"Kak," ucap Keana disela- sela tangisnya. Ia masih tak percaya kalau orang yang selama ini melindunginya kini terbaring lemah dihadapannya.
Matanya terus meneteskan air mata. Sungguh sulit untuk mengontrol perasaannya. Mengapa keduanya terluka? Apakah pengorbanan Keana masih kurang pada mereka?
Tangan Keana terus memegang erat telapak tangan miliknya. Entah mengapa tangannya terasa dingin digenggaman Keana. Dahinya berbalut perban. Mulutnya robek. Hidungnya patah. Pipinya lebam. Sungguh miris kondisinya.
Keana semakin menangis disampingnya. Bagaimana kalau Bastian hilang darinya? Bagaimana kalau Tuhan memisahkan mereka?
Keana mampu menahan apapun luka. Namun ia juga hanya seorang gadis biasa yang mampu merasakan duka. Hatinya terkoyak saat luka terberat diembannya. Hanya satu kata, perpisahan.
Perpisahan adalah luka terberat yang tak akan pernah mampu ditanggungnya. Karena ia takut. Takut tak akan lagi ada senyum yang merekah dibibir mungilnya.
Kepala Keana menunduk dalam disana. Mulutnya terus membaca doa agar Tuhan mau berbelas kasih pada takdirnya. Namun sebuah pergerakan menyadarkan Keana.
Keana mendongak kala ada yang menyentuh bahunya. Sebuah tangan kekar milik orang yang teramat asing dimatanya.
"Siapa lo?" tanyanya sambil mencekal erat bahu mungil Keana.
Sedangkan dari arah pintu, beberapa orang berbadan kekar pun mulai masuk kedalam sana. Mata Keana seketika membola. Siapa mereka?
"A- aku Keana," jawab Keana terbata- bata. Matanya menatap sekitar dengan waspada. Dilihatnya lamat- lamat wajah mereka. Wajah penuh gorengan luka yang sepertinya baru timbul disana.
Kini Keana ingat siapa mereka. Merekalah orang- orang yang selalu Bastian ceritakan padanya. Teman satu geng kakak kelasnya. Tampang mereka bringas. Penampilannya urakan. Namun ia ingat kalau Bastian pernah menyebut mereka orang yang baik hatinya.
"Ngapain disini?" tanya salah seorang diantara mereka yang sedari tadi menyungging senyum liciknya. Matanya menatap nyalang seolah bersiap menerkam mangsanya.
Keana benar- benar takut sekarang. Ia tak tahu kalau masuk kesana sama halnya dengan masuk ke lubang buaya. Bodohnya.
"Aku cuma mau nengok Kak Bastian aja," ucap Keana dengan hati- hati. Matanya terus menatap waswas kearah mereka.
Manik Keana menangkap pergerakan seseorang yang mulai mendekat kearahnya. Matanya tak berkedip mengamati raut Keana. Seakan ia mengingat siapa gadis dihadapannya. Sedangkan Keana, ia hanya bisa menunduk dalam diantara mereka.
"Lo Keana adeknya Abian, kan?" ucapnya memastikan wajah Keana.
Teman- teman yang mendengarnya pun langsung kompak menyungging senyum smirk dibibir mereka.
"Mati lo!"
*
Seorang pria paruh baya baru saja keluar dari mobil mewahnya. Setelan jas dan celana panjang dengan warna senada melekat ditubuhnya. Dagunya terangkat tegas melambangkan kekuasaan yang dimilikinya.
Langkahnya mengayun mendekat ke sebuah tempat yang baru kali ini didatanginya. Sedangkan dibelakangnya, dua bodyguard berjalan mengikuti langkahnya. Cara jalan mereka penuh dengan wibawa.
Kakinya terus berjalan membiarkan sepatu kulitnya menginjak tanah basah disana. Matanya terus menatap kearah tempat tujuannya.
Kepalanya menunduk membaca sebuah ukiran nama yang terpampang jelas pada nisan dihadapannya. Tertulis nama indah Reno Aditama.
Pria itu berjongkok tepat disamping sana. Tangannya mulai menabur bunga yang sedari tadi dibawa oleh seorang bodyguard dibelakangnya.
"Tenanglah kau disana. Dan disini, kupastikan pengorbanan kecilmu tak akan sia- sia."
*
"Keana kemana, Ma?" tanya Abian sambil menatap kesal kearah Sarah. Pasalnya sudah puluhan kali ia bertanya, namun Sarah hanya menggelengkan kepalanya.
Abian menghembuskan napaskan panjang. Rupanya ia harus bersabar untuk menanyakannya pada sang mama.
