"Aku nggak mau sekolah… Nggak mauuuu…"
"Hadapi saja, Angela!"
"Nggak mau, Val. Bilang aja aku sakit. Please!"
Valdy sudah kehabisan akal membujuk Angela yang menolak datang ke sekolah. Usai olahraga bareng kelas 10 IPS1, mendadak bermunculan banyak meme di grup chat Jenggala Pride. Semuanya tentang Angela, kebodohannya di jam olahraga, ketidakpantasannya bersanding dengan Roni, dan entah kenapa ujung-ujungnya membandingkannya dengan Karina yang sempurna. Angela tak suka hal semacam itu, membanting hancur harga dirinya dalam sekejap. Dan rasa insecure yang sudah lenyap seiring permusuhannya dengan Karina, kini menggelora kembali.
Ia tak kuat, sungguh.
Valdy melirik jam tangannya dengan gelisah. Masih jam setengah 7, namun hujan bisa menyebabkan takdir mereka berubah, apalagi jika jalur utama menuju sekolah sampai tergenang air. Angela di hadapannya masih memakai pakaian rumahan berupa gaun tidur selutut, walaupun jelas sekali terlihat gadis itu sudah siap berangkat sekolah, tinggal mengganti pakaian saja.
"La, kamu nggak boleh bolos hanya karena…"
"Aku malu, Val."
"La, kamu punya pacar kan? Dia selalu bersamamu kemana-mana dan tentu saja melindungimu. Kurang apa lagi?"
"Nanti dia malu jalan sama aku!"
"Sudah tanya langsung? Atau ini hanya rasa insecure-mu yang sudah kebablasan?"
"Val, please!"
"Enggak, La. Ayo, ganti bajumu. Aku tunggu disini."
"Nggak mau!"
Angela membelalak padanya, dibalas dengan tatapan menusuk dan ekspresi dingin di wajah Valdy yang tampan. Sedetik kemudian lelaki itu meraih tangannya lalu menariknya masuk ke dalam rumah.
"Sudah kubilang…"
"Dimana kamarmu?" bentak Valdy yang emosi. "Jangan bertingkah seperti balita, Angela! Kamu sudah 17 tahun! Grow up!"
Valdy celingukan di kaki tangga, lalu mencoba-coba naik ke lantai 2, masih menyeret Angela bersamanya. Dengan susah payah ia mengendalikan upaya Angela meloloskan diri. "Angela!"
"Val, please. Listen…"
"Ini baru jadian dengan Roni, seleb sekolah. Kebayang nggak kalau kamu pacaran sama artis beneran? Hah? Satu Nusantara menghujat kamu, La. Kamu tinggal pilih, kebawa omongan julid orang atau lanjut bersama orang yang kamu suka?"
Valdy menyeretnya menuju kamar dengan nama ANGELA terpajang di daun pintu. Saat ia melepas tangan gadis itu untuk membuka pintu, Angela bergerak ke arah tangga untuk kabur. Valdy dengan sigap menangkapnya, melingkarkan lengan di pinggangnya erat-erat.
"Kamu nggak akan pernah ngerti, Val!"
"Coba jelaskan kalau begitu, La. Dan cepat. Kamu nggak mau telat sampai sekolah kan?" Valdy menatapnya dalam-dalam.
"Kamu nggak akan ngerti gimana rasanya seumur hidup jadi bahan ejekan, ditekan dimana-mana, lalu sekarang dibully satu sekolah cuma karena jadian sama orang yang aku suka. Iya, aku insecure. Aku terlalu banyak diam dan mengalah seumur hidupku, nggak mau cari masalah, nurut-nurut aja saat didominasi oleh Karina. Bahkan saat dijodohkan denganmu, aku cuma bisa nurut kan?" Angela menundukkan kepala, mulai terisak. "Aku mencoba menghindari masalah, bersikap baik biar nggak memicu keributan, tapi aku capek. Lebih capek lagi seperti ini. Diserang rame-rame karena dianggap sama sekali nggak berharga."
Valdy menatap wajah di hadapannya tanpa berkata apa-apa, membiarkan Angela terus bicara.
"Bagi kamu mungkin aku judes, galak, tapi aku…" Angela mengusap pipinya. "Aku bahkan sulit banget menerima diriku sendiri. Nggak percaya diri. Nggak bisa akrab dengan siapa-siapa. Selalu merasa kurang. Semua hal positif dan kelebihan yang kupunya seperti nggak ada artinya, saat ada satu saja orang yang mengingatkanku bahwa aku nggak berharga, nggak pantas jadi milik siapa-siapa." Angela menghela napas dengan susah payah. "Ini nggak bisa hilang dari kepalaku."
