Suasana lapangan basket ramai saat Angela dan teman sekelasnya berlarian mendekat untuk melihat apa yang terjadi. Roni berkali-kali menarik tangannya, meminta agar mereka berdua tak mengacuhkan siapa dan apa yang terjadi di lapangan. Namun Angela menolak, sebagian besar karena rasa penasarannya untuk melihat siapa siswi bernyali luar biasa tanpa urat malu yang kini jadi tontonan nyaris semua warga sekolah.
Para penonton membentuk lingkaran lebar, sibuk berkasak-kusuk dan merekam dengan ponsel situasi terkini. Angela melirik cepat ke beberapa anggota ekskul Jurnalistik yang dihapalnya, melihat mereka dengan serius merekam dari beberapa sudut. Saat ia dan teman sekelasnya mendekat, terutama saat semua mata menemukan sosok Roni, kerumunan menyebar seolah memberi jalan bagi mereka untuk masuk ke panggung drama di tengah lapangan.
"La, ini nggak penting sama sekali!" Roni mengertakkan gigi, menarik tangan Angela agar mengikutinya pergi.
"At least, kamu bisa menolak dia baik-baik, Ron."
"Aku bahkan nggak kenal siapa orangnya!" Roni menyugar rambut dengan gusar.
"INI DIA RONI!"
Pekikan ramai terdengar memanggil nama Roni, yang mengumpat keras-keras. Angela merasakan kedua lengannya dipegang, dan melihat Nikki serta Elena berdiri rapat di sampingnya, terlihat sama gusarnya dengan Roni.
"Ayo, Kak Roniiiiii…."
"Kasian banget Luna, Kak…."
"Kasih dia kesempatan, Kak!"
"Isshh… Kenapa sih cewek-cewek kelas 10 sekarang halu luar biasa? Jijik banget gue!" Nikki bergidik dengan muak. "Nggak tahu malu!"
"Banget!" Elena berseru geram. "Apa lo liat-liat?" Ia membentak satu siswi kelas 10 yang berdiri tak jauh dan berani-berani menatap mata mereka. "Kasih tahu temen lo itu biar nggak kebanyakan drama!"
"Kak Roniiii…"
"Udah, Ron. Selesaiin aja udah! Biar cepet kelar! Sebelum guru-guru datang! Nanti kita semua bisa kena detensi!" Alvi mendorong punggung Roni maju ke tengah lapangan.
"Brengsek! Ini nggak penting banget buat gue!" Roni menepis tangan Alvi dari punggungnya. "La? Pergi aja sekarang…"
"Kak Roni tega banget…"
"Ron, bener kata Alvi." Angela berjinjit untuk berbisik di telinganya. "Ngomongnya baik-baik." Angela menatap siswi yang berdiri di tengah lapangan sambil menangis menatap Roni, ingin sekali melayangkan satu tamparan untuk kekurangajarannya. "Dia juga punya perasaan." Angela mengatakannya sambil menekan kuat semua kemarahannya.
"Buruan, Ron. Tolak, terus lo pergi. Beres perkara!" Nikki berkata dengan muak.
"Kita semua dukung lo, Ron. Buruan! Udah mau bel!" Wawan merangkul bahunya dan mengajaknya maju ke tengah lapangan.
Roni memandang Angela selama beberapa detik, lalu menggerung gusar.
"Angela, jangan jauh-jauh. Jangan kemana-mana tanpa aku." Roni memandang Nikki dan Elena. "Nik, El. Jagain dia."
"Udah, aman kalo sama kita!" Elena mendorongnya maju.
Angela mengawasi dengan cemas dari jarak yang tak seberapa jauh. Siswi bernama Luna itu benar-benar kacau, menangis sesenggukan dan menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon pada Roni. Roni berdiri kaku, masih terlihat sama jengkelnya seperti sebelumnya.
"Kenapa Kak Roni jadian sama dia?" Luna memekik histeris, menimbulkan desah heran dari penonton, yang baru pertama kalinya menyaksikan adegan ala sinetron di sekolah secara live. "Udah berkali-kali Luna bilang sayang ke Kak Roni, kenapa nggak ngasih satu aja kesempatan buatku, Kak?"
"Karena gue memang sayang sama…"
"Kak Roni jahat! Nggak merhatiin aku sama sekali! Semua chat dan telponku nggak pernah dibalas! Tiap Kak Roni latihan aku selalu nungguin, tapi nggak pernah mau kalo kuajak bicara! Kak Roni jahat!"
"WOY!" Roni membentaknya, membuat semuanya terkesiap. "Lo itu terlalu posesif. Padahal gue bukan apa-apanya elo! Kita kenal aja enggak! Jangan seenaknya menuduh gue jahat!"
"Aku sayang sama Kak Roni! Tapi Kak Roni nggak peduli sama aku!"
"Gue nggak ada rasa sama lo!"
"Please, Kak. Putusin dia, please."
Seruan ramai terdengar di kerumunan, dan makian terlontar dari teman sekelas Angela yang berdiri di sekitarnya.
"Gila! Tuh cewek asli sakit jiwa!"
"Wan, beneran dia selalu nungguin kalian latihan basket?"
