Sampai di kamar, Ariela tak lekas merebahkan diri di atas tempat tidur. Matanya memang lelah, tapi bukan karena kantuk melainkan lelah menangis. Langkahnya gontai menuju meja rias, kalimat Riujin masih terngiang jelas di pikirannya. Kenapa pria itu bisa berpikiran picik sperti tadi.
Dia diam duduk di meja rias, menatap dirinya di pantulan cermin. Sisa air mata yang di milikinya masih mengalir deras di pipinya. Tak ada Isak tangis, Ariela hanya diam tanpa ekspresi.
Tok... Tok... tok...
"Kak Ariela...."
Suara Amera dari balik pintu membuat Ariela menghapus air matanya, dan segera berlari kecil untuk membukakan pintu.
"Ya...." Ariela berusaha menerbitkan senyumnya.
"Ada yang ingin aku bicarakan," pinta Amera.
Ariela seolah sudah bisa menebak apa permintaan adiknya itu. "Masuk, Amera."
Amera masuk ke kamar Ariela dan duduk di tepi tempat tidur. Ariela turut duduk di samping Amera.
"Kak...." Amera menghadap Ariela, dia meraih kedua tangan kakaknya dan menggenggamnya erat.