Chapter 6 - Janji

Hari ini Fahri pulang pagi, karena ia masuk shift malam. Begitu masuk rumah Citra sedang bersiap-siap berangkat ke rumah sakit tempatnya bekerja. Fahri langsung bergegas memasakkan sarapan untuk istrinya. Nasi goreng, telur dadar dan udang goreng tepung menjadi hidangan pagi ini. Seperti biasa Citra tidak ingin memakan dan langsung ingin berangkat kerja.

Bunda sudah kubuatkan nasi goreng, bunda sarapan dulu. Sambil menyodorkan piring yang berisi nasi goreng tersebut.

Plaaaaaaakkkkkkkk. Suara piring pecah menghantam kepala Fahri. Sudah berapa kali kubilang jangan panggil saya dengan sebutan menjijikkan seperti itu. Darah mengucur deras di pelipis mata kiri Fahri. Ia hampir pingsan namun segera membersihkan pecahan piring dan nasi goreng yang berserakan di lantai. Citra kaget karena tindakannya membuat fahri terluka cukup parah, darahnya tidak berhenti mengalir. Kenapa sih kamu harus ada di hidupku. Kenapa kamu yang jadi suamiku, kenapa? Jujur aku tidak kuat jalani kehidupan seperti ini. Citra menangis tersedak-sedak. Tolong, kasih aku waktu tiga bulan! jujur aku cinta sama kamu, aku tidak ingin melihatmu menderita seperti ini. Kalau bisa hari ini pun kalau kamu ingin pisah aku turuti, tapi kita harus melihat keluarga kita. Ibu mu, orang tuaku. Apa kata mereka pernikahan kita belum cukup satu minggu sudah bercerai mereka pasti malu. Tiga bulan saja, aku janji menceraikanmu. Citra pun berangkat dengan menaiki mobil brio merahnya. Disepanjang perjalanan ada perasaan lega Fahri berkata begitu tapi disisi lain ia merasa bersalah telah membuat Fahri terluka cukup parah. Ia tidak pernah seperti itu seumur hidupnya. Citra yang sangat santun dengan orang lain menjadi setan ketika berhadapan dengan suaminya.

Setelah membersihkan pecahan piring ia mengobati lukanya sendiri dengan betadine. Lukanya cuku dalam pelipis mata kirinya sobek terkena hantaman piring tadi Fahri cuman membalutkan plester luka di pelipisnya. Ia pun tertidur.

Waktu menunjukkan pukul 23.20 citra baru sampai rumah, Fahri sedang menunggunya. Bun, eh maksudku Citra boleh aku ngomong. Citra menganggukkan kepalanya sambil meneguk segelas air putih. Besok kalau selesai kerjanya pulang saja dirumah. Merasa mulai diatur Citra bersuara dengan nada tinggi apa maksudmu? Kamu mau mengatur-ngatur? Ti- tidak bukan begitu, jangan marah dulu, aku cuman mau bilang kalau kamu selesai kerja langsung pulang saja kerumah, kalau kamu risih mulai besok aku pulang setelah kamu sudah tidur. Citra menatap luka Fahri yang masih ada bekas darah di plester lukanya, naluri sebagai dokter yang ingin mengobati itu muncul namun Citra memilih untuk masuk kamar.