"Nggak ngeh gue. Yang biasanya nungguin lo pikir sebiji dua biji? Rame! Rombongan! Nggak sempat gue merhatiin!"
"Udah, Ron! Kelarin aja udah!"
Roni menoleh ke arah Angela yang tengah memandang Luna dengan nafsu siap membunuh. Angela muak sekali melihat gadis itu. Masih untung ia punya pengendalian diri. Jika saja si Luna itu berhadapan dengan Karina, bisa dipastikan Karina akan menghajarnya tanpa ampun, tak peduli skors atau surat peringatan ke orangtua. Luna akan dibantai habis-habisan.
"Siapa tadi nama lo?" tanya Roni dengan nada yang dipaksakan tenang. Seruan ramai dari arah penonton menyebut nama gadis itu. "Oh, Luna. Sorry gue lupa." Roni berdeham. "Permintaan lo itu nggak bisa gue kabulkan. Paham? Gue sudah punya pacar sekarang, dan nggak akan gue putusin cuma karena permintaan lo. Makasih banyak sudah perhatian sama gue selama ini." Luna menangis histeris di depannya, membuat Roni mundur dua langkah. "Lu, cowok bukan cuma gue. Lo bisa menemukan cowok yang tepat untuk lo. Nggak usah menangisi gue lagi. Sekali lagi, makasih banyak."
Roni berbalik pergi dan melangkah cepat ke arah Angela. Tiba-tiba Luna berlari ke arahnya dan memeluknya dari belakang. Seruan ramai menggelegar di seantero lapangan.
"WOW!"
"Buset dah!"
"Gilaaaaaa…."
"Heh! Lepas!" Roni berkutat melepaskan kedua lengan yang melingkar di pinggangnya. Angela dan beberapa teman lainnya maju untuk membantu melepaskan pelukan Luna. Saat akhirnya Roni terbebas dan berhasil menjauh, Luna yang masih menangis mencoba menerkam Angela yang ada di dekatnya namun beberapa orang keburu mencegah dan menjauhkannya.
"Sialan! Maniak lo!" Roni memakinya dengan murka, menarik Angela menjauh dalam pelukannya. Angela ingin sekali berlari menyerbu gadis itu lalu berguling-guling untuk menghajarnya di lantai lapangan basket yang berdebu, menjambaknya, lalu…
"Apa sih bagusnya dia ketimbang aku, Kak??"
Desahan kesal kembali menggema.
"Setidaknya gue nggak segila elo, nangis histeris di depan umum cuma gara-gara halu!" Angela berteriak padanya. "Jangan berani-berani ganggu cowok gue ya! Lain kali, masih aja lo bertingkah, lo bisa berhadapan sama gue! Satu lawan satu!"
"Wuihhh! Pertama kalinya ngeliat Angela segalak ini!"
"Apa kerasukan Karina kali?"
"Belajar dari Karina lebih bener kayaknya."
Angela mengabaikan komentar dari teman sekelasnya, menatap Luna dengan sorot menusuk dan benci.
"Kurang apa lagi lo?" sembur Angela. "Keluarin semuanya! Mumpung gue ada waktu meladeni kegilaan lo!"
"Lo cuma menjebak Kak Roni kan biar mau sama lo? Dia nggak mungkin memilih cewek seperti lo jadi pacarnya! Ini pasti gimmick doang kan?"
"Aduh, beneran halu, Bang!"
"Woy, temennya siapa nih? Dia cedera otak apa gimana?" Reza berseru ke kerumunan siswa kelas 10.
"Lo butuh bukti?" tantang Roni.
Angela hanya sempat kaget sedetik, sebelum bibir Roni mendarat di bibirnya, mengulumnya dengan ganas di depan mata ratusan siswa. Kedua lengannya membekap Angela erat, melingkari pinggang ramping gadis itu. Tepuk tangan ramai disertai sorakan menenggelamkan tangis histeris Luna. Angela hampir kehabisan napas, namun ia membalas ciuman Roni dengan penuh hasrat, seperti yang biasa dilihatnya di banyak drama korea favoritnya.
PRIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTTTTT
Suara tiupan peluit melenyapkan suasana hingar bingar di lapangan, membungkam semua sorakan dan tepuk tangan. Angela dan Roni melepaskan diri dan menoleh. Angela membelalak saat melihat sosok Valdy berjalan ke arah mereka dengan peluit di tangan. Ekspresinya dingin dan berbahaya, spontan mengingatkan Angela pada detensi. Perutnya yang dari tadi sudah bergelinjang, kini melilit lebih hebat.
Mampus, mampus sekarang!
"Kalian berdua, ikut saya!" Valdy berbicara dengan nada ketus yang terdengar mengerikan. Ia berpaling dengan angkuh setelah menatap mata Angela, lalu berbicara pada Luna yang masih menangis. "Kamu juga! Ke ruang guru. Sekarang!" Matanya menelusuri semua saksi mata di lapangan. "Kelas asal kalian bertiga, siap-siap menerima detensi massal!" Keluhan ramai terdengar memprotes keputusannya. "BUBAR SEKARANG!"
Senin drama yang berakhir bencana, Angela membatin ngeri.
***