"Masih ingat kata-kata orangtuaku tentang masa remajaku yang berantakan?"
Valdy bertanya dengan suara dalam, nyaris terdengar seperti tengah mengintimidasi. Angela mengangguk, menunggunya melanjutkan ucapannya.
"Setelah bertahun-tahun menjadi si anak nakal yang durhaka pada orangtua, kini saatnya aku mulai bersikap baik. Sama sepertimu, yang tak mau papamu mencemaskanmu, sakit karena stress memikirkan masa depanmu. Kita, ada di posisi yang sama. Kita, sandwich generation, yang dituntut siap mengorbankan mimpi dan kebahagiaan kita demi membahagiakan orangtua. Mengerti?"
Angela bergeming. Sepasang matanya yang hitam berkilauan menatap Valdy tanpa berkedip, sama seperti yang dilakukan lelaki itu. Perasaan dan emosinya bercampur aduk di dadanya, tak bisa memutuskan apakah ia sebaiknya marah atau sedih mendengar kata-kata yang penuh kebenaran itu.
"Aku bisa lari, menjadi manusia bebas seperti yang dulu kulakukan. Tapi, aku ternyata nggak bahagia dengan kebebasan yang di luar batas. Aku suka ada disini, bersama keluargaku, melihat orangtuaku tetap sehat dan bahagia. Aku mengira mereka akan menerimaku tanpa syarat. Ternyata, perjodohan ini adalah syarat utamanya." Valdy mengembuskan napas panjang. "Tapi jika dipikir-pikir kembali, seandainya aku ada di posisi mereka, mungkin aku akan melakukan hal yang sama untuk anakku."
"Val, aku…"
"Kita punya waktu untuk mencari jalan keluar, La."
"Tapi bagaimana kalau kita ketahuan soal kebohongan kita?"
"Aku akan membantumu. Kita akan saling membantu, dengan akting dan sebagainya. Dan ingat, sebaiknya tak ada yang tahu soal ini. Hubungan kita hanya sebatas guru murid dan bahwa aku sebatas menjagamu atas keinginan kakakmu."
"Kalau kita sering dipaksa kencan seperti ini, ke sekolah selalu bareng denganmu, lama-lama akan tersebar juga, Val. Satu orang tahu, satu sekolah akan tahu dalam sekejap. Aku dan Roni bakal…" Angela meringis, lalu menghela napas dalam untuk menenangkan diri. "Belum lagi satu sekolah akan menginjak-injakku seperti waktu lalu. Aku nggak akan bisa bertahan. Aku nggak sekuat itu."
"Kita nggak usah terlalu sering melakukannya, La, kencan ini maksudku. Soal ke sekolah bareng, kita bisa memberi alasan bahwa itu adalah kemauan orangtuamu. Setuju?"
Angela hanya diam, dengan kalut memikirkan pertanyaan Roni belakangan ini. Roni tak bisa menerima bahwa Angela lebih memilih ke sekolah sendirian, menolak untuk dijemput tiap pagi. Sejauh ini Angela berhasil menghindar dengan banyak alasan. Tapi tidak untuk minggu depan, dimana Roni mewajibkannya pulang bersamanya tiap sore usai latihan basket. Roni telah berubah sedemikian posesif padanya hanya dalam waktu yang singkat. Menyenangkan sekaligus merepotkan.
"Oke. Aku setuju aja. Aku nggak tahu solusi lainnya sekarang."
Angela memalingkan wajah, memandang ke arah pantai. Matahari menggelincir makin rendah di cakrawala. Langit dan gugusan awan di kejauhan bersemburat lembayung, ungu dan oranye yang menawan. Suasana di sekitar mereka makin temaram seiring angin sejuk beraroma garam yang berhembus pelan, menerbangkan helaian rambut Angela di sekeliling wajahnya.
Suara deham membuat mereka tersentak. Edgar muncul lagi, terlihat menyeringai dengan canggung, lalu menunjukkan ponsel di tangannya pada Valdy.
"Apa?" tanya Valdy, tak paham maksudnya.
"Kanjeng Mami minta dokumentasi kencan kalian. Candid." Valdy dan Angela bertukar pandang suram. "Tapi gue nggak enak sama lo, Val. Makanya lapor dulu sebelum ngambil foto kalian."
"Udah, ambil aja yang saat kita sedang ngobrol!" Valdy berseru gusar. Angela menyandarkan punggung dengan lesu hingga merosot di kursinya, melenyapkan kesan anggunnya dalam sekejap.
