Chereads / The Eternal Love : Raja Chandra / Chapter 49 - It Looks Like a Busy Night

Chapter 49 - It Looks Like a Busy Night

***

Eni terdiam untuk sesaat. Matanya berkedip-kedip untuk menyadarkan diri dari kenyataan. Dia tahu Arunika memang murah hati, tapi dia tak pernah menyangka akan diberikan izin pribadi atas penggunaan aset istana.

Eni menunduk, melihat tangannya yang digenggam Arunika. Dia kemudian mendongak, menatap lekat permaisuri dengan penuh haru.

"Sebuah kehormatan besar bagi saya, Yang Mulia." Eni berbalik menggenggam tangan Arunika. Dia meminta izin untuk mengecup punggung tangan sang permaisuri. Karena pada dasarnya mengecup tangan tidak hanya dilakukan oleh pria saja, tapi wanita juga bisa.

Bagi seorang pria artinya dia menghormati wanita itu, sedangkan bagi wanita artinya dia menganggap orang tersebut spesial sekaligus mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada orang tersebut.

"Ya," ujar Arunika memberikan tangannya.

Dikecupnya punggung tangan itu dengan tulus. "Terima kasih banyak, Yang Mulia. Terima kasih...."

"Jangan menangis, Eni." Arunika tersenyum kecil, kemudian membawa dayang yang lebih muda daripadanya ke dalam pelukan.

"Tidak, Yang Mulia. Saya tidak menangis. Bagaimana bisa saya menangis jika diberi kehormatan besar seperti ini...?" timpal Eni sambil mendekapnya. Beberapa kali dia berkedip agar air matanya tak jatuh.

Berbeda dengan Gray yang menatap keduanya seolah sudah terbiasa. Yera menatap kedua orang itu dengan ekspresi datar menyembunyikan keterkejutannya. Ada sisi di mana hatinya terenyuh saat melihat pemandangan hangat itu, bersyukur mendapatkan majikan yang rendah hati.

Namun, di sisi lain dia jadi sedikit penasaran. Apakah permaisuri memiliki sedikit saja kejahatan di hatinya? Karena hidup di istana tanpa kejahatan, sama saja seperti menyerahkan tubuh ke kandang macan yang kelaparan.

Arunika melepas pelukannya. "Aku mempercayakan arena pacu ini padamu."

"Saya tidak akan mengecewakan kepercayaan yang telah anda berikan," ujar Eni dengan sungguh-sungguh. Dia kembali mengecup singkat tangan Arunika, kemudian tersenyum.

Arunika tersenyum simpul membalasnya. Dia tahu dan percaya sepenuhnya jika Eni akan melakukan tugasnya dengan baik.

"Sepertinya kita harus kembali karena matahari hampir terbenam."

Mereka mengangguk, lalu memberikan jalan bagi Arunika untuk lewat terlebih dahulu.

Ini hari yang indah dan penuh haru. Alba dan Mahaphraya menantikan musim semi dari kebaikan hati sang permaisuri itu.

***

Larut malam, ruang kerja Jahankara, Istana Gading

Gasendra menghela napas panjang saat selesai menulis dokumen terakhir. Dia meletakkan dokumen itu di atas tumpukan, kemudian meregangkan tubuhnya.

Gasendra melirik dua pria yang masih sibuk di depan sana. Yang satu sibuk membaca dan menandatangani, sementara yang lainnya sibuk menyeleksi dokumen. Netra Gasendra melirik setumpuk dokumen yang telah dia tulis.

'Yah, tidak apa-apa kan untuk pergi sekarang?' Dia mengetuk meja dengan jari, mempertimbangkan keputusannya.

'Lagipula aku sudah bilang tidak mau lembur, hanya membantu saja.'

Keputusan Gasendra sudah bulat. Dia berdiri dan membawa tumpukan dokumen menuju meja Ger.

"Harus kuletakkan di mana?" tanya Gasendra kebingungan karena meja Ger sudah terisi penuh dengan dokumen.

Pria berkumis tipis itu mendongak dan menghela napas panjang. Kelelahan terpampang jelas di wajahnya. Dia terus bekerja sepanjang hari, tapi pekerjaannya tak pernah berkurang sedikitpun. Yang ada malah bertambah terus setiap jamnya.

"Biar saya saja, Yang Mulia." Dia berdiri dan mengambil tumpukan dokumen dari tangan Gasendra, kemudian berjalan ke belakang di mana ada meja tambahan dengan bertumpuk-tumpuk dokumen. Meja itu terlihat cukup berantakan.

Ger kembali ke kursinya dan mengambil dokumen perluasan lahan daerah selatan untuk diperiksa.

"Sekali-kali ambillah cuti, Ger," ujar Gasendra saat melihat wajah lelah pria itu.

