. Dengan berjalan beberapa meter saja dari asrama, aku bisa tiba dengan cepat di kantor.

Tak!

"Apa lagi, sih?"

Gagang koper patah. Bisa-bisanya saat aku kelelahan, semua ini terjadi. Sangat kesal rasanya berkali-kali terganggu oleh hal-hal sepele seperti ini. Aku berangkat subuh hari, dan sampai di tempat ini saat hari sudah mulai menginjak malam. Rasanya ini jauh dari ekspektasi saat aku berpikir bahwa mungkin saja bisa menghabiskan siang di kantor baru. Sayang sekali.

Gerbang yang menutupi gedung perusahaan ternyata sangat tinggi. Meski letaknya tak berdekatan, gerbang itu menjulang hingga menutupi separuh gedung asrama. Kalau aku berdiri di jalan raya, asrama ini tidak kelihatan. Pantas saja tak ada yang tahu kalau perusahaan ini juga punya asrama.

Aku melangkah biasa saja menuju gedung, yang … aneh. Sebesar ini, tapi sangat sepi.

Hal yang pertama kali aku rasakan saat tiba di depan gerbang gedung itu adalah lelah dan … sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Namun, apa peduliku dengan rasa lelah dan tidak nyaman? Yang penting aku harus segera merebahkan otot-otot dan tulang-tulang yang hampir patah ini. Setelah itu aku juga akan istirahat, menyantap masakan Ibu, dan tidur dengan nyaman.

Tapi,

"Dari luar keren, tapi setelah masuk … kotor sekali." Aku tidak sadar sudah bergumam apa. Gedung ini sangat kotor, hingga aku berpikir apa mereka tidak mempekerjakan tukang bersih-bersih?

Kriiing! Kriiing!

"Ya, halo?"

"Ah, iya benar aku Axton."

"Iya, ini aku sudah sampai di depan asramanya. Yang gedung cat kuning tak jauh dari perusahaan, kan?"

"Baik, baik. Terima kasih banyak."

Panggilan masuk dari agen yang membantuku menyalurkan pekerjaan berhasil membuatku merasa lega. Ternyata aku tidak salah. Aku tidak tertipu. Ini bukan konten bocah-bocah penggila popularitas, syukurlah.

Drap!

Drap!

Drap!

Brakk!

Sial! Kenapa harus jatuh?!

Kuraih ponselku dan mencoba membersihkannya. Bisa-bisanya semua benda ini mengangguku saat aku terburu-buru. Rasanya ingin kubanting saja semua barang di tanganku ini.

Aku mencoba lebih santai lagi, sebentar lagi sampai kok.

Eh, tapi … apa-apaan orang-orang ini?

.

.

.

Gila! Semua orang yang ada di asrama itu memandangiku dengan tatapan yang membuatku bingung. Mereka semua berhenti di tempat mereka terakhir kali berdiri, hanya untuk memandangiku seperti itu? Ini benar-benar tidak lucu.

Tidak ada wajah-wajah ramah di sana. Semua mata itu menghujam jantungku hingga berdetak sangat kencang. Aku menoleh ke segala arah. Orang yang tadi sedang berjalan bahkan berhenti hanya untuk menatapku. Di lantai dua juga mereka yang berlalu lalang berhenti hanya untuk menatapku. Dari jendela asrama, beberapa orang juga mengintip ke arahku.

Aku memutar mata ke arah sudut lain, dan sama! Mereka yang berdiri di kejauhan juga ikut menatapku. Apa sih?!

Apa ada yang salah dengan penampilanku? Kuperhatikan penampilan sendiri. Rasanya .. tidak ada yang salah dan aneh. Haha! Mereka lucu sekali. Tidak ada seorang pun yang berpaling.

"Ha-hai," sapaku mencoba mencairkan suasana aneh ini. Jangankan sapaan, bahkan senyumku juga tak dibalas mereka. Luar biasa! Rasanya ingin kubanting-banting koper ini di hadapan wajah datar mereka.

Aku memeriksa pakaianku sekali lagi, barangkali masih ada sisa-sisa permen karet yang lengket. Namun, berapa kali pun aku berusaha … rasanya benar-benar tidak ada yang aneh. Aku sudah membersihkan pakaianku bahkan sebelum sampai di depan gedung perusahaan tadi.

