Jun menghela napasnya dan berdiri untuk mencari keberadaan Syifa. Karena ia khawatir pada istrinya yang tidak ada di apartemen, pada jam 03:00 WIB. Jun keluar dari apartemen dan mencari ke basement, namun tidak ada keberadaan Syifa.
"Syifa, kamu dimana?" ucap Jun mencari istrinya keliling apartemen.
Jun masuk kembali dan menaiki lift, untuk mencoba mencari istrinya di balkon. Saat tiba di lantai paling atas, Jun melihat Syifa tengah duduk di atas tembok balkon sambil menatap ke atas langit.
"Syifa," teriak Jun menahan air matanya.
Wanita itu hanya diam dan masih tetap menatap ke arah langit. Jun berlari menghampiri istrinya dan menggenggam tangan Syifa. Respon istrinya masih sama, tetap diam dan menatap ke arah langit. Jun memegang pinggang Syifa dan menurunkannya dari tembok balkon.
"Lepas!" bentak Syifa.
"Jangan sentuh aku! Aku benci padamu!" teriak Syifa yang menangis tanpa henti. Kedua matanya sudah sembab, dan wajahnya pun sudah sangat pucat.
Jun memeluk istrinya, namun Syifa terus saja memberontak. "Lepas!" ucap Syifa yang memukul dada suaminya.
"Apa kurangnya aku? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku Jun? Apa salahku padamu?" tanya Syifa yang masih menangis dan memukul dada suaminya.
Jun hanya diam dan mengeratkan pelukkannya. Syifa terus saja memukul tubuh suaminya dan akhirnya ia pun menyerah. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Jun dan meremas baju suaminya.
"Kenapa kamu jahat padaku Jun? Apa aku tidak ada artinya untukmu?" sambung Syifa.
"Tenanglah," jawab Jun mencoba menenangkan istrinya.
"Akh!" rintih Syifa sambil memegang perutnya yang tiba-tiba kram. Jun terkejut dan menekan sedikit perut istrinya.
"Sakit," ucap Syifa mencengkeram lengan Jun.
Jun langsung menggendong Syifa masuk ke dalam apartemen, dan menidurkan nya di atas tempat tidur. Syifa terus merintih kesakitan di bagian perutnya, Jun berlari keluar kamar mengambil air hangat untuk mengompres perut Syifa. Setelah itu ia masuk kembali ke dalam kamar dan membuka baju yang dikenakan istrinya.
"Sayang, tenangkan dirimu demi anak kita," ucap Jun yang meneteskan air matanya dan mengompres perut Syifa.
"Sakit," rintih Syifa semakin menjadi-jadi.
Jun mengusap rambut istrinya dan menggenggam tangan Syifa. Ia mencoba menengangkan istrinya yang tengah kesakitan di bagian perutnya.
"Sayang tenanglah, aku tidak ingin kamu dan calon anak kita kenapa-napa," permohonan Jun yang tak kuasa menahan tangisannya.
Syifa mencoba untuk tenang dan menahan sakit, saat melihat Jun menangis sambil memeluknya. Wanita itu menatap suaminya dan membalas pelukkan Jun.
"Mas," ucap Syifa yang sangat lemas.
"Tenang ya, kamu harus rileks. Ayo duduk, agar kram-nya hilang," jawab Jun.
Syifa mengangguk dan ia pun membantu istrinya untuk duduk. Jun sekarang duduk di belakang istrinya, sehingga Syifa bersandar di dada bidang milik suaminya. Syifa menggenggam tangan Jun dan merasakan sakit di bagian perutnya. Jun dengan telaten merawat sang Istri dan selalu mengompres perut Syifa.
Lima belas menit berlalu, akhirnya kram di perut Syifa hilang. Wanita itu pun tertidur dengan posisi tubuh bersandar di dada suaminya. Jun mengusap perut Syifa dengan lembut, dan mencium punggung tangan istrinya.
"Untung kamu baik-baik saja sayang," ucap Jun meneteskan air matanya. Ia mengusap wajah istrinya yang tengah tertidur pulas dan memperbaiki posisi tidur Syifa.
Jun menyelimuti Syifa dan membawa ember yang berisi air hangat tadi ke dapur. Ia terduduk di lantai dapur, karena tiba-tiba kakinya terasa lemas.