"Saya?" Ger menunjuk diri sambil membuka lebar-lebar matanya. "Bagaimana bisa saya mengambil cuti kalau Yang Mulia saja rajin bekerja?" tanya Ger pada Gasendra. Yang kalau diterjemahkan menjadi 'Saya tak bisa mengambil cuti karena raja saja tidak pernah cuti. Kalau bisa, sejak dulu pun saya sudah mengambilnya.'

"Turut berduka dengan hidupmu, Ger." Gasendra menepuk pundaknya sambil mengangguk-angguk dengan wajah prihatin. Gasendra tahu yang diinginkan Ger bukanlah rasa iba lagi, tapi aksi nyata untuk memberikannya liburan.

"Yang Mulia terus berkata seperti itu walaupun sudah tahu apa yang saya inginkan," sungut Ger sambil memutar pena emasnya.

"Kalau masalah itu, bicarakan saja dengan Yang Mulia. Aku yakin dia pasti mengizinkanmu. Mengingat tugas-tugas yang kau kerjakan selama ini sudah melebihi ekspetasinya," kata Gasendra memberi saran.

Ger menggeleng pelan. "Hidup saya penuh dengan profesionalitas. Atasan harus cuti dulu, baru bawahannya bisa cuti."

"Profesionalitas itu bagus, tapi di sisi lain juga sangat menyedihkan dan menyiksa. Aku akan membicarakannya dengan Ayah di lain waktu." Gasendra melihat jendela yang menampakkan langit malam. "Sepertinya Balges sudah menungguku."

"Tuan Ivan? Saya kira setelah menikah kali ini, anda akan menghabiskan waktu bersama putri. Ternyata Tuan Ivan masih tetap di hati?" canda Ger sambil terkekeh kecil. Mengingat kehidupan Gasendra tak pernah lepas dari Balges Ivan.

"Bisa saja kau, Ger. Aku hanya ingin latihan sekaligus mengurangi rasa gatal-gatal di tubuh Balges," celetuk Gasendra sambil terkekeh. 

Ger mengerutkan dahi sambil mendengus masam. "Bahkan sampai sekarang pun saya masih merasa aneh saat mendengar alasan rasa gatalnya akibat kurang latihan."

'Dasar para maniak berpedang!' cecar Ger dalam hati.

"Itu penyakitnya."

"Alangkah baiknya jika dia punya pasangan juga. Bukankah Tuan Ivan lebih tua daripada Yang Mulia?"

"Ya, aku juga berpikir hal yang sama. Entahlah... dia bilang ingin mencari pasangan, tapi aku tak melihat ketertarikannya untuk itu. Rasanya seperti bicara di mulut saja."

"Mungkin Tuan Ivan sudah tertarik pada seorang wanita, tapi wanita itu menolaknya...?" celetuk Ger sambil mengangkat pena. Ger juga gemas dengan putra Keluarga Ivan satu itu. Wajah, karir, sifat, dan hartanya sangat mendukung, tapi sayang sekali tak digunakan dengan baik untuk mencari pasangan.

Gasendra tersentak kecil. Dia meletakkan tangannya di dagu sambil berpikir. Itu mungkin saja terjadi, tapi kenapa dia tak pernah memikirkannya, ya?

"Yah... daripada itu, kenapa anda tidak pergi saja sekarang?" tanya Ger sambil tersenyum pahit dan melirik-lirik ke belakang Gasendra. Jahankara tengah menatap mereka dalam diam. Itu lebih menakutkan bagi Ger daripada ditegur secara langsung.

Gasendra menoleh sekilas dan tertawa kecil. "Baiklah, aku pergi sekarang." Dia berbalik, menghadap Jahankara dan menundukkan kepala.

"Jangan terlalu gila kerja. Saya pamit."

Setelah berpamitan, Gasendra melenggang menuju arena berpedang.

***

Gasendra berjalan di lorong istana yang cukup gelap. Istana Alba didesain mengikuti cahaya matahari dan bulan. Kalau cahayanya terang, maka seisi istana akan terang. Kalau cahayanya redup, maka seisi istana akan cukup gelap. Kegelapan itu biasanya hanya terjadi di malam hari saat cahaya bulan tak terlalu terang.

Tap tap tap tap

Gasendra melirik ke belakang saat mendengar suara tapak kaki selain dirinya.

'Siapa yang masih berkeliaran tengah malam begini?'

Tap tap tap tap tap

Gasendra menghentikan langkah dan memutar tubuhnya. Memasang tanda waspada pada keadaan sekitar.

"Yang Mulia!"

Gasendra menghela napas, menurunkan rasa waspada saat melihat Keflo yang ternyata muncul dari pertemuan lorong istana.

"Yang Mulia terkejut?"

"Sedikit."

"Jangan katakan itu dengan wajah tanpa ekspresi, Yang Mulia."