"Hallo, semua … nya." Mulutku bungkam. Nadanya berubah turun setelah aku kembali menatap mereka.

Mereka semua … wajah-wajah datar itu … tersenyum padaku.

Bagaimana bisa, mereka tersenyum serentak seperti itu … dengan tatapan yang kosong?

DEG! DEG!

.

.

Apa-apaan orang-orang ini? Apa mereka memasang kamera untuk menjahili aku, lalu mereka akan mengunggah kebodohanku itu di media sosial? Atau … mereka hanya sedang menakut-nakuti aku sebagai junior di tempat ini seperti saat masa orientasi sekolah dulu? Atau jangan-jangan … mereka?

"Nak?"

"Oh, astaga!"

"Hahaha, kau lucu sekali sampai terkejut seperti itu." Kuperhatikan baik-baik Bibi itu. Dia berpakaian sangat rapi. Terlihat dari wajahnya, sepertinya dia seusia Ibu.

"Kau anak baru itu, ya?" Aku mengangguk ragu-ragu, karena masih sangat kesal mengingat tatapan orang-orang tadi. "Kau takut pada orang-orang itu?"

Cih, takut? Lelucon itu benar-benar tidak lucu.

Bibi itu menunjuk ke arah asrama. "Oi semua! Ini anak baru yang akan bergabung bersama kalian! Jangan dijahili lagi!" Bibi itu berteriak dari tempatku berdiri. Aku memberanikan diri untuk melihat asrama itu kembali.

"Hai!" Salah satu teriakan dari mereka berhasil membuatku sadar. Sepertinya aku terlalu menghayati isi novelku yang menggarap tema horror dan thriller. Ah, kadang aku merasa parno sendiri.

Orang-orang itu sudah tidak lagi menatapku dengan tatapan yang tadi. Mereka berubah hangat dalam hitungan detik. Yang benar saja, mereka benar-benar menjahili aku rupanya?

"Tidak usah khawatir." Bibi itu memukul punggungku cukup keras, ngeri juga rasanya kalau dipukul begini jika bertemu terus.

"Mereka itu memang suka menjahili anak baru. Kalau begitu mari aku antar ke asrama." Tanpa banyak bicara, kuikuti langkah Bibi itu dan langsung mengangkat koperku yang rusak. Hari sudah mulai malam, bekal dari Ibu bisa basi kalau tidak dimakan secepatnya.

"Maaf, apa Bibi pengurus asrama ini?" tanyaku penasaran melihat bagaimana dia bisa berteriak pada orang-orang itu tanpa rasa canggung.

"Betul. Bibi pengurus asrama ini sekitar ya … baru beberapa bulan." Aku terus saja mengikuti langkahnya menuju lantai dua. Dan saat itu, aku masih merasa sangat tidak nyaman. Aku merasa, tiap kali aku lewat … semua mata akan kembali tertuju padaku saat aku tidak melihatnya. Aku rasa aku benar-benar terbiasa membaca novel horror, sampai membuatku ingin tertawa sendiri karena terus saja berpikir buruk.

"Ada berapa orang penghuni asrama ini?" tanyaku. "Ada sekitar … 17 orang. Sepuluh orang lantai bawah, dan tujuh orang termasuk kau di lantai atas."

"Kamarmu nomor 113." Dia mengulurkan sebuah kunci berkarat dengan gantungan boneka rusak di ujungnya. "Kau sangat beruntung bisa bekerja di perusahaan besar itu. Mereka sangat pilih-pilih dalam menentukan karyawan. Kau juga bisa tinggal secara gratis di asrama ini. Ya … walaupun asrama ini cukup sempit dan tersudutkan, aku jamin kau akan betah di sini."

Sebenarnya, aku tidak terlalu fokus terhadap apa yang Bibi itu bicarakan. Aku hanya heran dengan kunci yang ada di tangannya. Bagaimana bisa mereka tidak mengganti kunci yang sudah tidak layak seperti itu? Dasar.

