Eunha menggeleng bingung.
Jika dia bisa memilih — gadis berponi dengan tinggi badan tak mencapai dagu runcing Chae itu — mungkin akan langsung menendang pria di hadapannya itu tepat di 'tempat' yang seharusnya seorang pria malu mempertontonkannya.
Namun nyatanya tidak. Pria itu jelas mempertanyakan hal yang tak masuk akal. Seolah tengah protes — apa ada yang salah denganku? — seperti itu.
"Kau masih bertanya - tanya bahwa kau tidak mesum?"
"Aku bertanya apa itu mesum. Di Syla sepertinya tidak ada kata seperti itu."
Chae masih keukeuh dengan kepolosannya. Sedangkan Eunha harus puas dengan pertimbangan — apakah lebih baik membuka kedua tangannya dan menjelaskan, atau memilih kabur karena takut berlama-lama dengan pria yang sepertinya tidak terganggu dengan penampilannya.
Eunha mulai memutar otak. Cara agresif tidak akan menolongnya saat ini. Dilihat dari bagaimana pria itu menatapnya tadi, Eunha sudah berada di ujung tanduk.
Mata itu dingin. Menekan mentalnya jatuh hingga merasa dirinya harus tertunduk. Yang lebih penting adalah, pria itu membawa pedang yang terlihat sangat berbahaya.
Pedang panjang dan pedang pendek! Keduanya sangat berbahaya bagi gadis imut seperti dirinya, kan?
"Maksudku adalah..apakah kau tidak kedinginan? Apakah kau itu robot? Ini musim dingin dan kau —"
Hening. Eunha mulai curiga dengan diamnya pria mesum itu. Perlahan ia memberanikan diri membuka celah jari-jemarinya. Karena cukup gelap, ia akhirnya membuka satu telapak tangannya. Hingga akhirnya ia bisa bernapas lega begitu yang dicari ternyata telah pergi.
"Kemana dia?"
Oh..entah kenapa Eunha merasa kehilangan.
Eunha memukul kepalanya sendiri dengan ember. Bisa-bisanya ia memikirkan hilangnya pria tersebut.
Tapi sepertinya Dewa punya rencana lain.
Dari pintu masuk rooftop ini, dia mendengar teriakan yang sama seperti yang ia gaungkan tadi. Dan dari suara teriakannya, Eunha kenal betul siapa pemilik suara cempreng nan menyakitkan jiwa jika ia terlambat membayar iuran kostnya tersebut.
Tanpa tendeng aling-aling, Eunha berlari secepat Sonic dan mencoba berpikir positif bahwa nyonya kostnya itu mungkin tengah meneriaki seekor tikus. Tapi ternyata pikiran positifnya itu meleset jauh.
Yang sebenarnya justru apa yang ia duga bahwa pria mesum itu turun ke lantai bawah dan membuat heboh seisi kost.
Belum sampai ke lantai kedua sih, tapi tetap saja Chae sukses membuat semua penghuni meliriknya — geli namun ada juga yang kagum — mengingat penghuni kost ini kebanyakan adalah wanita dan gadis kesepian, tentu saja kehadiran pria tampan, tinggi dan berkharisma itu sukses memancing perhatian.
Terutama dengan caranya berjalan menuruni tangga meskipun ia hanya mengenakan selimut sebagai penutup badan.
Eh?
"Se..selimutku!?"
Giliran Eunha yang kini menarik perhatian yang lain. Semuanya saling berbisik — menaik turunkan pandangan kepada keduanya — setelah melihat secara detail, bahwa Eunha pun tengah dalam mode berantakan.
"Kalian berdua sedang apa di atap rumahku!"
Nyonya kost kembali melengkingkan nada 'do' nya yang legendaris. Eunha bingung. Chae pun bingung.
Mereka diam tak bergeming dan itu semakin menimbulkan kecurigaan. Ada beberapa penghuni yang kaget melihat keduanya. Kebanyakan justru kecewa karena ternyata mereka mempunyai hubungan.
"Cepat! Kenapa kalian bingung? Karena sudah kepergok olehku karena itu kalian berdua mencari-cari alasan kan?"
Eunha berulang kali mengedip-kedipkan matanya yang masih belum mengerti apa maksud pertanyaan nyonya kostnya itu. Namun setelah mendengar Chae angkat bicara, Eunha baru menyadari kesalah pahaman ini.
"Kami sedang bersenang-senang, nyonya —"
Eunha melompat bermaksud untuk menutup mulut Chae yang asal bicara itu. Namun dengan sigap, Chae menghindar hingga membuat Eunha terjerembab mulus di depan kaki si nyonya kost yang kemarahannya semakin naik ke gulungan rambutnya.
"Jung Eunha!"
"Annie...Annie...Annieyo bibi! Kau salah paham! A..aku tidak —"
"Kau! Dia! Kalian?"
