Chereads / Astral : Seed of Chaos / Chapter 16 - Ilusi

Chapter 16 - Ilusi

Jennifer Hawlink, 18 tahun, merupakan anak dari Caroline Hawlink, Mistral User tahap master dan Ferdinand Greenwood, Mistral user tahap grandmaster. Caroline dan Ferdinand merupakan pasangan Mistral kuat yang terkenal.

Mereka memiliki tiga orang anak. Satu orang putra dan dua orang putri. Namun, dari ketiga bersaudara itu hampir semua orang setuju bahwa Jennifer lah yang paling tidak berbakat dibanding lainnya. Jennifer yang seorang anak sulung, malah gagal di ujian masuk Akademi Mistral Avania. Sedangkan kedua adiknya sekarang telah berhasil masuk ke sekolah idaman itu.

Karena itu Jenny selalu ingin membuktikan pada keluarganya bahwa dia juga berharga. Dia juga anak yang hebat. Namun, situasi Jennifer di keluarga Hawlink memburuk ketika Shou menyingkirkannya dari tahta nomor satu Akademi Mistral Vandrechia.

Kembali menjadi nomor satu merupakan keharusan, setidaknya Jennifer ingin lulus sebagai murid nomor satu. Sebentar lagi Jennifer yang sudah kelas tiga akan lulus. Memalukan rasanya jika ia lulus sebagai nomor dua.

***

"Apakah aku ... berpindah?" Jennifer Hawlink merasakan perubahan pada pemandangannya.

"Ya, kita berpindah. Shou, Ketua Rock, dan kedua bocah itu juga menghilang."

"Begit– Tunggu! Kalau mereka menghilang kenapa kau disini!" Jenny memandang tajam sosok pria disampingnya.

"Entah mungkin kita jodoh," canda Robby yang ternyata dipindahkan ke ruangan ini bersama Jenny.

"Dari semua orang kenapa mereka memindahkanku bersamamu!" ucap Jenny jengkel.

"Kenapa kau mengeluh begitu? Apa kau ingin bersama Shou? Dia akan mengabaikanmu. Ketua Rock? Kau tak akan punya kesempatan tampil. Atau kedua bocah itu? Mereka hanya akan membebanimu. Bukankah aku partner terbaikmu saat ini?" ucap Robby dengan percaya diri.

"Lebih baik aku sendirian daripada bersamamu," jawab ketus Jenny.

"Sepertinya kalian berdua kurang akur ya ... kemenanganku sudah di depan mata," sebuah suara tiba-tiba mengintervensi percakapan kedua remaja itu.

Jenny dan Robby langsung mencari sumber suara. Mereka melihat sosok pria paruh baya beruban dengan kacamata. Pria paruh baya itu memiliki tubuh yang terlihat kekar untuk sosok setua itu.

"Kakek siapa yang tersesat disini? Apa kau salah jalan? Ini bukan panti jompo," cibir Jenny pada sosok pria paruh baya itu.

"Anak-anak muda jaman sekarang tak pernah diajari sopan santun rupanya," ucap sosok itu dengan santai.

"Jenny, mari kita selesaikan kakek itu secepatnya. Kita perlu segera menemukan Shou dan Ketua Rock," ucap Robby mengingatkan Jennifer untuk tidak bermain-main.

"Tak perlu kau ingatkan pun aku akan menyelesaikannya segera dan sendirian. Jangan membantuku!" Jenny tampaknya ingin melakukannya sendirian. Ia memperingati Robby untuk tidak ikut campur.

Robby yang nampaknya cukup mempercayai kekuatan Jenny hanya mengangguk menyetujui untuk tidak mengganggunya.

"Oya-oya ... Kalian benar-benar meremehkanku ya," Pria paruh baya itu terkekeh mendengar percakapan Jenny dan Robby.

"Heaven Spear Calamity!"

Jenny memanggil tombak andalannya. Ia memasang kuda-kuda bersiap menyerang Pria paruh baya itu.

Jenny berlari dengan cepat. Ia kemudian mengayunkan tombaknya. Kakek itu menghindarinya dan menendang tubuh Jenny.

Jenny terlempar, namun ia dengan cerdik menggunakan tombaknya sebagai penahan. Jenny berhasil bediri dengan selamat.

Hanya dalam satu hembusan nafas Kakek itu tiba-tiba muncul di hadapan Jenny dengan ayunan kaki ke bawah. Jenny menahannya dengan memegang tongkat miliknya dengan kedua tangan dan membiarkan tongkat itu lurus secara horizontal.

Jenny mendorong tongkatnya dengan kuat sehingga si kakek terpaksa membatalkan serangannya.

Gadis berambut pirang itu kemudian menusuk-nusukkan tombaknya pada si Kakek. Tetapi, dengan lincah kakek itu menari-nari menghindari serangan Jenny dengan mudah.