Karena aku tidak mengambil kunci itu, Bibi itu meraih tanganku dan langsung meletakkannya terburu-berburu.

"Sayang sekali asrama ini masih mengandalkan fasilitas umum. Kamar mandi dan dapur digunakan bersama. Kalau kau lapar, di dapur sudah tersedia bahan-bahan makanan. Orang-orang pemalas di sini tidak ada yang bisa masak, paling cuma makan mi instan saja. Kalau kau bisa masak, kau bisa pakai bahan-bahan yang tersedia di kulkas. Kalau ingin mencuci pakaian, juga sudah ada mesin cuci. Jemur pakaian bisa di atas, atau mau jemur di beranda kamar juga boleh."

Ha? Fasilitas umum katanya?

Bibi itu tiba-tiba saja tersenyum genit padaku, dia memperluas mulutnya itu hingga semua giginya terlihat. "Wah, kau tampan sekali. Sejak si gondrong itu pergi, kau adalah yang paling tampan yang pernah tinggal di asrama ini." Aku tidak mengerti mengapa orang tua ini bisa tersenyum genit pada pemuda seperti itu.

"Di seberang jalan sana, ada kos putri."

Lalu? Apa urusannya denganku?

Bibi itu mendekat padaku, sebelum melanjutkan perkataannya. "Kalau kau mau, kau bisa ke sana dan meminta satu, dua, tiga, atau lebih banyak lagi gadis-gadis di sana untuk menemanimu. Kalau di sini, kau tidak boleh membawa wanita masuk," bisiknya membuatku merinding.

"Ah, hahaha." Kupaksakan saja diriku tertawa, padahal aku sangat jijik mendengarnya. "Maaf, Bi. Aku sudah punya kekasih. Aku tidak memerlukan itu."

"Benarkah?" Jawabanku malah membuat Bibi itu tersenyum lebih menjijikkan lagi. Sebenarnya apa yang orang tua ini pikirkan?

"Kehidupan di kota itu keras, anak muda. Kalau bukan kau yang selingkuh, kekasihmu yang akan selingkuh. Suatu saat nanti, kau pasti membutuhkan wanita-wanita itu. Kau sangat tampan, mereka pasti rebutan dan mengincarmu." Entah apa yang merasuki pikiran Bibi mesum ini, yang jelas aku muak sekali mendengarnya.

"Aku rasa, aku harus merapikan barang-barangku dulu. Aku masuk dulu ya, Bi." Tak peduli bagaimana dia menanggapi, aku langsung saja masuk setelah membuka pintu kamar ini, meski kuncinya terus saja tersangkut tadi.

Menjijikkan. Bukan hanya perkataan Bibi tadi yang menjijikkan, bahkan kamar ini juga sangat menjijikkan. Kotor, dan penuh sampah. Apa mereka tidak pernah bersih-bersih di sini? Oh astaga! Kenapa semua hal yang kutemui hari ini benar-benar membuatku jengkel?!

Kamar ini bahkan lebih kecil dari kamarku saat di kampung. Hanya diisi oleh ranjang tunggal, dengan sebuah meja yang mirip meja belajar. Lantai yang tersisa hanya tepat di depan pintu. Membentang pakaian untuk diseterika saja rasanya tidak cukup.

Aku bahkan bingung mau meletakkan koperku yang besar itu di mana. Tidak ada jendela, tapi adanya balkon setidaknya membuatnya terlihat lebih baik.

Kreett! Kreett!

Bahkan deritan ranjang ini lebih besar dari ukurannya.

Uhuk! Uhuk!

Benar-benar luar biasa. Debunya terlalu tebal dan menyesakkan. Aku bisa mati pelan-pelan jika begini. Lebih baik kucuci dulu seprei dan sarung bantalnya.

Asrama ini benar-benar pelit fasilitas. Selain kamar mandi dan dapur bersama, tidak adanya selimut juga membuatku semakin sangat kesal. Apa boleh buat? Ini efek sesuatu yang gratisan. Oh Tuhan, mengapa hari ini begitu sangat melelahkan?

TOK! TOK!

"Woi kau anak baru! Keluar kau bajingan!"

Apa katanya barusan?