"Kenapa begitu banyak masalah yang harus menimpa kami Tuhan? Aku tidak ingin kehilangan Istri dan anakku. Beri kami kebahagian dan jauhkan rumah tangga kami dari segala masalah," ucap Jun yang tengah menangis.
Ia menghapus air matanya dan masuk ke dalam kamar, karena takut Syifa mengalami kram lagi. Jun duduk di samping Syifa dan memilih untuk tidak tidur, karena harus menjaga istrinya. Syifa meraba-raba bantal yang ada di sebelah, dan langsung terbangun saat tidak ada merasakan tubuh suaminya.
"Mas, kamu dimana?" ucap Syifa yang takut.
"Mas disini," jawab Jun yang duduk sambil menatap istrinya.
Syifa merasa lega dan menatap datar Jun. Ia kembali berbaring dan membelakangi suaminya. Pria itu memeluk tubuh Syifa dan meletakkan dagu-nya ke arah lengan istrinya.
"Kamu masih marah pada Mas?" tanya Jun yang berusaha untuk tenang.
Wanita itu hanya diam dan memejamkan matanya. Jun mengusap perut istrinya dan membenarkan selimut, agar bisa menutupi tubuh Syifa.
"Tidurlah, Mas akan menjagamu..." sambung Jun.
Syifa hanya diam dan langsung menatap Jun. "Tidurlah, kamu juga butuh istirahat.." jawab Syifa.
Jun hanya menggeleng dan mengecup kening istrinya. "Mas, tidak butuh istirahat. Mas, hanya ingin menjagamu dan calon anak kita," sambung Jun.
Wanita cantik itu menarik tangan suaminya agar tidur di sampingnya. Jun hanya pasrah dan berbaring di samping istrinya. Syifa kembali membelakangi Jun dan pria itu kembali duduk.
"Kamu saja yang tidur sayang. Mas, gak bisa tidur kalau kamu membelakangi Mas terus," ungkap Jun lagi.
Syifa membalikkan tubuhnya ke hadapan suaminya dan menarik tangan Jun agar berbaring. "Tidurlah, besok kamu harus bekerja," jawab Syifa sambil memejamkan matanya.
"Peluk Mas dong," ucap Jun sambil merentangkan tangannya. Syifa hanya diam dan memilih tetap memejamkan matanya. "Tubuhku lemas, susah untuk bergerak..." jawab Syifa.
Jun tersenyum kecil dan memeluk sang Istri agar berada di pelukkannya. Syifa hanya diam dan tidak membalas pelukkan suaminya. Jun mengecup singkat bibir Syifa, membuat wanitaku itu terbangun dan menatap suaminya.
"Tidurlah," ucap Syifa sekali lagi.
"Mas, tidak bisa tidur. Sayang maafkan Mas kalau membuat kesalahan padamu, tapi jujur Mas tidak pernah menyentuh Sarah sama sekali. Dia menjebak Mas," jelas Jun.
"Buktikan kalau kamu tidak salah, aku beri waktu sampai besok malam. Karena siapa tau kau dalam keadaan mabuk tak sadarkan diri, dan melakukan hubungan itu dengan Sarah. Jika benar kamu tidak salah, aku akan memaafkan mu," jawab Syifa.
"Mas akan buktikan padamu, bahwa ini hanya jebakan," sambung Jun.
Syifa hanya diam dan memejamkan matanya. Entah kenapa ia tiba-tiba memeluk Jun, karena bawaan bayi yang ia kandung.
'Astaga sayang, Mama lagi marah dengan papamu. Tapi kau ingin sekali dekat dengannya,-' batin Syifa.
Jun membalas pelukkan Syifa dan mengecup pucuk kepala istrinya, tak lupa ia mengelus perut Syifa. "Selamat malam anak, Papa." ucap Jun.
Mereka pun terlelap, dan Syifa sangat lengket dengan suaminya. Jika berjauhan sedikit saja, dia akan merasakan pusing karena bawaan bayinya yang selalu ingin di dekat ayahnya. Syifa hanya pasrah dan tetap diam jika di dekat suaminya. Jujur dia masih sakit hati melihat foto yang dikirim oleh Sarah. Ia akan mendiami suaminya sampai Jun mendapatkan bukti bahwa itu hanya jebakan. [.]