Chereads / 365 Days Angela / Chapter 43 - I HATE YOU!

Chapter 43 - I HATE YOU!

Angela berjalan ke ruang guru sendirian. Ia meminta Roni tak menemaninya, tak ingin Roni sampai baku hantam dengan Valdy yang sama-sama dikuasai emosi. Kekasihnya itu akhirnya buru-buru diseret oleh Wawan ke kantin agar tak mengikuti Angela. Ruang guru cukup ramai. Angela mengetuk pintu, lalu menyatakan maksudnya pada guru piket. Ia menunggu selama beberapa saat, lalu Valdy muncul setelah dipanggil oleh guru piket.

"Ikut aku." Valdy bergumam pelan dan melewati Angela yang berdiri di ambang pintu. Angela mengikutinya dengan enggan ke arah ruangan kecil di sebelah ruang guru yang biasa digunakan untuk mengadili siswa pelanggar aturan. Ada satu set meja dan kursi di ruangan itu. Angin sejuk berhembus dari pendingin ruangan di salah satu sisi dinding. Angela duduk di salah satu kursi sementara Valdy menutup pintu di belakangnya.

"Kita tak perlu basa-basi lagi." Valdy langsung memulai saat ia baru saja duduk di seberang Angela. "Kali ini detensi lebih ringan. Lagi-lagi karena kelakuanmu yang tidak bisa kutoleransi di jam pelajaranku."

"Lalu bagaimana dengan Karina yang dari awal mencoba memprovokasiku?" sergah Angela berapi-api. "Dia lolos dengan gampangnya, karena apa? Karena dia pacarmu?"

"Kita tak membahas hal lain di luar pelajaran, Angela."

"Lalu kenapa hanya aku yang kena detensi? Kenapa berat sebelah? Ada banyak saksi yang melihat apa yang dilakukan Karina kepadaku! Dia juga menarik rambutku, makanya aku sampai menamparnya." Angela mulai merasa sesak lagi. Perlakuan tak adil selalu membuatnya merasa lemah tak berdaya. "Kenapa? Karena dia bukan sekadar murid lagi untukmu?"

"Aku sudah bilang kita tak membahas soal hubungan di luar sekolah!" Valdy tersulut kembali. "Jangan bertingkah manja di depanku! Aku lelah sekali menghadapimu, Angela!"

"Kenapa? Lelah jadi guardian-ku, atau tunanganku?" sergah Angela. "You can quit! Anytime you want! Aku nggak pernah memaksamu bersamaku! Kamu bisa bilang sejujurnya pada Adrian, atau ortumu, dan juga ortuku bahwa tunangan yang mereka pilihkan untukmu cuma sebatas ababil manja yang merepotkan. Aku nggak keberatan kok! Aku nggak rugi apa-apa! Justru dengan bersamamu aku merasa terbebani! Kita sama-sama menderita karena perjodohan laknat ini!"

Angela mengusap air mata yang telah mengalir di pipinya. Valdy mematung di hadapannya, tak membalas ucapannya.

"Oke. Sudah jelas soal itu kan?" Angela berkata dengan suara serak. "Aku tak sabar menunggu kabar baik darimu nanti soal itu. Next, we should celebrate. Bahwa nantinya kita jadi bebas lagi semau kita." Angela terisak.

"Kenapa kamu menangis?" tanya Valdy.

"Bukan urusanmu lagi, My Ex-Fiance!"

"Aku tanya baik-baik, kenapa kamu menangis?" tanya Valdy lebih memaksa.

"Karena aku nggak suka diperlakukan tak adil seperti ini! Setelah papaku, lalu Andrei, lalu kamu. Masa hal ini harus berulang lagi dan lagi seumur hidupku?" Angela terisak makin keras. "Siapapun yang melakukannya padaku, tak bisa kumaafkan begitu saja."

"Angela…"

"Lanjutin aja, please! Aku nggak mau dekat-dekat denganmu lagi! Aku benci padamu, Val! Benci! Bacakan hukumanku dan aku bakal pergi!" Angela mengusap lagi pipinya. "Mulai besok, kita jalan sendiri-sendiri. Aku nggak butuh kamu lagi. Aku sudah punya cowok yang menyayangiku. Silakan jalan terus dengan Karina. Urusan kita selesai sampai disini!"

Hening. Hanya suara isakan Angela yang memenuhi ruangan yang sempit itu. Valdy tak berkata apa-apa, hanya memandangnya dengan ekspresi datarnya yang biasa, membiarkan Angela menangis sendiri.

"Bacakan hukumanku, Val! Kenapa kamu diam saja?"

Valdy berdeham.

"Oke. Aku memberimu detensi mulai besok, jam istirahat ketiga. Tugasmu di perpustakaan, membantu sesuai arahan petugas perpustakaan. Detensi ini kamu lakukan setiap jam istirahat ketiga sampai Kamis minggu depan." Valdy berdeham lagi. "Hanya itu."

"Terima kasih, Pak Valdy." Angela lalu bangkit dan berjalan ke arah pintu. Valdy menghalangi langkahnya dengan tubuh jangkungnya. "Permisi. Aku mau lewat." Angela berdesis padanya.

