***
Seperti biasa, saat anggota keluarga kerajaan berjalan sendirian di lorong istana yang panjang, pasti ada saja lebah-lebah pengganggu yang menempel pada mereka. Entah itu untuk membicarakan pekerjaan, pura-pura kenal, atau hanya menjilat.
Gasendra sudah sangat terbiasa dengan hal-hal itu sehingga dia menanggapinya dengan santai sampai ke depan ruang kerja Jahankara.
"Semoga pekerjaan anda lancar, Yang Mulia."
"Dan kau juga, Tuan." Gasendra tersenyum kecil, lalu meminta prajurit penjaga untuk memberitahukan kedatangannya.
"Masuk." Suara Jahankara terdengar dari dalam. Sepertinya raja sedang tidak ada pertemuan dengan orang lain sehingga Gasendra tidak perlu menunggu terlalu lama.
Saat memasuki ruangan, Gasendra disambut dengan tumpukan kertas yang menutupi keberadaan ayahnya.
"Huh?" Dia menghampiri meja kerja Jahankara dan bertanya, "Kenapa berkas laporannya banyak sekali?"
"Memangnya berkas laporan untuk raja pernah menyusut?" tanya Jahankara dengan sinis. Dia membaca laporan sambil menandatanganinya.
Gasendra menoleh pada sang sekretaris yang berada tak jauh dari meja ayahnya. "Kau sudah menyeleksi laporannya, Ger?"
"Sudah saya seleksi semua, Yang Mulia. Berkas laporan lebih banyak datang dari para bangsawan, jadi berkas-berkas itu menumpuk karena Yang Mulia Raja malas untuk menandatanganinya."
"Apa benar begitu?" tanya Gasendra, menoleh pada ayahnya.
Jahankara menggerutu dengan gumaman kecil. Berkas laporan para bangsawan hanya membuatnya semakin sibuk saja karena isi yang membuat alis mengerut. Entah itu meminta bantuan pada istana atau meminta izin membuat acara.
"Daripada itu, kau membawa berkas apa di tanganmu?"
"Oh, ini... laporan kenaikan pangkat dan penghargaan untuk ksatria yang meredakan pemberontakan di Urdapalay. Waktu saya menitipkan laporan, saya juga mengirim surat untuk melakukan prosesinya tanpa kehadiran saya dan Balges. Apa Yang Mulia jadi menundanya?" Gasendra duduk di salah satu rentetan kursi empuk yang selalu tersedia di dalam sana.
Tangan Jahankara tetap sibuk, tapi lidahnya selalu lancar untuk menjawab.
"Putra mahkota dan ketua pasukan kstaria saja belum kembali. Bagaimana bisa aku mengizinkan prosesi itu?"
"Hah... tetap saja, kami kan tidak terlalu membutuhkannya," elak Gasendra.
"Ger, bawa laporan ini. Jangan lupa diperiksa lagi," perintah Jahankara pada sekretarisnya. "Tinta penaku hampir habis."
"Baik, Yang Mulia." Ger berjalan menuju meja Jahankara dan mengisi tinta penanya, kemudian kembali ke meja kerja dengan membawa dua setumpuk berkas yang membumbung tinggi.
"Jadi, kapan kau mau melakukan prosesinya? Aku harap jangan terlalu cepat atau lama."
"Sayangnya saya sudah merencanakan besok."
"Besok? Terlalu cepat. Bagaimana kalau tiga hari lagi? Itu waktu yang cukup untuk mempersiapkan prosesi."
"Tidak, tidak. Saya harus menyelesaikannya secepat mungkin. Ini sudah tertunda satu bulan lebih semenjak selesainya pemberontakan."
"Acara prosesi tak boleh main-main. Karena tugas yang mereka kerjakan saat pemberontakan juga tak main-main."
