Malam belum terlalu larut. Tapi kesuyian di sekitar gadis bersurai emas itu begitu kentara. Ia mulai merasa bosan sebelum akhirnya sebuah panggilan menghilangkan kepenatannya bekerja kurang lebih delapan jam di salah satu kantor elit di Gangnam.
Ia menyunggingkan senyum sembari melangkah menuju trotoar tempatnya harus menunggu mobil jemputan.
"Kau di mana Rena?"
Rena memoles lipstik, "Aku segera sampai."
Terdengar helaan napas di ujung telepon. Rena tersenyum tipis mendengar dengusan kekesalan bos juteknya tersebut.
Rena tak peduli. Ia sudah bekerja dengan pria yang ia anggap sebagai malaikat penyelamat itu hampir sepuluh tahun lamanya. Seluk beluk bahkan kepribadian aneh yang dimiliki tuannya itu sudah seperti sebuah alarm di tubuhnya. Dia amat tahu. Tidak ada yang mengenal lebih dekat sosok bernama Kim Jong Gun atau biasa dikenal Kaiho pemilik EXL Enterprise itu, seperti dirinya. Jadi, sebuah ocehan ataupun makian darinya itu hanya tameng dari kerapuhan dan tekanan yang ia miliki.
Rena amat tahu itu.
Sedan hitam metalic tepat berhenti di depannya. Ia menunduk untuk memberi salam sebelum akhirnya masuk ke kursi penumpang. Rena tak terkejut lagi, jika pria di sebelahnya tengah memperhatikannya dengan begitu tajam.
"Apa kau sengaja membuatku menjemputmu?" protesnya.
Rena melirik sembari mendengarkan ocehan demi ocehan yang akan Kaiho lantunkan sepanjang perjalanan mereka.
"Kau bahkan belum bersiap. Aku tidak suka jika —"
"—jika kita terlambat dan tidak profesional," sambung Rena yang sepertinya begitu hapal dengan kalimat yang akan diucapkan oleh majikannya itu.
Kaiho mendengus lagi. Ia seperti tak bisa berkata-kata. Rena benar-benar mengganggu pikirannya. Entah bagaimana gadis itu seperti bisa membaca pikiran ataupun hatinya. Itu sebabnya ia bahkan tak berani mengumpat dalam hati.
Tindakannya selalu di luar nalar. Seperti sekarang ini. Ia dengan santainya mengikat rambut hingga leher putihnya itu terjenjang mulus di hadapan Kaiho.
Setelahnya, Rena bahkan melepas tiga kancing kemeja putihnya yang kemudian menurunkan dua lengan kemeja itu di bawah ketiak. Bahu yang mulus itu sudah cukup membuat Kaiho panas.
Kaiho ingin protes tapi dengan cepat gadis yang tengah mengikat lengan kemejanya ke pinggang itu mengambil alih gilirannya untuk bicara, "Kita akan terlambat jika aku harus pergi berdandan di salon."
"Itu sebabnya aku menyuruhmu untuk kembali ke apartemen bukan ke taman!"
Rena menyipitkan kedua matanya. Membuka ponsel lalu membacakan teks dari sebuah pesan.
"Pukul tujuh kita akan meeting dengan mister Koo dari China. Meeting dibatalkan. Pesan dikirim pukul enam lewat lima puluh sembilan menit. Jadi pukul tujuh tepat aku memutuskan pergi ke taman sepulang dari kantor. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit telepon masuk. Meeting kembali diadakan, bersiaplah. Jadi — "
Kaiho memijit keningnya yang tak sakit. Menengadahkan tangan ke wajah Rena, meminta gadis itu berhenti mengoceh. Rena kembali duduk tegak kemudian melanjutkan riasannya yang sempat tertunda.
Dari balik cermin, Rena tersenyum puas. Paling tidak ia bisa sedikit membalas perbuatan bos tak terduganya itu sesekali.
Mereka sampai di salah satu hotel terbesar di wilayah Gongju. Beberapa orang menyambut kedatangan mereka yang Rena bisa tebak adalah utusan dari kliennya tersebut.
Mereka digiring menuju restauran yang di pesan khusus, hingga atensi mereka menangkap satu sosok pria setengah baya dengan setelan kemeja putih terbaiknya. Kaiho bersalaman akrab sebelum mereka diajak untuk duduk di salah satu meja bundar yang telah dipenuhi banyak sekali makanan tradisional mereka.