Angela menunduk hingga kepalanya menyentuh dada Valdy, memejamkan mata saat merasakan sentuhan lelaki itu di bahunya. Ingin sekali rasanya kembali ke kamarnya dan menghadapi hari dengan bersembunyi di balik selimut sampai semua hujatan untuknya mereda dengan sendirinya.
"Angela. Yang jadi masalah disini adalah caramu berpikir. Pikiranmu terlalu ribet." Valdy mengusap punggungnya. "Kamu harus bisa fokus pada orang yang jelas menyayangimu. Kenapa harus memikirkan para pembencimu? Apa kontribusi mereka untuk hidupmu selain mulut nyinyir mereka? Kamu bahkan nggak kenal pada mereka kan? Jika kata-kata mereka mengganggumu, keluar dari grup sampah itu. Blok nomor-nomor yang sering mengganggumu. Ingat, itu hakmu, memilih untuk bahagia, bergaul dengan siapa yang membuatmu selalu ceria."
"Val, nggak segampang…"
"Apa kamu sudah melakukannya? Keluar dari grup? Berjuang untuk nggak membaca semua hujatan untukmu?" Valdy berkata tajam. Angela mendongak memandangnya, lalu menggeleng.
"Lakukan, mulai hari ini juga." Valdy melepaskan pelukannya di pinggang gadis itu. "Sekarang, ganti baju. Aku tunggu disini."
Angela melangkah gontai ke arah kamarnya. Saat ia menutup pintu, Valdy melihat air mata baru mengalir kembali di pipinya.
***
Benar-benar neraka yang sesungguhnya.
Sepanjang hari Angela hanya diam di kelas, menolak saat diajak ke kantin oleh Roni, atau jalan-jalan di taman dekat auditorium. Semua grup sudah ditinggalkannya, hanya menyisakan grup teman sekelas. Nomor-nomor asing yang menghujat langsung kena blok. Namun masih saja ada nomor asing yang nekat mampir mengirimkan kutukan atau makian. Blok dan blok sampai jempolnya kaku memencet layar ponselnya. Kepalanya jadi ikut sakit dan membuatnya ingin pulang saja secepatnya.
"Laaaaaa…" Angela membuka matanya saat mendengar suara Roni di dekatnya. "Jangan begini dong." Angela hanya menggeleng padanya. "Sore nanti kita jalan. Mau?"
"Ron, kamu detensi sampai sore." Angela menjawab sambil menelungkupkan kepala di atas meja. "Besok. Eh, besok aku detensi. Besok sore? Eh, minggu aja gimana?"
"Nanti malam aja."
"Hujan."
"Ada mobil, La." Roni ikut menelungkup di sebelahnya, memandangnya dari jarak yang sangat dekat. "Dari pagi manyun terus." Roni mencubit pipinya dengan gemas. Angela menangkap tangannya dan menggenggamnya.
"Minggu ini suram banget. Pingin cepet-cepet minggu depan aja, siapa tahu lebih cerah." Angela berkata pelan.
"Ada aku masih manyun juga. Kamu butuh apa biar bisa senyum lagi?"
Angela menelusuri wajah tampan di hadapannya, memandang sepasang mata cokelat kelam Roni, hidung mancung dan alis tebalnya, lalu rambut ikalnya yang kecokelatan. Coba dia ikut audisi, pikir Angela, pasti langsung lolos jadi bintang FTV dengan wajah mirip blasterannya.
"Butuh ini." Angela membelai bibir Roni sambil tersenyum geli. "Tapi nanti. Ini masih di…"
"Nah, gitu dong." Roni tersenyum melihat pipi Angela yang merona dan senyum memikatnya. "Agresif begini yang kusuka darimu, La."
"Hei, nggak selamanya…"
"Sering-sering juga nggak apa-apa."
Angela tercengang mendengar kata-katanya, berubah gelagapan saat Roni meraih tangannya dan mengecupnya sekilas.
"Nanti kujemput jam 7."
"Ron, besok aku…"
"Makanya, happy dulu sebelum menerima hukuman besok. Jangan membantah, La."
Angela memicingkan matanya, mengingat kembali hukuman tak menyenangkan yang akan dijalaninya besok dan efeknya pascadetensi. Detensi pertama membuatnya muntah-muntah akibat kecoak terbang dan sarang tikus. Besok? Lebih dari sekadar itu, mengingat kondisi mengenaskan toilet di auditorium yang sempat diintipnya usai jam olahraga kemarin.
"Ron, kamu tahu dimana toko yang menjual…"
Angela meraih ponsel di tangan Roni, masuk ke browser dan mengetikkan kata kunci. Ia lalu menunjukkan gambar yang dicarinya pada Roni. Roni membelalak heran.
"Angela…ini…"
"Anterin nyari ini nanti ya! Please, demi kelangsungan hidupku setelah detensi besok."
Roni menepuk kepalanya, terlihat geli.
"Siap, Princess!"
***