Chae tersenyum tipis saja kemudian bermaksud ingin berlalu. Namun dengan sigap keduanya menahannya.
"Ikut aku ke ruang interogasi!"
Eunha pun tak mau kalah. Ia tak mau menanggung hukuman ini sendirian.
"Dasar rubah licik!" geramnya.
"Darimana kau tahu kalau aku adalah rubah?" tanya Chae bingung.
Namun sepertinya Chae harus menunda dulu mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Pasalnya ia tak bisa lagi mengelak saat telinganya kesakitan akibat jeweran sang pemilik kost. Begitu pula dengan Eunha yang semakin mengumpat melihat kejadian ini adalah ulah pria mesum di musim dingin.
Akhir tahun yang sial !
"Jadi..sedang apa kalian di atas?"
Eunha menghela napas lelah. Sudah berapa kali ia jelaskan bahwa dirinya sama sekali tak mengetahui siapa pria itu dan darimana asalnya.
Kekesalan Eunha juga bertambah ketika Chae memilih diam tanpa sedikitpun berkeinginan untuk membela diri ataupun menjelaskan.
"Bibi...kami tidak saling mengenal. Dia berada di atap sebelum aku naik ke atas untuk menjemur pakaianku. Lalu aku..aku melihatnya tanpa pakaian dan dia..dia —"
Nyonya kost diam mengamati. Bahkan terlalu diam hingga ia terlihat seperti mematung. Matanya pun tak berkedip sekalipun. Membuat Eunha terperanjat tak percaya. Pria di sebelahnya malah santai dan memilih keluar dari ruangan tiga kali tiga meter itu sambil tetap mengenakan selimut miliknya tersebut.
"Hei tuan mesum! Apa itu? Kau tahu kenapa bibi kost seperti itu? Kau dan aku tidak —"
"Pergilah,"pintanya.
"Apa?"
"Pergilah sebelum dia kembali normal —"
Eunha melongok. Tak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Nyonya kost benar-benar seperti patung. Bahkan detik pada jam di dinding pun tak bergerak selangkah pun.
Apakah ini sihir?
"Kau penyihir?!"
Chae hanya mengeluarkan smirknya kemudian berlalu. Meninggalkan Eunha yang masih tercengang dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
Chae bergegas keluar dari rumah kost yang berisi tiga lantai itu. Menyibak selimut curiannya kemudian berteleportasi seperti kemauannya.
Ia yakin sekali, bahwa gelang penghubung antara dirinya dengan Chaeyoung tadi bersinar. Itu berarti, Chaeyoung tak jauh dari tempatnya berada.
Chae cukup kebingungan dengan wilayah yang sangat asing baginya kini. Tempat ini bukan lagi hutan , sungai ataupun pegunungan, melainkan bangunan-bangunan tinggi yang panas dan keras.
Chae kesulitan saat harus melompat dari satu titik ke titik lainnya. Ia berulang kali harus tergelincir akibat salju ataupun atap rumah yang ia pijak sangatlah licin.
Gelang penghubungnya kian bersinar. Chae semakin mantap untuk secepat mungkin melompat dan berteleportasi. Demi menjangkau jarak yang memisahkan antara mereka.
Chae sampai di sebuah taman. Ia langsung berpencar sembari meneriakkan nama Chaeyoung di sudut-sudut taman. Tak khayal ia pun kembali menjadi tontonan orang-orang yang berada di sana hingga beberapa dari mereka merekam Chae yang terlihat aneh karena memakai selimut kemana-mana dengan penampilan yang juga tak biasa. Berambut putih panjang dengan dua telinga mirip kucing di atas kepala.
Chae semakin tak tentu arah karena di dekati oleh pemburu berkotak segiempat. Ia juga semakin risih karena orang-orang tersebut menyalakan lampu yang membuatnya tak bisa melihat dengan jelas.
Chae jengah dan sekali lagi ia mengeluarkan jurusnya. Daripada ia harus bertarung di tempat ini, Chae memilih menghentikan waktu kemudian kabur seperti yang ia lakukan di rumah kost Eunha.
Gelang kembali bersinar dan dia kini menemukan tempatnya yang pasti. Sebuah bangku taman kosong yang beberapa menit lalu ada seseorang duduk termenung di sana.
Sayangnya ia langsung beranjak begitu panggilan telepon menginterupsi kesendiriannya. Dengan cepat ia menghabiskan sekaleng bir lalu menekan 'jawab' pada panggilan penting di ponselnya.
"Kau di mana Rena?"
Chae kecewa begitu yang ia hampiri ternyata tinggal bangku kosong.
Dengan letih ia pun bersandar di sana sambil mengamati sekitar yang teramat asing baginya.
"Kau di mana Chaeyoung?"
.
.
.
Bersambung