"Maaf atas keputusan yang mendadak ini —" ujarnya yang diam-diam tak lepas memperhatikan Rena dari ujung rambut hingga ke ujung kaki itu.
Rena memalingkan wajah ketika ia menangkap sebuah radar yang tak mengenakkan dari pikiran yang dilontarkan pria tambun tersebut.
Jika ia bisa mengatakan hal ini kepada tuannya, mungkin Kaiho juga akan merasa risih. Tapi dia bisa apa? Menahan diri untuk tetap berada di pertemuan ini adalah salah satu pekerjannya.
.
.
.
Perbicangan alot terjalin selama hampir dua jam. Peran Rena yang harus berpura-pura menjadi sekretaris pribadi membuatnya terkadang cukup tertekan. Rena benar-benar tak mengerti pekerjaan yang ia jalankan tersebut. Setahunya, dia hanya diperas oleh Kaiho untuk menjadi 'pendengar' karena kemampuan uniknya tersebut.
Sepuluh tahun silam Kaiho menjadi penolong hidupnya. Ucapan terima kasih mungkin tak cukup untuk membalas semua yang telah Kaiho berikan untuknya.
Rena merasa asing saat itu. Sendirian dan kedinginan. Ia hampir mati di jalanan karena tak ada yang berani mendekatinya. Pucat dan berantakan. Siapapun takut dengannya saat itu. Hanya Kaiho yang berani mendekat lalu menawarkannya tempat yang hangat dan nyaman selama Rena menyembuhkan semua luka-lukanya.
Dunia yang baru ia temui ini begitu menyakitkan. Sendirian dan tak memiliki siapapun adalah poin yang salah jika ingin bertahan hidup.
Sampai kapanpun, Rena masih merasa dunia yang ia tinggali sekarang ini adalah tempat yang asing.
Dia rindu Syla.
Dia teringin kembali ke sana. Hanya saja tak tahu bagaimana caranya. Terlebih, ia tengah menanti janji seseorang yang akan menjemputnya. Yang entah kapan akan datang menjemputnya.
Suara sol sepatu menginterupsi keterpakuannya. Meski lelah mendera kedua pundaknya, Rena dengan sigap menghampiri pemilik jam rolex hitam itu untuk menerima jas yang ia kenakan lalu meletakkannya ke tempat biasa.
Kaiho bersiap untuk mandi sembari memeriksa pekerjaan Rena yang tengah memilih pakaian tidur yang tersusun rapi dan terukur di lemari besarnya. Warna cream adalah jadwal di hari rabu. Rena membawakannya tak lupa dengan handuk baru beraroma mint.
Setelahnya, gadis itu memeriksa bath up untuk memeriksa suhu airnya kemudian menyertakan wangi-wangian aromatherapy mawar putih di sana. Dirasa semuanya telah pas, Rena beranjak meninggalkan kamar.
"Kau masih memikirkan kekasihmu yang kau tunggu itu?"
Rena tergugu diambang pintu.
Seolah lelah kembali menderanya, Rena benar-benar tak bersemangat membicarakan hal ini sekarang. Rena mengangguk sekali sebelum pamit keluar dari kamar.
"Ya. Tapi aku sudah memutuskan untuk tak menunggunya lagi."
"Kau yakin?"
Rena tak menjawab namun juga tak menangkis bahwa dari wajahnya tersirat keraguan dari keputusannya tersebut.
"Aku pernah baca bahwa siluman rubah adalah makhluk yang setia. Apa itu tidak berlaku bagimu ataupun dia?"
Rena agak menggeram. Ia sembunyikan kekesalan dari ucapan pedas tuannya itu jauh di dalam hatinya.
Ini sudah biasa. Kaiho memang bermulut tajam dan apa adanya. Ia tahu itu. Dan menanggapi ucapan Kaiho di saat ia tengah lelah seperti ini, hanya akan menciptakan pertengkaran besar.
Jujur saja, rubah seperti dirinya takkan bisa berubah wujud lebih lama saat menjadi manusia. Hanya sekitar sepuluh jam dan dia harus kembali ke wujud aslinya sebelum ia benar-benar melemah. Rena tak mau kehilangan energi lebih banyak lagi. Hingga ia lebih memilih untuk tak menanggapi ucapan Kaiho tersebut.
Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, Kaiho pun memilih untuk melanjutkan acara mandinya dan membiarkan gadis itu pergi meninggalkan kamarnya.
Tanpa ijin darinya, sebuah senyuman terukir di sudut bibirnya.
.
.
Bersambung