"Hei, jangan bengong," kata Mira. Yang tiba-tiba datang dengan dua mangkuk mi ayam. Di belakangnya seorang pelayan kantin membawakan dua gelas es kopi.
Rara menegakkan duduk. "Mira, aku ini kenapa..." katanya melas. "Bisa jelasin nggak aku kenapa...?"
"Kamu ini lagi ngomongin apa, sih?" tanya Mira bingung. Dia duduk di hadapan Rara setelah berterima kasih dengan si pelayan kantin.
"Arial pasti lagi ngerjain aku."
"Ngerjain gimana maksud kamu?"
"Dia bilang hal aneh-aneh hari ini. Padahal biasanya nggak gitu."
"Aneh-aneh?"
Kening Mira mengernyit, Rara lagi-lagi membenturkan keningnya di meja. Tepat di depan mangkuk mi ayamnya yang masih mengepulkan uap panas.
"Ugh... pokoknya gitu."
"Hah?"
"Ya, pokoknya gitu..."
"Ck. Curhat kok nggak tuntas sih?" bingung Mira gemas. Sampai-sampai dia mengaduk mi dengan tenaga putaran yang agak emosi. "Bilang yang jelas dong. Anehnya tuh gimana, hm?"
"Dia bilang udah lama suka sama aku..."
"Oh..."
"Dan katanya cuma aku aja yang nggak peka..."
"Terus..."
"Ya, intinya aku jelas mikir itu aneh lah. Masak dia sama aku..."
"Wait—what?!"
Refleks, Mira berhenti mengaduk karena sangking kagetnya. Matanya sampai melotot karena baru sadar sepenuhnya.
Rara menegakkan duduk sekali lagi. "Tuh, kan... kamu aja kaget apalagi aku..."
Mira diam. Dan mereka saling pandang.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Rara mengalihkan mata pertama kali. "Ah, udahlah... dia pasti bercanda beneran," katanya. Mencoba tak peduli. Tapi Mira justru yang heboh.
"YA AMPUN! RARA! INI SIH BERITA BESAR!"
BRAKH!
Mira berdiri dan menggebrak meja. Seperti sedang protes. Sampai-sampai hampir seluruh isi kantin menjadikannya pusat perhatian.
Rara pun menarik seragam Mira agar duduk kembali.
"Sssttt... nggak perlu segitunya kali, Mir!" kata Rara panik.
"Emang berita besarnya apa, sih?" tanya Arial yang mendadak duduk di sebelah Rara. Sambil membawa semangkuk bakso.
DEG
"Arial?!" kaget Rara dan Mira bersamaan.
Arial senyum. "Hai.."
Wajah watados.
Polos.
Atau justru pura-pura polos.
Tak ada yang bisa membedakan.
Lagipula, sejak kapan sih... manusia ini ada di kantin?
Rara pun segera memperbaiki duduk. Ikut pura-pura dan segera mengaduk minya.
Mira tersenyum simpul. Mengikuti arus saja. "Tumben nge-bakso, Ar..."
"Lagi pengen aja..." kata Arial. Seolah-olah tak penasaran samasekali soal pembicaraan tadi. "Oh, ya... PR Bahasa Inggris kalian udah jadi belom? Tumben nggak nanya-nanya lagi ke aku..."
"Kali ini nggak susah kok," kata Mira.
"Beneran?" tanya Arial.
"Bener kok, Ar. Kita udah bisa bikin sendiri." tukas Rara.
"Oh, ya udah..."
Dan situasi saat itu pun berlanjut dengan penuh sandiwara.
.
.
.
Berikutnya, jam pelajaran Mr. Aza pun dimulai. Tapi Rara malah gagal fokus. Materi 'As If' yang dijelaskan panjang lebar oleh beliau hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Jujur, Rara penasaran. Dia ingin memastikan bahwa apapun yang dikatakan Arial tadi itu bukan hal serius. Namun, saat ia memperhatikan punggung Arial dari belakang, sahabatnya itu justru sedang tersenyum memesona sambil mengangkat tangan.
"Saya, Mister!" seru Arial.
"Yes, Arial?" tanya Mr. Aza. "Apa kamu tahu perbedaan 'If' dan 'As If' dari penjelasan saya tadi?"
Arial pun berdiri dan menjawab pertanyaan itu dengan sempurna. Kemudian duduk lagi setelah Mr. Aza berkata. "Exellent! Bagus sekali! Nilai A+ buat kamu, Arial."
