"Bukannya kita udah sepakat..."
"Bukan 'kita'. Ralat, La. Cuma kamu."
"Roni sudah marah-marah, Val. Please!"
"Silakan protes ke mamaku, ide ini murni darinya. Aku nggak ada sangkut pautnya sama sekali!"
Angela menghempaskan punggung ke sandaran kursinya, melirik sengit pada Valdy yang menyetir dengan tenang. Hari bahkan belum menginjak tengah hari, dan kini ia tengah menuju ke rumah tunangannya untuk menghabiskan akhir pekan sesuai titah Mirna. Lagi dan lagi.
"Aku bukan tunanganmu lagi, Om!" Angela mencoba lagi. Valdy hanya mendengus.
"Nanti ngomong saja langsung dengan mama. Dan semoga berhasil, La."
"Bantuin makanya biar berhasil!"
"Maaf, tapi aku punya banyak pekerjaan yang lebih asyik dibanding konfrontasi langsung dengan mamaku. Unfaedah, La."
"Kamu ngeselin tahu nggak? Lebih parah daripada Adrian! Lebih… Ahh… Ngeselin pokoknya! Galak! Dingin! Kenapa sih cewek-cewek di sekolah bisa nge-fans sama kamu?? Asli, mereka buta sama sekali. Coba kalau mereka tahu sifat aslimu seperti apa! Nggak mungkin mereka bakal mau susah payah…"
"Terima kasih untuk penilaianmu yang subjektif itu." Valdy menyahut sinis, memotong kata-kata Angela. "Anehnya, cuma kamu yang merasa nggak nyaman denganku. Dari semua muridku, cuma kamu yang kurang ajar, suka melawanku, dan menyebutku galak."
"Itu reaksi alami untuk menghadapi dirimu yang sudah mengganggu zona nyamanku tahu!"
"Oke. Aku mengerti. Sekarang, tutup mulut. Telingaku sakit mendengar suara galakmu."
Angela mengepalkan kedua tangan dengan gregetan, lalu tanpa aba-aba ia mencubit satu lengan Valdy sekuat mungkin.
"HEI!"
"Nih kalo masih kurang!"
Angela mencubitinya lagi dengan lebih ganas, tanpa ampun. Valdy sebisa mungkin menghindar, menepiskan lengannya, mengibaskannya dengan keras hingga terlepas dari cubitan Angela. Ia lalu menangkap satu tangan gadis itu yang masih mencoba menyerangnya.
"Kamu mau kita MATI??" Valdy berseru murka, tak memalingkan wajahnya sama sekali dari jalan di hadapannya yang ramai. "Hentikan!" Angela menarik tangannya sekuat mungkin. "Angela!"
"Putar balik! Aku pulang aja!"
"Aku bukan supirmu! Mau pulang? Telepon dulu orangtuamu!"
"Please, Val. Kerja sama denganku! Aku nggak kuat lagi menghadapi hal ini terus-terusan! Roni udah curiga dengan hubungan kita. Aku nggak mau dia marah dan mutusin aku gara-gara pertunangan kita. Dia pacar pertamaku tahu!"
"Makanya, jangan suka mencari masalah denganku!" Valdy membentaknya.
"Memangnya siapa yang mau nyari masalah? Apalagi sama kamu yang nyebelin? Hah? Aku cinta damai!" Angela menepiskan rambutnya yang menjuntai ke arah wajah. "Nggak tahu ya, sejak kenal denganmu, terlibat perjodohan ini, hidupku yang nyaman mendadak berubah ruwet! Bukan salahku. Jangan seenaknya menuduh!"
Valdy mendesah kasar.
"Bukan cuma kamu. Aku juga mengalami hari-hari menyebalkan karena terlibat emosi dengan bocah manja sepertimu, La. Bukan hanya kamu yang jadi korban disini!"
"Makanya…"
"SIlakan protes dulu pada orangtuamu! Lalu ke mamaku! Aku dengan senang hati akan membiarkanmu pergi bersama pacarmu!"
"Bantuin!"
"Lakukan sendiri! Ini keputusanmu!"
Valdy membelalak pada Angela dari spion tengah. Angela memejamkan mata dan menghentakkan satu kaki dengan gusar. Kejengkelannya pada Valdy meluap-luap dan ia berjuang keras mengendalikan kemarahannya agar tak meledak parah. Lelaki itu masih meliriknya berkali-kali, namun Angela mengabaikannya, tak balas mendelik padanya agar tak tersulut kembali.