"Jangan keluar sambil menangis. Selesaikan dulu tangisanmu disini."

"Aku nggak mau dianggap…"

"Tak akan ada yang mempertanyakan apa-apa selama kamu bersamaku, Angela."

Emosi berkecamuk di dada dan kepala Angela. Marah, sedih, kecewa, bercampur baur menjadi satu bersama kenangannya akan ketidakadilan yang dialaminya sedari masih bayi. Mengapa hal itu sampai mempengaruhinya sedemikian dalam, ia tak pernah menelaah. Mungkin karena kehadiran Agatha yang merusak semua memori bahagianya, selalu muncul di setiap linimasa hidupnya walaupun Angela selalu berusaha menjauh. Kini, diperlakukan tak adil karena keculasan Karina, membangkitkan kembali kenangan tak menyenangkan itu. Kalah, selalu, dari sosok perempuan lain yang lebih layak untuk dicintai.

Ia tak mencintai Valdy, tapi ia kecewa karena tunangannya itu lebih memilih gadis lain untuk diselamatkan, di depan semua orang.

Angela terisak makin keras, menyembunyikan wajahnya dalam telapak tangannya. Ia mendongak saat merasakan tubuhnya ditarik dalam pelukan dan mendapati wajah Valdy sedemikian dekat di atasnya. Raut menyeramkan di wajahnya telah berganti muram. Ia memeluk Angela dengan lembut, satu tangannya mengusap rambut gadis itu yang tergerai di punggung.

"Maafkan aku, La." Ia berbisik. Angela menggelengkan kepala dan memilih menunduk, dahinya menyentuh dada Valdy. "Maaf sudah membuatmu menangis."

Angela tak menanggapinya. Saat dekapan lelaki itu terasa makin erat, ia memilih membenamkan wajah di dada Valdy, menangis sepuasnya.

***

Valdy merasakan kemarahannya yang meledak hebat sedari pagi, perlahan meluruh saat melihat tangisan Angela di depannya. Sang tunangan yang menjengkelkan kini berubah layaknya gadis mengenaskan yang tak berdaya. Penyesalan datang menamparnya, membuatnya ingin mengulang kembali serangkaian kejadian tadi agar tak sampai menyakiti Angela. Tapi semuanya sudah terlambat.

Ia tak bisa menahan diri untuk tak memeluk gadis itu, yang terlihat rapuh dalam kesedihannya. Ia tak cukup memahami mengapa kesedihan Angela sedemikian hebatnya hanya karena apa yang terjadi di lapangan tadi. Ketidakadilan? Hanya karena itu? Memuakkan memang, tapi efeknya pada gadis itu di luar dugaannya.

"Maafkan aku, La. Maaf sudah membuatmu menangis."

Hanya itu yang mampu diucapkannya. Tubuh gadis itu gemetar dalam pelukannya dan ia merengkuhnya lebih erat untuk menenangkannya. Saat tangis Angela makin menjadi, ia membenamkan tubuh ramping itu dalam kungkungan tubuhnya sendiri, sedikit meredam suara sedu-sedannya. Matanya sibuk mengawasi pintu, berjaga-jaga seandainya ada yang menerobos masuk dan mendapati mereka berdua dalam posisi yang sedemikian intim. Tak ada jendela atau CCTV yang perlu diwaspadainya. Tak ada celah untuk mengintip kecuali dari satu-satunya pintu yang kini tertutup rapat.

"Angela, tenanglah."

Valdy mengernyit saat merasakan kemejanya tertarik, mendapati Angela meremas kuat-kuat bagian depan kemejanya.

"Hei… Sssttt…" Ia menggiring Angela kembali ke arah kursi dan membantunya duduk. "Kuambilkan tisu. Tunggu sebentar."

Valdy melepas Angela dari pelukannya dan berjalan ke luar ruangan. Ia mengambil sekotak tisu dari ruang guru dan cepat-cepat membawanya kembali ke ruang mediasi. Angela masih duduk disana, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil memandang hampa dinding seberangnya. Belum pernah Valdy melihatnya semengenaskan ini sebelumnya.

Angela menerima kotak tisu tanpa bicara dan dalam sekejap berlembar-lembar tisu berpindah ke tangannya. Valdy mengawasinya membersihkan wajahnya dengan seksama.

"Terima kasih." Angela berkata pelan sambil bangkit dari kursinya. "Aku akan laksanakan detensinya besok. Aku pergi sekarang."

Angela menghentikan langkahnya di depan pintu yang tertutup dan berbalik.

"Aku serius soal omonganku tadi. Berhenti sampai disini, Pak Valdy. Mulai besok, semuanya kembali seperti dulu, seperti sebelum kita saling mengenal." Valdy melihat kedua tangan gadis itu mengepal kuat di sisi tubuhnya saat mengatakannya. "Terima kasih untuk semuanya, dan, maaf, atas semua kesalahanku padamu."

Valdy hanya termangu menatap kepergiannya. Ia tak menyangka secepat ini mereka akan mengakhiri semuanya, hanya karena satu hal kecil yang menjadi satu kesalahan fatal tak terduga.

"Dasar bodoh." Valdy bergumam ke ruangan kosong.

***