Arial pun duduk lagi. Dan entah kenapa, saat itu tiba-tiba Rara bergumam tanpa sadar. "Ternyata Arial itu keren, ya..." lalu kepalanya ambruk begitu saja ke meja.
Tepat setelah kotak pensil yang menyangga dagunya oleng.
JDUGH!
"Aduh!"
Seketika satu kelas pun menoleh ke bangku Rara. Dan ketika mereka melihat Rara sedang mengelus jidat, tawa berjamaah pun pecah tak terkendali.
"Rara... Rara..." kata Mr. Aza sambil geleng-geleng kepala.
Rara hanya meringis-ringis. Tak peduli Arial yang bahkan ikut tersenyum geli melihat tingkah anehnya.
"Ahaha... maaf, Mister. Maaf saya baru mengganggu penjelasan Anda barusan..." kata Rara sambil berusaha merapikan rambut.
Mr. Aza pun tersenyum simpul. "It's okay. Yang penting sekrang kita kembali lagi ke pelajaran."
.
.
.
Jam istirahat kedua, lagi-lagi Arial mendadak muncul begitu saja di samping Rara. "Kamu tadi lucu sekali," katanya. Sambil mengulurkan sekaleng softdrink. "Kok bisa kejedug gitu, sih? Ngantuk ya?"
Rara pun menggeser tempat. Membiarkan Arial duduk di sebelahnya setelah menerima minuman itu. "Makasih," katanya. "Tapi aku nggak ngantuk kok."
"Hm? Serius?" tanya Arial. Malah fokus kepo daripada ke pertunjukan anak-anak basket latihan di depan sana. "Terus kenapa dong?"
Rara memalingkan muka. Ia pura-pura tak mendengar dan fokus ke depan. "I-Itu karena aku mikirin kamu, tahu." Batinnya. Lalu minum beberapa teguk sekaligus. Gugup tiba-tiba. "Nggak tahu. Iya kali mungkin aku lagi ngantuk. Ugh..."
Arial tersenyum tipis. "Tumben banget. Bukannya Bahasa Inggris itu materi favorit kamu?"
"Eh?"
"Masak udah lupa sih?"
Rara menoleh dan menatap Arial.
Arial pun menoleh dan menatap Rara.
Dan terus begitu selama hampir sepuluh detik.
"Kamu itu..."
"Hm?"
"Nggak kok," kata Rara. Lalu berpaling ke depan lagi. "Nggak jadi."
"Loh kok?" tanya Arial bingung.
"Memangnya nggak boleh, ya... ngantuk di pelajaran yang kusukai?" kata Rara dengan nada sebal. "Kamu itu tahu tentang aku udah sejauh apa, sih... Arial?" batinnya. "Sebenarnya itu yang mau aku bilang..."
"Ya boleh-boleh aja sih..." kata Arial. "Tapi kan sayang aja..." lalu menatap wajah Rara lekat-lekat. Sampai Rara merasa tidak nyaman karena diperhatikan sejeli itu.
"Hm... minumannya enak juga ya? Hahaha!" tawa Rara salah tingkah. Dia pun mengankat kaleng softdrink dan sok-sok bersandiwara. "Dan lihat ini... ada gambar sapi di situ. Padahal kan isinya rasa jeruk. Haha... gimana sih?"
"Rara," panggil Arial. Serius. "Soal tadi pagi aku nggak bohong..."
DEG
Tawa Rara pun berhenti. "Apa?" tanyanya. "Minuman ini rasa Anggur?" Blank. Total. Dan sulit ditolong. "Nggak, Arial. Aku kan udah bilang ini rasa Jeruk..."
"Rara..."
Mereka pun kembali saling menatap. Tapi kali ini, Arial juga meletakkan kedua tangannya di bahu Rara. Lalu menghadapkan gadis itu ke arahnya.
"Lihat aku sebentar." kata Arial.
Tapi Rara justru melihat ke bawah.
Rasanya aneh sekali sejak Arial mengaku suka padanya. Tapi kan... bukannya selama ini mereka berdua Cuma sahabat? Dan sekarang... rasanya hal sederhana itu jadi sulit sekali. Sebab jika terpaksa menatap mata biru itu, Arial justru terlihat seperti seorang... ya, cowok. Bukan lagi teman atau sekedar sahabat.
"Fine, kamu nggak mau liat aku it's okay. Tapi denger..." kata Arial pada akhirnya. "Aku tahu kok... ini pasti mendadak banget buat kamu. But, in fact... aku itu udah suka sama kamu dari dulu. Dan emang baru kukasih tahu sekarang karena sulit banget bilangnya waktu aku tahu, kamu sukanya malah ke Feri."