"Jangan khawatir. Pelayan di istana itu sangat banyak, lebih dari pelayan di rumah Arunika. Pasti mereka bisa lebih cepat menyelesaikannya." Gasendra berjalan menuju meja Jahankara. Dia meletakkan berkas laporannya di atas sana. "Tolong tanda tangani ini, Yang Mulia."
Jahankara menatap berkas itu. Dia menghela napas, kemudian mengambilnya untuk ditanda tangani.
"Ubah kebiasaan terburu-burumu. Ada banyak orang yang akan kesulitan karena kebiasaanmu itu," pinta Jahankara. Dia menyerahkan berkas laporannya pada Ger untuk dibawa ke dewan istana.
"Secepatnya, Ger!" seru Gasendra untuk Ger yang berlari keluar dari ruangan.
"...Kau sudah bertemu dengan Putri Agni?" tanya Jahankara.
"Sudah, baru saja."
"Bersikap dingin lagi, ya?" gumam Jahankara saat melihat raut wajah putranya yang berubah masam.
"Apa Eros sudah diberi liburan?" tanya Gasendra. Nenek itu memiliki andil yang cukup besar dalam pemberontakan di Urdapalay. Namun, dia baru mengingat permintaan Eros saat kembali ke istana.
"Yang benar saja.... Saat kembali pun, dia langsung datang padaku dan meminta liburan. Mungkin sekarang dia sedang berkeliling mencari inovasi untuk mantra baru," jelas Jahankara, seperti orang yang sedang menggerutu.
Gasendra tertawa kecil. "Haha, orang itu masih tidak berubah juga."
"Walaupun begitu... dia penyihir yang paling berbakat di dunia ini."
"Tentang berkas laporan anda... apa ada yang bisa saya bantu?"
Jahankara menghentikan tangannya. Dia mendongak, melihat putranya. Tumben sekali dia peduli dengan tumpukan laporannya.
"Tidak usah, nanti kau malah jadi lembur."
"Siapa juga yang mau lembur? Saya hanya ingin membantu anda."
Jahankara mengangguk. Dia kembali melakukan pekerjaannya.
"Terserah kau saja."
"Saya akan kembali lagi nanti untuk mengambil berkasnya. Kalau begitu, saya izin undur diri, Yang Mulia. Saya mau memberitahukan hal ini dulu pada Balges."
"Ya, silakan."
Gasendra menundukkan kepala, kemudian berlalu dari ruang kerja Jahankara.
"Dia mulai berubah," gumam Jahankara sambil tersenyum kecil.
***
"Balges Ivan!" panggil Gasendra dari jauh saat melihat pria itu berjalan santai di area istana dengan wajah datarnya.
"Yang Mulia? Semoga anda selalu diberikan berkah dan--"
"Sudahlah, seperti sama siapa saja," potong Gasendra.
"--Kasih sayang oleh para dewa dan dewi," lanjut Balges menyelesaikan salamnya. "Ada apa, Yang Mulia?"
"Beri tahu para kstaria dan penyihir yang menumpas pemberontakan di Urdapalay, besok kita akan melakukan prosesi kenaikan pangkat dan penghargaan."
"Besok?" kaget Balges. Waktunya terlalu cepat untuk mempersiapkan prosesi. Dia menebak, kalau ini pasti rencana Gasendra lagi. "Baik, Yang Mulia."
"Kau mau ke mana tadi?"
"Saya mau ke arena berpedang. Tubuh saya gatal karena sudah terlalu lama tidak latihan," jawabnya sambil memegang tengkuk. Semua orang tahu kalau Balges dan Gasendra adalah maniak berpedang, lebih-lebih Balges yang akan merasa gatal-gatal jika terlalu lama tak latihan. "Tapi, sepertinya saya harus menunda lagi latihannya. Tentu saja saya harus memberitahukan rencana prosesi pada ksatria dan penyihir."
Gasendra mengangguk menyetujui. "Saat matahari sudah terbenam, mau latihan bersama?"
