***
Cuaca dan suhu hangat yang identik dengan musim semi membuatku bangun dari tidur yang terasa sangat sebentar.
Dengan kantuk yang masih meradang, aku mendekatkan kepala ke perpotongan leher Anindya untuk mencari posisi yang nyaman. Tapi, itu tak berlangsung lama karena Anindya tiba-tiba mengerang dalam tidurnya.
"Enghh ...."
Aku langsung menjauhkan kepala dari perpotongan leher dan tersenyum menatap wajah bantal Anindya.
"Selamat pagi, Istriku."
"Selamat pagi juga, Jahankara," balasnya dengan suara serak.
"Tidurmu nyenyak?"
"Ya, cukup nyenyak sampai rambutmu membuatku terbangun," katanya lalu merapihkan rambutku yang kurasa berantakan.
Aku terkekeh samar. "Jadi rambutku ini membangunkan mu?"
Anindya mengangguk pelan dengan mata yang kembali terpeham.
"Aku akan memotong rambut ini."
"Jangan!" larangnya dengan nada tinggi. Matanya juga ikut melebar seiring dengan larangannya.
Hatiku sedikit tergelitik dengan larangan Anindya. Sebenarnya kalau rambut ini dipotong, mungkin aku akan sedikit menyesal. Tapi, jika Anindya benar-benar memintanya, maka tak akan ada yang aku sesali.
"Baiklah, aku tak akan memotongnya," putusku lalu memeluk Anindya dengan tetap menjaga jarak agar kandungannya yang sudah membesar tidak terhimpit.
Kurasa ini pagi yang sangat bagus karena kami menikmati rasa hangat dan nyaman di atas ranjang kebesaran dengan udara musim semi yang sangat cocok bagi seluruh orang di Kerajaan Mahaphraya.
"Suamiku."
"Ya, ada apa?"
Aku terbelalak dan langsung terduduk saat melihat alis Anindya yang mengerut seperti menahan rasa sakit. Ditambah lagi asumsi itu terbukti dengan Anindya yang memegangi perut besarnya.
"Ini ... keram perut lagi ...."
Aliran sihir penyembuh langsung keluar dari tanganku yang ikut memegangi perutnya. Perlahan kerutan di alis Anindya memudar dan dia tersenyum simpul.
"Masih sakit, Anindya?"
Dia menggeleng dan membuatku membuang napas lega.
Aku kembali merangsek masuk ke perpotongan lehernya. Sedikit panik dan cemas karena akhir-akhir ini dia sering mengalami keram perut. Dan juga peringatan dari tabib bahwa anak kami diperkirakan akan lahir di musim semi.
"Kau kenapa, Jahankara?" Aku merasakan belaian lembut tangannya pada rambut sampai tengkukku.
"Aku panik, cemas, dan takut. Ughh, aku payah sekali," lirihku.
"Tenanglah. Aku sudah tidak apa-apa."
Memang Anindya sudah bilang tidak apa-apa. Tapi, benarkah dia baik-baik saja? Terkadang aku meragukan jawaban darinya jika dia berkata baik-baik saja. Bagaimana jika saat dia merasa kesakitan, tapi aku tak ada di sana?
"Bagaimana kalau hari ini aku cuti saja?" Aku melepaskan pelukan dan menatap Anindya dengan cemas.
"Lagi? Aku kan sudah tidak apa-apa, Jahankara," katanya masih dengan mengelus rambut dan tengkukku.
"Ya, aku khawatir padamu." Aku membelai pipinya yang agak pucat itu.
"Aku menolaknya. Kau sudah terlalu sering mengambil cuti dengan menjadikanku sebagai alasan. Dan juga hari ini jadwalmu sangat padat," tolaknya dengan memberikan penjelasan.
Aku merengut kecewa. "Tapi ...."
"Tidak, Jahankara. Hari ini kita kedatangan utusan penting dari Kerajaan Samataram."
"Kau lebih penting, Anindya," bujukku dengan wajah memohon.
Dia menggeleng, lalu berhenti mengelus rambutku dan mengambil posisi duduk dengan pertimbangan akan perut besarnya.
"Kau mau kemana?" tanyaku dengan tatapan bingung. Biasanya Anindya terus berbaring di ranjang sampai para dayang pribadinya datang dan mengajaknya untuk sekadar berjalan santai di taman istana.
Dia menoleh dan tersenyum lebar. Senyuman yang sama seperti sebelum-sebelumnya dan selalu membuat hatiku berdetak lebih cepat.
"Aku ingin membantu suamiku untuk bersiap kerja."
"Huh?" Aku ikut mengambil posisi duduk, namun bersandar pada dipan ranjang.
"Iya! Aku ingin membantumu bersiap kerja sekarang juga!" serunya dengan penuh semangat.
"Aku menolak," tolakku dengan tegas.
"Kenapa?" Perlahan wajahnya mendekat pada wajahku. Dia memasang senyum menggoda, tapi aku yakin masih bisa menampiknya.
