Chereads / BEHIND ME / Chapter 3 - Pesan yang Sama

Chapter 3 - Pesan yang Sama

Tak jauh dari tempatku berdiri, di perempatan jalan kulihat seorang wanita paruh baya sedang duduk sendirian.

"Permisi." Aku coba bertanya dengan pemilik toko kecil tak jauh dari alamat yang kutuju itu.

"Ya?"

"Maaf, Bi. Aku mencari alamat ini. Aku sudah minta diantar taksi, tapi beliau bilang tidak tahu alamat ini."

Sebenarnya aku agak curiga dengan gerak-gerik supir taksi yang tadi mengantarku. Bapak itu tidak ramah sama sekali, bahkan caranya mengendarai mobil juga ugal-ugalan. Rasanya juga kesal melihat sikapnya yang terkesan pemalas. Aku sampai tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang menyia-nyiakan pekerjaan sedangkan pekerjaan sangat sulit didapatkan? Semoga saja supir taksi itu berubah.

"Oh ini." Setelah meraih kertas yang kusodorkan, Bibi pemilik toko itu mengajakku keluar dari toko. Dia berdiri di pinggir tokonya, sembari menunjuk jalanan lurus di sebelah kanan. "Kau tinggal lurus saja dari sana. Setelah sampai di sana, akan ada jalan mengarah ke sebuah gedung. Di sana … eh tunggu."

Bibi pemilik toko itu menoleh padaku. "Kau ini sangat rapi dan tampan. Tapi sepertinya kau bukan orang sini. Ada perlu apa mencari alamat ini?"

"Aku baru saja datang dari daerah, Bi." Aku menarik sebuah kursi yang ada di depan toko. Mencoba beristirahat dan menyeka keringatku yang sudah berlimpah. "Aku mendapat panggilan kerja dari perusahaan itu." Aku menoleh sedikit ke arah jalanan yang sepi. Apa betul ada perusahaan di tempat sepi itu? Wah, jangan-jangan aku hanya ditipu oleh kelompok orang yang membuat konten.

"Apa benar di sana ada perusahaan, Bi?" tanyaku panik.

Bibi itu menarik kursi yang ada di sebelahku dan ikut duduk bersama. "Ya, seperti kataku sebelumnya. Di sana ada gedung yang cukup besar. Tapi aku tidak pernah tahu itu gedung perusahaan atau apa, tapi memang aku melihat beberapa orang sering bolak-balik dari sana berpakaian rapi. Sama sepertimu, mereka pernah bertanya hal yang sama padaku. Tapi sejak hari itu, aku bahkan jarang melihat mereka keluar."

"Ah mungkin karena di sana ada asrama," jawabku.

"Ha? Perusahaan itu menyediakan asrama untuk karyawannya?" tanya pemilik toko sedikit terkejut. Aku hanya mengangguk kecil karena masih belum paham mengapa dia sangat terkejut seperti itu.

"Wah ini keterlaluan. Toko ini sudah lama buka padahal. Sayang sekali mereka jarang sekali datang ke toko ini." Bibi pemilik toko itu seperti kurang nyaman. Dia terus mengernyitkan dahi, tampak ingin berbicara lebih. Aku yang merasa mulai santai, berniat ingin memakan bekal yang ibuku bawakan sebelum basi.

"Hai Nak," panggilnya tiba-tiba setelah hening cukup lama. Raut wajahnya bahkan membuatku mengurungkan niat.

"Aku tidak tahu, mungkin saja kau benar-benar sedang butuh pekerjaan. Tapi kau punya wajah tampan yang bisa kau andalkan untuk mencari pekerjaan di tempat lain." Dia menggaruk kepalanya sendiri, mendekatkan tubuhnya. "Aku tidak tahu ini perasaanku saja atau bagaimana, tapi aku melihat sepertinya kau anak yang baik dan tidak cocok di tempat itu."

Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang Bibi itu bicarakan. Hanya saja, dia tampak sangat serius dengan memelankan suaranya seperti itu. Untuk sementara, aku hanya bisa membulatkan pupil selagi mencerna maksud perkataannya.