Gasendra merotasikan matanya. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanyanya sambil menghampiri Keflo. "Tanpa lampu minyak juga. Memangnya kau bisa melihat dengan jelas siapa yang datang ke istana?"

"Saya kira anda sudah mengetahui kemampuan Keluarga Raiya."

Seketika Gasendra terdiam. Kemampuan Keluarga Raiya yang sudah diketahui banyak orang. Mereka bisa melihat dengan jelas walaupun tak ada cahaya sama sekali. Katanya kemampuan itu didapatkan dari seorang peri hutan yang memberikan imbalan kepada leluhur Keluarga Raiya karena telah menolongnya di masa lalu. Kemudian, kemampuan itu diturunkan ke anak cucu keluarganya.

"Aku sedikit melupakannya."

Ger mengangguk. Lagipula hal itu tidak terlalu penting.

"Saya menunggu anda, Yang Mulia. Tadi sore permaisuri bilang kalau anda akan kembali saat malam. Jadi, saya menebak jika anda akan datang terlambat. Apa anda mau disiapkan air untuk mandi?"

Gasendra mengangguk, "Ya."

"Apa Yang Mulia sudah makan malam?"

"Aku melewatkannya. Tidak usah disiapkan."

"Baik, Yang Mulia. Sepertinya air untuk mandi sudah terisi penuh. Mari ikut dengan saya."

Gasendra mendengus sambil menyeringai kecil. "Ternyata kau sudah menyiapkannya sebelum aku datang."

"Orang tua ini sudah mengetahui kedatangan anda sejak keluar dari Istana Gading," kata Keflo sambil terkekeh.

Mereka menuju tempat pemandian di tengah malam yang dingin.

***

Gasendra membuka pintu dengan pelan-pelan agar Arunika tidak terbangun dari tidurnya karena ini sudah lewat tengah malam.

Dia memandang wanita yang tengah tertidur menghadap ke arah pintu.  Gasendra tersenyum, dia merasa jika kepulangannya ditunggu. Pria itu melangkah menuju ranjang tanpa suara.

Melepaskan sandal dan naik ke atas ranjang dengan hati-hati. Dia menyesuaikan diri dengan Arunika agar tidak membangunkannya, kemudian memeluk dari belakang secara perlahan.

"Hmm...."

Deg! Gasendra refleks menahan napasnya.

"Gasendra?"

"Ya?"

Semudah itukah Arunika terbangun? Hanya karena tangannya diletakkan di atas pinggang saja. Arunika berbalik, memeluknya dan mengubur wajah di dada Gasendra.

"Kau baru kembali?" tanya Arunika dengan suara samar.

Gasendra merasakan geli saat rambut Arunika terus bergesekan dengan dadanya yang hanya tertutup kain tipis.

"Iya, aku baru kembali."

"Pekerjaannya sudah selesai?"

Gasendra terkekeh kecil. Dia mengusap rambut Arunika. "Belum, masih banyak."

"Jangan lupa istirahat."

"Sekarang pun aku sedang beristirahat."

"Apa yang kau lakukan besok?"

"Ada prosesi kenaikan jabatan dan penghargaan untuk kesatria yang membantu pemberontakan di Urdapalay," jawab Gasendra seraya mengecup puncak kepala Arunika berkali-kali.

"Ooh, yang waktu itu. Hehe...." Arunika merasa senang karena itu mengingatkannya pada pertemuan mereka.

"Kau sendiri? Apa yang besok kau lakukan?" Gasendra menyingkirkan anak rambut yang menutupi dahi Arunika.

"Kata Yera, mulai besok aku akan belajar etika istana dan tugas sebagai putri dan permaisuri."

"Hahaha, semangat istriku! Etikanya sangat banyak, tapi kau harus menguasainya dengan benar. Walaupun setelah kau menguasainya, itu akan jarang terpakai," jelas Gasendra menyemangati Arunika.

Dia sudah mengalaminya sejak kecil. Mempelajari etika-etika istana dan menguasainya. Namun, ketika sudah dikuasai, dia jarang mempraktekannya karena tak terlalu nyaman untuk diterapkan. Etika istana itu terkesan sangat kaku, berbeda dengan dirinya yang fleksibel.

"Tapi, aku harus menguasainya karena itu pengetahuan dasar dan wibawa seorang anggota kerajaan. Bukan begitu?"

"Ya, kau benar."

Napas teratur terdengar di telinga Gasendra. Dia menunduk untuk memastikan dan menemukan Arunika yang telah menutup netranya.

"Kau sudah tidur, Arunika?"

"Tidak. Rasanya aku sudah tidak mengantuk lagi," kata Arunika mendongak, menatapnya. Gasendra bisa melihat wajah Arunika samar-samar karena cahaya lampu minyak yang terpancar di dekat ranjang. "Gasendra, aku mau minta sesuatu."

"Apa?"

"Cium aku."

———