***
Arunika POV on
Waktu berlalu dengan sangat cepat. Sudah empat bulan sejak kedatanganku ke istana ini. Padahal rasanya baru kemarin aku tiba di Istana Alba dengan rasa khawatir, tapi ternyata aku cukup lihai beradaptasi di sini sebagai putri dan permaisuri.
Melewati selasar istana yang bercahaya di segala sisi dan diperlakukan sebagai seorang putri menjadi rutinitas yang masih canggung bagiku.
Setelah memberi makan bagi kawanan burung yang berkumpul di kawasan tengah istana, aku pergi ke perpustakaan untuk belajar, ditemani oleh Gray dan Eni yang selalu setia mengikuti. Sedangkan Yera, dia yang mengajariku untuk semua etika istana dan tugas. Makanya sekarang dia tak bersamaku, melainkan berada di perpustakaan untuk mempersiapkan pembelajaran.
"Selamat pagi, Yang Mulia! Semoga anda selalu diberikan kasih sayang dan keberkahan oleh Dewa dan Dewi."
"Semoga kalian juga. Semangat bekerjanya!" ujarku diiringi senyuman. Para pelayan di sini sudah akrab denganku dan mereka selalu menyapa saat bertemu.
Omong-omong tentang keakraban, aku jadi mengingat sikapku beberapa bulan lalu. Sebenarnya saat memutuskan untuk menikah dengan pria tertampan di Mahaphraya, aku sangat khawatir dan takut. Namun, aku tak pernah membicarakannya pada siapapun. Aku khawatir keluargaku akan dalam bahaya. Dan takut kalau aku tidak bisa bertahan lama di lingkungan istana atau kehidupanku tak akan bahagia.
Namun, kekhawatiran itu perlahan sirna. Apalagi suami tampanku selalu berusaha untuk ada di sisiku saat dibutuhkan. Dan sejak ada kehidupan baru di dalam tubuh ini... rasanya aku harus lebih bersyukur setiap waktu pada Dewa dan Dewi. Aku juga harus belajar lebih giat agar bisa melindungi calon anak kami.
Tujuh bulan lagi... aku berharap jabang bayi yang belum terbentuk ini akan hadir dengan sehat dan kuat di antara kami.
Aku menghentikan langkah secara tiba-tiba saat penglihatanku kembali berkunang-kunang. Lagi-lagi ini terjadi sejak satu bulan terakhir....
"Yang Mulia!"
"Aku tidak apa-apa," ujarku menahan Gray yang hendak membopong.
"Tapi, Yang Mulia...."
"Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing." Aku mengedipkan mata berkali-kali, kemudian menegakkan tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju perpustakaan.
Tabib bilang kalau tekanan darahku lebih rendah daripada biasanya. Dan dia juga sudah memberikan obat untuk itu. Porsi makanku pun lebih diperhatikan lagi. Tapi, kenapa rasa pusing itu masih sering terjadi? Tidak akan terjadi sesuatu yang buruk, kan...?
Terlalu banyak berpikir membuatku tak sadar kalau kami sudah tiba di depan pintu perpustakaan. Eni membuka pintu perpustakaan dan mempersilakan untuk masuk ke dalamnya. Sebelum itu, aku sempat melirik Gray yang ternyata terus siaga.
"Selamat pagi dan selamat datang, Yang Mulia," sapa Yera menundukkan tubuhnya. Beberapa buku sudah disiapkan Yera di meja belajar yang mengarah langsung ke jendela taman.
"Pagi juga, Yera." Aku menarik kursi dan duduk di sana. "Kali ini apa yang akan kita pelajari?"
"Hari ini kita akan belajar tugas-tugas sebagai seorang putri dan permaisuri, Yang Mulia."
"Lagi...?" Pelajaran itu terus diulang sampai rasanya aku sudah menghapal apa yang akan Yera katakan.
Yera mengangguk. Dia mengambil buku bersampul cokelat dan meletakkannya di mejaku. "Ini edisi yang berbeda, Yang Mulia. Tugasnya lebih kompleks dan bersifat kompetitif. Tapi, sebelum itu... saya ingin anda mempraktekan beberapa etika minum teh terlebih dahulu."
Menegakkan diri dan tersenyum lebar. "Aku percaya diri dengan yang satu ini."
Mempunyai ibu yang berasal dari Caledonia dan sangat mencintai teh membuatku mahir dalam hal itu. Walaupun ternyata ada beberapa perbedaan etika Caledonia yang biasa kuterapkan dengan etika Mahaphraya.
Beberapa pelayan masuk ke ruang perpustakaan sambil membawa teko teh dan cangkir.