"Aku tidak ingin membuatmu kelelahan. Itu alasan yang sangat masuk akal bagi dirimu, diriku, dan anak kita." Aku menjawabnya sambil mengarahkan jari telunjuk.
"Benarkah, Yang Mulia?" Dia menarik daguku dengan jari-jarinya yang lentik.
Aku menggeram kasar mendapat perlakuan seduktif darinya.
"Anindya ...."
Perlahan namun pasti, dia membawa bibirnya untuk mendekat ke bibirku. Dan aku tak mampu untuk menolaknya. Kami berciuman dengan penuh nafsu dan saling membelai satu sama lain. Sampai pintu kamar diketuk dan terdengar peringatan dari penjaga, jika para dayang dan sekretaris pribadiku telah tiba di depan kamar utama.
"Jadi bagaimana, Jahankara? Apa sogokan dariku cukup untuk membuatmu berubah pikiran?" tanya Anindya dengan senyum licik yang terpatri di wajahnya.
Aku mengacak-acak rambut sambil menggerutu, sebelum akhirnya sebuah persyaratan keluar dari bibirku yang masih basah.
"Baiklah, dengan syarat kau hanya menonton aku bersiap tanpa membantu."
"Hmm, itu tidak buruk," balasnya dengan cukup puas.
"Jadi, apakah mereka harus ku izinkan masuk atau kita lanjutkan saja yang tadi?"
"Tunggu sebentar," jawab Anindya. Dia mengecup pelan bibirku lagi, sebelum akhirnya dia mengerling nakal dan berteriak, "Masuk!"
Dan lagi-lagi, aku hanya bisa menghela napas kasar dengan perlakuan nakalnya itu.
***
"Bagaimana dengan penguatan artefak sihir?" Aku menoleh pada Eros yang duduk tak jauh dari tempatku.
"Sudah hampir selesai, Yang Mulia."
Aku menganggukkan kepala. Seperti yang diharapkan dari para penyihir Kerajaan Mahaphraya, mereka hebat dan cekatan dalam menyelesaikan pekerjaan. Padahal proyek tersebut baru diberikan satu minggu yang lalu.
"Apa ada kesulitan?" tanyaku berbasa-basi. Padahal aku sudah tahu jawaban yang akan diberikan penyihir sombong itu.
Benar saja kan, wanita tua itu menyeringai padaku. "Tentu saja tidak ada, Yang Mulia."
"Ya, seperti yang sudah ku duga," timpalku lalu menoleh pada sekretaris pribadi dan mengisyaratkannya untuk menulis laporan tersebut. "Sejauh apa perkembangannya, Eros?"
"Artefak itu telah ditingkatkan kekuatannya sampai bisa bertahan sekitar seratus tahun atau lebih," jawab Eros yang membuatku cukup terkejut.
"Bukankah aku memberi perintah untuk jangka lima puluh tahun? Kenapa menyentuh angka seratus tahun bahkan lebih?"
Eros mengedikkan bahu dan membuat para petinggi rapat melotot padanya.
"Penyihir Eros, tolong jawab pertanyaan Yang Mulia dengan benar!"
"Iya-iya." Eros menoleh padaku dengan wajah acuh tak acuhnya. "Itu karena kekuatan para penyihir membludak dan artefak sihir terkena imbas dari kekuatannya. Saya sebagai ketua menara penyihir tidak bisa melarang perkembangan mereka," sambungnya.
Aku mengetukkan jari di atas meja dengan pelan. "Sejak kapan pertumbuhan kekuatan penyihir membludak?"
"Akhir musim dingin. Kekuatan mereka membludak sampai membuat retak penjagaan menara sihir," sambung Eros.
"Tunggu. Akhir musim dingin?" Aku menatap tajam pada Eros, "kenapa tidak ada laporan yang masuk tentang itu?"
"Karena kami berhasil mengatasinya dengan baik," jawab Eros santai dan membuatku serta petinggi rapat menarik urat padanya.
Tok tok tok
Pintu ruang rapat langsung terbuka dan seorang dayang berjalan cepat menghampiri sekretaris pribadiku. Dayang tersebut berbisik pada sekretaris, lalu sekretaris itu berbisik padaku.
"Yang Mulia, Ratu Anindya sedang dalam proses melahirkan."
Deg
Syaraf dan ototku menegang. Napas terasa berat untuk sesaat, sebelum akhirnya aku tersadar dengan fakta jika hari ini sedang ada rapat dan agenda besar-besaran.
"Undur agendaku untuk hari ini," perintahku pada sekretaris, "dan atur ulang kembali agendanya."
Aku menoleh pada petinggi rapat yang terdiam menatapku dengan tatapan bertanya-tanya.
"Aku sudahi rapat hari ini dan kembalilah bekerja ke departemen kalian masing-masing," tutupku lalu menjentikkan jari dan menghilang sepenuhnya dari ruang rapat.
———