Zeker University - Amsterdam, pusat ibukota Belanda.
Ruang bimbingan psikologi mahasiswa pra-magang
Mrs. Amber Loo
"Luna Theresia Skye." Ejaan tegas menyebut nama gadis yang baru saja meletakkan tubuhnya di atas sofa kecil tengah ruangan. Menghadap sisi depan sebuah papan tulis dengan satu titik hitam di tengahnya.
Wanita berjas putih yang kini berjalan dan duduk di atas kursi kayu dekat meja sudut ruangan kembali membuka suaranya kala hening sejenak melintang sebab gadis muda di sisinya itu hanya diam sembari terus menatap papan tulis di depannya.
"Nona Skye?" panggilnya lagi. Mengetuk sisi meja untuk mencuri perhatian gadis berambut pendek yang dibiarkan tergerai menutupi telinganya yang sedikit cuping.
"Apa yang kau perhatikan di sana? Titik hitam atau—"
"Papan tulisnya," sahut sang gadis akhirnya mau membuka suaranya. Sejenak menoleh kemudian menatap si dokter muda yang sengaja di 'sewa' oleh pihak kampusnya untuk memberi bimbingan psikologi sebelum magang, lulus, dan apapun yang berhubungan dengan kenaikan tingkat para mahasiswa juga mahasiswi di sana. Sedikit aneh memang, toh juga bimbingan seberapa banyaknya tak akan pernah mengubah takdir seseorang bukan?
"Apa yang kau lihat? Bagian hitam atau bagian putihnya?"
"Dua-duanya." Gadis itu tersenyum ringan.
"Mana yang lebih mendominasi menarik perhatianmu?"
"Dua-duanya." Lagi-lagi ia mengakhiri kalimatnya dengan senyum ringan. Membuat wanita yang tadinya duduk rapi di sudut ruangan kini mulai bangkit dan berjalan mengarah padanya. Berdiri di depan sang gadis kemudian menarik kursi kecil dan duduk di atasnya.
"Luna Theresia Skye. Mahasiswa pandai yang memilih jurusan sastra. Minatmu cukup besar. Kau ingin bekerja di perusahaan seperti apa?" tukas sang dokter langsung pergi pada point-nya. Tak ingin banyak berbasa-basi lagi sebab gadis yang sedang dihadapinya itu terlihat tak begitu suka dengan apa itu 'basa-basi'.
Luna --gadis yang baru saja disebutkan namanya untuk kesekian kalinya-- menunduk sejenak. Menatap ujung jari jemari runcing miliknya kemudian menghela napasnya ringan.
"Jujur saja. Berbohong tak akan banyak membantumu," sahut sang wanita tersenyum ringan.
"Mungkin ini sedikit serakah," tuturnya sejenak menghentikan kalimatnya. Mencoba menyusun kata-kata yang pantas untuk menjelaskan maksud dan tujuannya saat ini.
"Perusahaan yang sempurna. Terlihat mewah dengan gedung tinggi menyaingi gedung pencakar langit. Karyawan yang kompeten dan profesional dibidangnya. Perusahaan yang terkenal dengan pemberian gaji yang besar, namun perkerjaan yang mewah dan layak. Tak perlu memakai baju seragam untuk datang ke sana. Kau tahu 'kan? Banyak kantor di Amsterdam yang menerapkan hal formal seperti itu? Aku membencinya," terang gadis itu menjelaskan.
"Juga ... aku ingin bos yang sempurna. Tampan secara fisik, mapan secara harta dan materi, profesional secara pekerjaan, dan seksi pola pikirnya. Itu akan memberikan penyemangat untuk pegawai magang amatiran sepertiku," sambungnya menutup kalimatnya dengan senyum manis nan singkat.
Wanita dewasa dengan rambut panjang yang diikat separuhnya itu kini tertawa ringan. Menatap sejenak gadis muda yang baginya ... terlalu ceroboh dalam membuat sebuah harapan.
"Bukan itu yang ingin kutanyakan, Nona Skye."
Gadis di sisinya diam.
"Perusahaan seperti apa dan posisi seperti apa yang kau inginkan? Perusahan industri? Perusahaan sastra sesuai jurusanmu? Atau—"
"Aku tak ingin bekerja dimana pun sekarang." Luna menyahut. Menyela kalimat yang baru saja ingin diteruskan oleh wanita berjas putih di depannya itu.
"Aku ingin merintis perusahaanku sendiri," tukasnya dengan tegas.