"Teh yang satu ini tidak terlalu kuat aromanya karena Yang Mulia sedang mengandung," ujar Yera sambil menuangkan cairan cokelat yang hampir bening itu ke dalam cangkir.
"Aku melihatnya." Teh yang biasa kuminum berwarna cokelat pekat dan bahkan hampir berwarna gelap.
"Silakan, Yang Mulia." Yera memberikan cangkirnya padaku. Dan tangan ini menerima dengan mudah.
Memutar cangkir, mendekatkannya ke hidung, menghirup aromanya pelan-pelan sebelum diminum, dan menyesapnya dengan perlahan tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
Ting!
Ditutup dengan cangkir yang diletakkan ke piring kecil dengan bunyi yang sedikit nyaring.
"Sempurna!" puji Yera sambil tersenyum. Hal itu membuatku tersenyum juga. Sudah kukatakan kalau aku berbakat dalam hal ini karena setiap sore keluargaku selalu meminum teh bersama-sama.
Memikirkan hal itu, aku jadi merindukan ibu yang mengoleksi semua jenis teh dan meminumnya. Melati, Chamomile, Jahe, Anggur, Kayu Manis, uhh... aku merindukan rasa teh buatan ibu.
"Ada apa, Yang Mulia?" Gray selalu menyadari lebih dulu. Dayangku yang satu itu kelewat peka dengan keadaan sekitar.
"Hanya teringat ibu... Tiba-tiba aku merindukan rasa teh buatannya," ujarku sambil terkekeh kecil. Aku buru-buru mengambil buku cokelat yang Yera berikan. Tidak mau membuat Gray, Eni, ataupun Yera ikut merasakan kerinduanku pada ibu.
Aku tersenyum kecil. "Agendanya membaca buku ini dulu, kan?" Karena seperti biasa... Yera selalu memberikan buku untuk dibaca terlebih dahulu, kemudian dia akan menjelaskan apa yang belum kumengerti.
"Ya, Yang Mulia. Hari ini saya akan menjelaskan dan Yang Mulia harus membuat agenda yang dikerjakan secara nyata."
"Secara nyata? Berarti sebentar lagi tugasku akan dimulai di masyarakat. Benar, kan?"
"Benar, Yang Mulia. Satu bulan lagi anda diagendakan untuk terjun ke lapangan," ujar Yera mengambil cangkir teh yang tadi kuletakkan di atas meja dan menyerahkannya pada pelayan untuk dibawa kembali.
Satu bulan lagi... itu waktu yang sebentar untuk menyempurnakan keahlian dalam tugas.
Semangatku tersulut dengan cepat. Aku mulai membuka buku dan membacanya secara perlahan. Keheningan terjadi di dalam perpustakaan dalam waktu yang cukup lama.
***
"Karena tugas kali ini bersifat kompetitif, anda akan mengalami beberapa kemungkinan seperti lebih banyak atau sedikit rakyat yang menyukai anda daripada putri mahkota. Hal itu tergantung dengan kemampuan anda dalam bertugas dan membantu secara langsung."
"Bisa gawat jika rakyat lebih menyukaiku daripada ratu masa depan."
"Benar, Yang Mulia. Dan untuk menghindari hal itu... seorang putri atau permaisuri diberi tugas yang lebih sedikit. Walaupun sedikit, tapi anda diharuskan untuk membantu mengurangi kemiskinan atau melakukan suatu kemajuan di kerajaan ini."
"Anggarannya memakai uang istana atau pribadi?" tanyaku sambil mencatat.
Yera membalikkan halaman buku. "Tertera dalam peraturan istana, jika permaisuri diberi anggaran secara pribadi dan untuk agenda tugas."
Tunggu... Aku kan jarang memakai anggaran pribadi karena tak tahu harus digunakan untuk apa.
"Anggaran pribadiku diberikan setiap bulan, kan?"
"Ya, Yang Mulia. Semua anggota keluarga kerajaan memiliki anggaran pribadi untuk digunakan setiap bulannya."
"Aku ingin agar tiga per empat anggaran pribadiku digunakan untuk agenda tugas."
"Yang Mulia... itu terlalu banyak!" ujar Gray menyela. Dia memang sedikit membantu Keflo dan Yera dalam mengatur keuangan Istana Alba.
"Yah... aku juga bingung mau menggunakannya untuk apa. Daripada menumpuk tidak jelas, lebih baik digunakan untuk kebaikan kerajaan, kan?" tanyaku sambil menoleh padanya. Toh, aku bukan orang yang boros. "Bagaimana Yera?" Aku menoleh padanya.
Dia terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Saya akan membicarakan hal ini dengan kepala pengurus istana, Yang Mulia."