"Katanya yang romantis." Edgar berkata dengan nada mendesak. Ia lalu melirik ponselnya. "Tuh kan! Gue udah ditelpon lagi! Buruan pose dikit napa?" Ia lalu menerima telpon Mirna. "Iya, Bu. Ini saya sedang ngintipin mereka pacaran di taman. Iya, maaf lama, tadi ke toilet dulu. Ditunggu ya." Edgar lalu melambaikan tangan dengan kalut pada dua orang di hadapannya.
"Oke." Angela berdesis dengan nada muak. "Kamu maunya pose gimana, Fiance?"
"Pegangan tangan?"
"Nggak keliatan romantis! Kayak kakek nenek lagi pacaran aja lo!" Edgar menolak mentah-mentah.
"Saling menyuapi makanan?"
"Keliatan gimmick banget! Lo yang kreatif dikit dong. Kayak nggak pernah pacaran aja!" Edgar kembali protes, membuatnya mendapat hadiah lirikan tajam Valdy yang dongkol.
Angela memandang kembali ke arah sunset yang menakjubkan, lalu mendapat ide.
"Val, disana aja. Sambil liat sunset."
"Lalu?"
"Udah lo ah! Kelamaan berpikir!" Edgar berdecak.
"Mau potong gaji lo?" tukas Valdy yang akhirnya bangkit dengan ogah-ogahan.
"Gue bantuin lo ini… Gue videoin yang bagus deh!"
"Katanya foto!"
"Yang mana aja oke kata Bu Boz." Edgar melambaikan ponselnya di depan mereka, kentara sekali tengah pamer. "Baru lho! Kameranya dijamin oke bingittt!"
Angela bangkit, lalu bersama Valdy berjalan ke arah pantai. Keduanya saling lirik dengan sengit, mau tak mau merasa canggung satu sama lain.
"Buruan! Yang mesra!"
"IYA!"
Valdy merangkul bahu Angela dan berbisik, "Sorry, La." Ia mengajak Angela ke arah pantai yang sepi, membiarkan kaki mereka terbenam dalam pasir putih yang hangat.
Angela berubah gugup, tubuhnya belum terbiasa dengan sentuhan dari tunangannya ini, sangat berbeda dengan Roni. Valdy merangkul bahunya dengan lembut, menariknya ke arah dadanya dengan protektif. Saat mereka telah sampai di garis tepi air dimana ombak pecah, Valdy memeluknya dari belakang. Rengkuhan lengan dan tubuhnya memerangkap Angela dalam kehangatan yang sempurna. Dekapan kedua lengannya di depan tubuh Angela membuat gadis itu makin grogi, hingga kesulitan mengatur napasnya.
"Val…" Angela mendongak padanya, mengerjap saat Valdy menunduk hingga wajahnya begitu dekat di atas Angela. Dalam benaknya Angela menghitung, tunangannya ini lebih jangkung dibanding Roni, dengan proporsi tubuh yang lebih besar.
"Hmm?" Valdy memandangnya dalam-dalam, seakan coba-coba menghipnotis Angela.
"Aku jadi sesak tahu. Nggak bisa bernapas."
"Oh, sorry." Angela berubah lega saat dekapannya berubah lebih longgar.
"Woi! Yang tadi bagus banget!" Edgar membuyarkan kegugupan mereka berdua. "Yang lebih romantis lagi. Satu kali aja."
"Gar, udah mulai gelap!"
"Gue fotoin dari depan deh!"
"Mana keliatan candid, bego!"
"Dari jauh!" Edgar memundurkan langkahnya hingga cukup jauh. "Mulai!"
Valdy berdecak, lalu menyandarkan dagunya di bahu Angela, kembali memeluknya erat. Angela jadi ingin meleleh di tempat saking groginya.
"Hadap sini, La." Ia berbisik.
"Nggak mau. Nanti jadinya…"
"Aku nggak akan cium kamu. Tenang aja!" Valdy berkata jengkel.
Angela mau tak mau menolehkan wajahnya ke arah Valdy, hingga hanya tersisa jarak yang sangat tipis diantara mereka. Hembusan napas hangat lelaki itu menyapu wajahnya, membuat kedua matanya membulat sempurna. Entah perasaannya saja atau bukan, tapi ia merasakan debar jantung Valdy yang bertalu, sama seperti jantungnya yang sudah bertingkah sejak tadi.
"La."
"Apa?"
"Bulu matamu kalah lentik dengan bulu mataku. Bagi cewek, ini bisa bikin insecure. Benar kan?"
"WHAT??"
Tanpa basa-basi Angela menginjak kaki lelaki itu sekuat tenaga hingga seruannya membelah keheningan dan membuyarkan suasana romantis mereka.
Menjengkelkan!
***