Dalam waktu singkat mereka telah sampai di rumah Valdy. Angela turun dari mobil dengan lesu, yang tak berusaha ditutup-tutupinya. Roni masih marah besar padanya, tak menerima penjelasan Angela bahwa Valdy ada di rumahnya untuk memeriksa Moon-Moon. Saat kekasihnya nanti kembali dari Mangata, meraka akan 'bicara', yang mana membuat Angela makin ketar-ketir dengan perasaan tak karuan.
"Ayo."
Angela tersentak saat mendengar suara tajam Valdy di dekatnya, melihat lelaki itu berdiri tak jauh dengan kandang Moon-Moon di tangannya. Angela menghembuskan napas panjang dan mengikutinya masuk ke rumah.
"Nona Angela lagi sakit?" Suara Bik Noni yang menyambut mereka membuat Angela berpaling. "Lesu sekali dan kelihatan pucat, Non." Bik Noni memandangnya cemas. "Nyonya Mirna meminta saya melayani Nona Angela. Ada yang perlu saya bantu?"
Angela berpikir cepat, dengan mata terpancang pada punggung Valdy yang makin menjauh. Lelaki itu terlihat sama sekali tak memedulikan sang tunangan yang divonis sakit oleh ART-nya. Angela mendapat ide seketika, ide agar ia tak perlu menghabiskan malam minggu dengan kencan dimanapun sesuai arahan Mirna.
"Agak meriang dari kemarin, Bik. Kecapekan akibat detensi." Angela mengeluh dengan meyakinkan. Ia melirik Valdy yang menghentikan langkah. Sebelum lelaki itu berbalik dan menyaksikan aktingnya yang luar biasa, Angela telah menumpukan satu sisi tubuhnya pada Bik Noni yang terpekik kaget.
"Non! Kenapa?"
"Pusing banget, Bik." Angela menunduk hingga rambut panjangnya menjuntai ke kedua sisi wajahnya. "Anterin saya ke kamar dong, Bik. Pingin rebahan."
"Tuan Valdy?" Bik Noni memanggil Valdy yang kini berjalan mendekat, berhenti sejenak untuk menyerahkan Moon-Moon pada Bik Wati yang muncul dari arah dapur, dan kembali melangkah.
"Ayo, Bik. Papah saja saya. Saya masih bisa jalan kok." Angela menarik lengan Bik Noni dan mengajaknya melintasi ruang tengah yang luas menuju tangga.
"Biar saya saja, Bik." Valdy muncul di hadapan mereka, menatap tajam Angela. "Tolong buatkan Angela jamu yang biasa. Biar dia cepat sembuh."
"Jamu?" tanya Angela heran, memandang Bik Noni yang mengangguk bersemangat menerima perintah Valdy. "Nggak usah. Rebahan sebentar aja cukup kok."
"Kamarnya sudah saya siapkan, Tuan Valdy."
"Baik. Nanti hubungi langsung ke kamar Angela jika jamunya sudah siap, Bik."
"Baik, Tuan." Bik Noni berpaling pada Angela. "Nona Angela nanti diantar Tuan Valdy ke kamar ya."
"Bik! Sama bibik aja!" Angela menjeritkan protes.
"Maaf, Bik. Dia lagi ngambek sama saya. Nanti juga saya bereskan." Valdy memamerkan seringai khasnya yang membuat Angela tanpa sadar mundur satu langkah dengan gentar. "Ayo, Sayang."
"Aku…"
Dengan Bik Noni yang masih mengawasi mereka dari jarak dekat, Angela tak bisa berbuat banyak saat Valdy mendekat ke arahnya, lalu dengan sigap meraih tubuhnya. Detik berikutnya Angela telah ada dalam gendongan ala pengantin yang membuatnya meringis ngeri akibat tubuhnya yang menempel pada tubuh Valdy. Lelaki itu mendekatkan wajahnya, dan Angela tak bisa menghindar, akan terlalu aneh jika dilihat orang mengingat status mereka sebagai tunangan. Valdy berbisik di telinganya.
"Your arms…"
EH??
"Your arms!"
***