"Boleh aku beri saran padamu, Nona Skye?"
Luna menganggukkan kepalanya.
"Jangan terlalu ceroboh dalam membuat harapan dan keputusan. Itu terlalu berbahaya untukmu."
•••Imperfect CEO•••
Taman dengan jajaran kursi panjang yang berpayung sebuah pohon besar dengan alas rerumputan hijau nan segar adalah tempat yang dipilih Luna untuk menghabiskan waktu jeda kampus sebelum akhirnya kembali berduka sebab rentetan kalimat berteori yang dipaksa masuk ke dalam otaknya. Menatap apa-apa saja yang berlalu lalang di depannya sembari sesekali menghela napasnya kasar. Mencoba melepas beban berat yang kini dipikulnya sebab masa magang untuk mahasiswa semester tua sudah hampir dihadapinya. Kiranya besok pagi ia akan menerima hasil di tempat seperti apa dirinya akan dijadikan sebagai seorang babu muda oleh senior-seniornya nanti. Perusahaan besar seperti dalam bayangannya 'kah? Atau sebuah kantor rintisan yang baru membuka gerbang perusahaannya untuk mulai mengembangkan sayap dan terbang tinggi mengudara dengan bos tua berbadan gempal yang aneh dan menyebalkan?
Ah, sial betul memang dirinya.
Untuk Luna, seorang gadis cantik bertubuh tinggi nan kurus yang tak ada menarik-menariknya jikalau dilihat dari bentuk fisik. Lekukan tubuh yang membentuk pinggang dan pinggulnya pun tak seindah model-model seksi yang menjadi cover majalah dewasa langanan para teman-teman laki-lakinya. Hanya saja, Luna itu sangat cantik!
Pemilik nama lengkap Luna Theresia Skye itu adalah gadis muda pandai bersyair dan bersajak yang terjun dalam dunia sastra. Mengeluti bidang yang disukainya dengan sepenuh hati, namun kalau sudah disuruh melakukan riset dan kerja magang begini, Luna adalah tipe pemalas yang tak akan pernah mau melakukannya.
Paras Luna? Sekali lagi ditegaskan bahwa ia sangat cantik! Matanya tajam naik dengan tatapan tegas nan menggoda. Alisnya indah tipis melengkung bak bulan sabit yang datang kala malam menyapa bersama gelapnya langit bertabur bintang. Bibir merah merona dengan lengkungan atas sedikit bulat menghias di atas paras jelitanya. Hidung lancip serta kulit putih bersih seakan menyempurnakan cipta karya Tuhan yang dituangkan teruntuk gadis yang kerap disapa dengan sebutan Luna Skye itu.
Kekasih? Tentunya gadis berambut pendek dengan ujung sedikit ikal itu mempunyainya. Mengingat Luna itu adalah idola-nya kampus.
Bukan si brengsek Tuan Jeff yang jelas. Sebab dalam tebakan Luna, pastilah pria itu sudah menikah meningat usianya yang tak lagi bisa dikatakan muda. Entah bagaimana kehidupan Tuan Jeff sekarang, mungkinkah ia mampu merintis kembali karirnya setelah Luna pergi meninggalkannya? Ataukah ia semakin bodoh dengan meniduri banyak gadis dan para wanita malam? Entahlah. Sekali lagi, Luna tak peduli.
Kekasih gadis itu adalah William Brandy atau orang biasanya memanggil remaja dua tahun di atas Luna itu dengan sebutan Willi. Mahasiswa semester akhir yang sedang dilanda kegelisahan sebab masa wisuda sudah datang menghampirinya. Bukan pasal bagaimana pesta perayaan akan dirayakan, namun pasal bagaimana jikalau ia dan Luna berpisah selepas seremoni sakral itu dilaksanakan nantinya?
Bagi Luna, perpisahan adalah sebuah hal yang wajar. Setiap orang bertemu, sesegera mungkin mereka akan berpisah. Bukan pasal masa kelamnya bersama Tuan Jeff tiga tahun lalu, namun pasal bagaimana menyikapi dunia yang semakin keras saja padamu.
Bagi Luna juga, laki-laki hanyalah manusia bodoh yang menyembunyikan kemunafikan mereka hanya sebab janji manis yang diucapkan kala cincin melingkar di jari manis dan kala buku kecil sudah tertanda sebuah coretan tangan resmi yang diakui bangsa dan negara, pernikahan.
... To be Continued ...