"Laporkan hasilnya padaku kapanpun itu. Apa waktu istirahatnya masih lama?" Haha... aku menantikan hal ini sejak tadi karena menyadari sinar matahari sudah tak masuk lewat jendela.
Yera menoleh ke jendela. Dia berbalik dan menutup buku. "Ini sudah waktunya, Yang Mulia."
Aku berdiri dan berpindah tempat duduk ke sofa yang lebih empuk. Rasanya bokongku terasa pegal karena duduk di kursi kayu selama berjam-jam.
Beberapa menit kemudian, para pelayan kembali masuk dan membawakan camilan serta cairan yang harus aku minum.
"Saatnya untuk meminum obat herbal, Yang Mulia."
Ada gejolak hebat di lambungku saat mendengar obat herbal. Obat herbal, obat herbal... bagiku itu racun karena rasanya kelewat pahit.
"Baiklah," ujarku pasrah. Aku menerima semangkuk obat berwarna hitam pekat dengan bau yang sangat menyengat.
Ugh... ini sesuatu menyebalkan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku menutup hidung dan menelannya dalam sekali teguk. Eni memberikan kue padaku dengan terburu-buru.
"Masih sama pahitnya...!" Aku mengeluarkan lidah yang terasa pahit luar biasa.
"Untuk kesehatan anda dan jabang bayi juga, Yang Mulia," ujar Gray sambil tersenyum.
"Iya...."
Tok tok, cklek!
Kami menoleh dan mendapatkan suami tampanku membuka pintu. Aku berdiri dan tersenyum menyambutnya. Dia berjalan ke arahku dengan raut wajah yang sama.
Para pelayan yang mengantarkan makanan segera keluar, sedangkan para dayang mundur sampai menyentuh dinding.
Dia mendekat padaku dan memeluk.
"Jangan cium di bibir!" larangku menahan kepalanya yang telah bersiap untuk maju.
"Kenapa?" Dia merengut kecewa.
"Pahit! Aku habis minum obat herbal."
"Aku mengerti." Dia menyerbu wajahku dengan ciuman-ciuman manis. Aku...? Tentu menikmati ciumannya dengan memejamkan mata.
Cup!
"Ah!" Mataku terbuka lebar. "Kan sudah dibilang jangan di bibir!"
"Itu penutup spesialnya, Istriku." Gasendra mengelus perutku yang masih rata. Dia menurunkan tubuh dan menciumnya. Membuatku merasa lebih berbunga-bunga.
"Apa yang sedang dia lakukan di dalam sini?"
"Sedang protes karena obatnya terlalu pahit, Ayah."
"Bukannya itu kau?" Gasendra mendongak sambil tersenyum lebar.
Aku merengut. "Sama saja. Dia juga mendapatkannya."
Gasendra tertawa. Dia mengecup perutku lagi dan berkata, "Cepatlah tumbuh dengan sehat, Anakku."
"Dia pasti akan tumbuh dengan sehat. Karena kau ayahnya...." Aku mengusap kepala Gasendra. Dia tersenyum dan berdiri.
"Aku pergi dulu," ujarnya mencium kedua pipiku. "Sampai jumpa lagi nanti malam!" Dia mengusap kepalaku dan berbalik pergi.
Aku mengikuti pergerakannya sampai dia menutup pintu.
"Ada apa, Yang Mulia?"
Aku menoleh pada Gray dan menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa," jawabku.
Sekali lagi aku menatap pintu perpustakaan sebelum mengambil camilan.
Ada yang aneh.... Biasanya Yang Mulia selalu memberitahu hendak kemana tujuannya.
Arunika POV end
***
"Yang Mulia!"
Gasendra yang tengah memasuki ruang kerjanya, melirik ke ruang tunggu.
"Kau sudah di sini," ujar Gasendra berjalan ke arahnya. Dia duduk di kursi yang biasa digunakan untuk para tamu di ruang kerja. "Kali ini apa lagi yang kau inginkan?"
"Kenapa Yang Mulia bertanya seperti itu? Seakan-akan saya datang hanya karena ada yang diinginkan saja."
Gasendra menopang kepala tanpa menatap wanita di hadapannya, seolah-olah enggan untuk meladeni.
'Memang biasanya begitu, kan?' batinnya.
"Sebelum itu... ada yang mau saya tanyakan. Apa benar wanita yang anda cintai sedang mengandung?" Dia menelan saliva, menahan rasa nyeri di hati.
"Ya, dia sedang mengandung." Gasendra menoleh padanya dengan mengernyitkan dahi. "Apa yang kau mau? Jangan bertele-tele!"
Wanita itu meremas tangannya. "Sepertinya kali ini saya memang ingin meminta sesuatu dari Yang Mulia."
Gasendra mendecih kasar. "Katakan."
"Saya ingin tidur dengan anda."
———