"Aku juga baru pindah ke toko ini. Pemilik sebelumnya menjual toko ini sangat murah. Aneh sih, tapi ya … itu menguntungkan buatku karena kedai kecil ini ada di perempatan jalan, pikirku akan ramai pelanggan. Awalnya aku merasa tidak ada yang aneh, hanya saja dia selalu memintaku untuk menutup toko ini sebelum jam tujuh malam. Ya, mungkin karena kawasan ini sepi dan pernah terjadi perampokan kali, ya?"

Bibi itu menoleh ke jalanan yang akan kutuju. "Sebenarnya aku merasa kesal dengan orang-orang yang tinggal di gedung itu. Mereka jarang sekali berbelanja, dan tidak ramah sama sekali. Mau menunggu orang lewat, tapi jarang sekali ada yang lewat di sini. Paling ya … beberapa orang anak kos di sebelah sana."

Sebenarnya, sebelum Bibi itu berkata demikian … aku juga merasa sedikit heran. Perusahaan itu menawarkan upah yang mahal untuk pekerjaan sederhana. Aku hanya diminta untuk membuatkan cover novel dengan keahlian kecil yang kumiliki dan menjanjikan upah yang besar, gratis tempat tinggal lagi.

Tapi setelah kupikir-pikir … perusahaan itu memang sangat besar. Anehnya, aku tidak melihat keramaian dan bisa dibilang cukup sepi untuk sebuah perusahaan di pusat kota. Mungkin, karena gedung ini berdiri di sudut jalan yang belum ramai ditempati? Atau mungkin karena ini kawasan baru? Ah rasanya agak berlebihan kalau dikatakan baru. Yang pasti dilihat dari struktur jalanannya, aku rasa karena kawasan ini masih dalam pembangunan.

"Oh, kalau begitu aku akan mengajak mereka untuk sering-sering berbelanja di sini nanti."

Bibi pemilik toko itu akhirnya tersenyum setelah aku menawarkan jasa sederhana. Sepertinya, itu tadi memang teknik marketing baginya agar aku menaruh simpati. Ternyata, orang-orang kota sangat kreatif, ya.

"Kalau begitu, aku pamit dulu." Kutarik koperku yang berat menuju sisi lain jalanan. Tapi,

"Apa itu?" Bibi itu kembali memanggilku dengan pertanyaan yang membuatku terkejut. Aku membalikkan badan. "Ya?"

"Di kopermu … sepertinya kau melewati tumpukan permen karet bekas yang masih basah." Aku menoleh pada koperku setelah Bibi bersuara. Sial, apa lagi ini?

Aku tidak bisa bilang ini sederhana. Permen karet ini cukup banyak. Pantas saja, koperku terasa berat dan selalu tersangkut sejak sampai di jalan ini. "Terima kasih sudah mengingatkan." Aku mencoba melirik tapak sepatuku yang lengket. Jangankan sepatu, bahkan celana yang sedang kukenakan juga ada permen karetnya. Aneh, kapan aku terkena permen karet begini, ya? Rasanya tadi baik-baik saja. Apa mungkin … apa Bibi itu yang sudah menjebakku?

Ah tidak mungkin. Aku tak bisa membuat praduga, yang jelas wajah Bibi itu terkesan serius dan tidak bertanggung jawab soal ini.

"Hidup di kota itu tidak sebaik yang kau pikirkan, Nak. Ada lebih banyak beban dan penderitaan di sini. Bahkan teman saja bisa menjadi musuh, tidak seperti di kampung. Di kampung kau mungkin saja bisa bebas tertawa dan berteman dengan tulus." Perkataan Bibi memang ada benarnya. Sayang sekali, dia tidak tahu bagaimana aku sangat menderita di kampung.

"Jagalah dirimu baik-baik. Berhati-hatilah dengan orang asing, karena yang terlihat baik kadang bisa saja berbuat jahat," sambungnya.

Aku tidak mengerti apa yang Bibi itu pikirkan, tapi … apa yang dia bilang sama persis seperti ucapan ibuku saat itu. Aduh, aku baru saja sampai sudah rindu Ibu saja.

"Terima kasih, terima kasih atas nasihatnya. Terima kasih banyak." Rasanya tidak nyaman juga mendengar kata-kata seperti itu saat baru saja ingin memulai lembaran baru. Akan tetapi, itu semua memang benar. Di mana pun, berhati-hati adalah sebuah keharusan.