"Ma, Keana kemana?" tanya Abian untuk kesekian kalinya. Namun kali ini berbeda. Abian menurunkan nada suaranya. Ia sungguh memerlukan jawaban mamanya.
"Kenapa sih kamu cari dia?" ucap Sarah kembali bertanya. Sarah benar- benar tak mengerti apa yang terjadi pada putranya saat ini. Ia sungguh bosan mendengar pertanyaan sama yang terulang beberapa kali.
"Aku mau ngomong sama Keana, Ma." jawab Abian dengan wajah seriusnya. Abian harus memastikan apa yang saat ini dipikirkannya langsung pada Keana.
"Keana tadi pergi, tapi sampe sekarang nggak balik lagi." jawab Sarah mengalah.
"Pergi kemana?" tanya Abian.
"Nggak tau," jawab Sarah sekenanya.
Abian semakin bingung sekarang. Kemana perginya Keana? Mengapa hatinya gelisah karena dugaan Bima pada Keana?
Pikiran Abian kembali pada beberapa jam yang lalu. Tepat saat Rizky baru saja menginjakkan kaki keluar dari kamarnya. Abian masih tak menyangka kalau Bastian pelakunya. Orang yang tak pernah punya masalah dengan dirinya.
Abian menoleh kearah sampingnya. Tak ada seorang pun dikamarnya. Ia hanya sendirian diruangan asing yang penuh dengan peralatan steril dikanan dan kirinya.
Kepalanya pusing. Matanya mengabur. Kakinya lemas. Sungguh malang nasib Abian. Ia hanya bisa menghela napas kasar menyadari kondisi tak berdayanya.
Abian terduduk diranjang rumah sakit dikamarnya. Sepi. Pergi kemana mereka?
Namun suara terbukanya pintu membuyarkan lamunannya. Dari luar tampak Bima yang berjalan tergopoh- gopoh kearahnya. Pipinya tampak lebam disana. Bibirnya juga terluka. Namun kondisinya tak separah dengan apa yang Abian alami.
"Lo nggakpapa?" tanya Bima sambil mendekat kearahnya.
"Iya." jawab Abian menatap Bima yang sudah terduduk manis dihadapannya. Namun ada yang aneh dari gelagat Bima.
"Sebenernya gue punya firasat," kata Bima seolah tak yakin dengan ucapannya. Karena ia tahu, ucapannya akan berakibat fatal pada temannya.
"Firasat apa?" tanya Abian memandang raut bingung kearahnya. Pasalnya, baru kali ini Abian melihat ketidakyakinan dari wajah wakilnya.
"Gue rasa, Keana itu mata- mata." ujarnya memandang tak yakin kearah Abian yang melotot akibat ulahnya.
"Berani- beraninya!" hardik Abian tepat didepan Bima. Bagaimana mungkin seorang wakil gengnya berpikiran sempit tentang Keana.
"Dengerin dulu maksud gue," ucap Bima spontan saat melihat pergerakan Abian yang bersiap untuk menghantamnya.
"Lo ingetkan seberapa deket Keana sama Bastian?" kata Bima mengingatkan Abian. Abian memang sempat curiga dengan kedekatan Bastian dan Keana. Namun apa mungkin sampai sebegitunya?
"Dan kemaren gue liat Keana ada di balik jendela nguping pembicaraan kita!" ucap Bima menggebu- gebu yakin dengan pernyataannya.
Tapi, apakah mungkin?
*
Gelap.
Satu kata yang mampu mendeskripsikan apa yang saat ini Keana rasakan. Napasnya pun tersenggal- senggal. Ia benar- benar butuh udara segar.
Kain hitam yang menutup kepala Keana perlahan terbuka dengan kasarnya. Suasana pengap langsung menyambut Keana. Dimana Keana?
Bangunan 2 lantai dengan beberapa ruangan didalamnya terlihat megah dipandangannya. Beberapa foto Bastian dan gengnya menggantung dengan indah di sudut tembok sana. Namun ada satu hal yang menghancurkan tingkat keestetikan bangunan besar yang saat ini diinjaknya. Sampah.
Ruangan itu memang tampak estetik bagian atasnya. Namun hadirnya sampah ditempat yang tidak seharusnya merusak keindahannya. Disetiap sudut ruangan tampak ada sampah menggunung disana. Ditambah lahi dengan adanya sarang laba- laba. Sungguh menjijikkan keadaannya.
"Keana," panggil seseorang yang langsung membuat Keana kehilangan semua pikirannya.
"Ya." jawab Keana dengan wajah cengonya. Ketakutannya telah menghilang entah kemana.
"Mulai sekarang, lo tawanan kita!"