"Tentu saja mau, Yang Mulia. Saya menjadi lebih bersemangat untuk mengalahkan anda."
"Kau tahu sulit bagiku untuk mengalah jika itu urusan berpedang."
"Oh, ayolah... setidaknya biarkan pertarungan kita menjadi seri, Yang Mulia."
"Akan kulihat usahamu untuk mengalahkanku nanti."
"Baiklah, baiklah.... Saya mau menyampaikan pesan anda dulu. Mungkin sembari menunggu anda menyelesaikan pekerjaan, saya akan latihan sendiri di arena."
"Aku tidak berminat untuk melawan orang yang kelelahan."
"Tenang saja, Yang Mulia. Tubuh saya sangat kuat untuk latihan sepanjang hari," balas Balges. "Kalau begitu saja pergi dulu." Dia menunduk hormat. "Semoga anda selalu diberikan berkah dan kasih sayang oleh para dewa dan dewi."
"Ya, kau juga, Balges." Gasendra menepuk pundaknya, kemudian kembali ke ruang kerja Jahankara.
***
Di sisi lain, Istana Alba
Arunika duduk di ranjang dengan mata sembab. Dia menoleh ke jendela yang terbuka. Sinar matahari sudah tidak seterik tadi. Sudah berapa lama dia tertidur?
"Yang Mulia Permaisuri."
Arunika menoleh dan mendapatkan Yera berdiri tak jauh dari ranjangnya.
"Oh, Yera... kau berdiri sejak tadi?"
"Iya, Yang Mulia."
"Padahal di dekatmu ada kursi. Bukannya duduk saja."
"Tidak apa, Yang Mulia."
Arunika hanya mengangguk pelan. Semua orang yang melayaninya selalu menjawab seperti itu.
"Sudah berapa lama aku tertidur?"
"Sejak putra mahkota keluar dari kamar, kira-kira sudah tiga jam lebih, Yang Mulia."
"Oh, ya ampun... itu tidur siang yang paling lama." Arunika turun dari ranjang. Dia menggerakkan tubuhnya yang cukup kaku karena terlalu lama tidur.
"Apa Yang Mulia ingin mandi sore?" tanya Yera.
"Ya, aku mau. Kau jadi membawaku berkeliling istana, kan?"
"Tentu, Yang Mulia. Saya akan memerintahkan pelayan untuk menyiapkan air mandi untuk anda."
"Oh, di mana Gray dan Eni?"
"...Mungkin mereka masih di kamarnya," jawab Yera ragu. Dia juga tidak tahu karena sejak tadi berada di kamar permaisuri, tanpa berpindah sedikitpun.
Suara pintu diketuk, membuat Arunika dan Yera menoleh.
"Ini Gray dan Eni, Yang Mulia. Apa kami boleh masuk?"
"Ya, masuk saja!" seru Arunika dengan sedikit berteriak. Pintu terbuka dan menampakkan Gray dan Eni dengan wajah dan penampilan yang segar.
"Sudah beristirahat?" tanya Arunika dengan tersenyum.
"Sudah, Yang Mulia."
"Sudah sangat cukup untuk kami beristirahat."
Eni menghampiri Arunika. Dia mengikat rambut panjang Arunika agar tidak basah saat mandi. Sementara Gray menghampiri Yera untuk memberitahu sesuatu.
"Yera, saya sudah menyiapkan air untuk permaisuri," ujar Gray padanya. Yera mengangguk, baru saja dia ingin memerintahkan pelayan untuk mempersiapkannya.
"Kalau begitu, mari Yang Mulia." Yera mengajak Arunika menuju tempat pemandian. Gray dan pelayan lainnya juga mengikuti Arunika untuk membantunya mandi.
Sementara Eni, dia tetap di kamar dan sudah sibuk untuk menyiapkan pakaian dan perhiasan yang akan dikenakan oleh permaisuri kala sore itu.
———