"Apa hanya segini? Sungguh dengan kemampuan yang payah kau benar-benar ingin meremehkanku?" kakek itu menyeringai mengejek Jennifer.

"Diam! Terimalah ini, Heaven Blast!" Jennifer mengumpulkan mananya pada tombaknya lalu menembakkan mana itu.

Serangan itu berbentuk peluru yang melayang kencang ke arah si kakek.

Serangan itu berhasil mengenai kakek tersebut.

Namun, saat terkena ternyata si kakek berubah menjadi asap.

Serangan itu menembus asap dan mengenai dinding. Retakan kecil terbentuk pada dinding itu.

"Kenapa kau berpikir aku ada disana?"

"Ap–"

Jenny yang kaget menoleh dan sesaat kemudian sebuah pukulan menyerang wajah cantiknya sehingga terlempar hingga berguling-guling.

"Kau, bocah bertato ... Apa kau tak ingin membantu temanmu?"

Robby, orang yang dimaksud menatap kakek itu dan berkata, "Dia belum kalah."

"Hahaha ... Sungguh lelucon. Kau akan menyesali perkataanmu. Bahkan jika kalian berdua menyerangku aku akan tetap menang. Apalagi gadis itu. Dia payah bahkan dengan astral sebagus itu," seraya tertawa terbahak-bahak kakek itu terlihat percaya diri dalam mengalahkan lawannya.

"Jangan ... Abaikan aku!"

Jenny melemparkan tombaknya sekuat tenaga.

Tombak itu menusuk si kakek.

Saat Jennifer hendak merayakan dengan gembira. Kakek itu berubah lagi menjadi asap dan menghilang.

"A-apa yang terjadi?"

Jenny bahkan Robby merasa heran. Sudah dua kali kakek itu menghilang kemudian muncul di tempat lain. Apakah hanya dopplegengger? Ilusi? Apakah tubuhnya dapat menjadi asap?

"Ohohoh ... Seranganmu meleset lagi," kakek itu muncul di belakang Jenny.

Jenny berusaha lari untuk mengambil tombaknya kembali. Tetapi Kakek itu menarik Jenny dan membiarkan lututnya mencium kepala Jenny. Ia juga membanting dan menendang Jenny hingga terlempar menabrak dinding.

"Hey bocah pacarmu sudah babak belur. Kau yakin tak akan membantunya?" tanya kakek itu pada Robby.

"Dia belum kalah," Robby tetap berpegang teguh pada perkataannya.

Jenny yang telah mengambil tombaknya memasang kuda-kuda baru.

"Heavenly Spear Calamity : Petir Surgawi," tombaknya kemudian di selimuti petir biru yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sekarang seluruh tubuhnya dikelilingi oleh petir biru yang menari-nari.

Kakek itu menatap Jenny seolah tertarik dengan tekniknya.

"Ooh ... Sepertinya kau punya teknik lain," ucapnya dengan nada senang.

Hanya dalam satu kedipan mata, Jennifer telah muncul di hadapan si kakek itu dan menusukkan tombaknya.

Si kakek menyeringai dan berkata, "sayang sekali ... meleset." Ia kemudian berubah menjadi asap.

"Dari tadi aku heran, kenapa seranganku tidak pernah bisa mengenaimu."

Jennifer menusukkan tombaknya pada lantai. Kemudian petir dari tombak itu menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

Pada salah satu sudut yang terabaikan, sosok kakek berkacamata itu muncul setelah petir mengaliri tubuhnya.

"Kau pandai sekali dalam memainkan ilusi."

Bahkan dengan tubuh terluka, Jennifer tetap terlihat tegak seraya menatap marah pada lawan yang telah mempermainkannya itu.

"Dengan ini akan kuakhiri kau, pak tua."

Jenny mencabut tombaknya lalu mengalirkan seluruh kekuatannya pada tombak tersebut. Tombak itu bercahaya dengan sangat terang menerangi seluruh ruangan.

"Hevanly Spear Calamity : Tusukkan bencana."

Jenny melempar tombak itu.

Dengan kecepatan mendekati cahaya tombak itu melaju lalu menembus perut kakek tersebut.

Ia perlahan mendekati si kakek.

Namun sebuah suara pelan berbicara dari belakang.

"Kenapa kau berpikir itu aku?"

Tiba-tiba Jennifer merasakan otaknya memanas. Kepalanya serasa pusing dengan sangat parah. Ia memegang kepalanya seraya berteriak kesakitan. Ia menutup matanya merasakan rasa sakit luar biasa.

Tetapi perlahan rasa sakit itu menghilang. Jenny membuka matanya. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat Robby yang berjongkok dengan tombak yang bersarang pada perutnya.

"T-tidak mungkin!"

Jennifer merasa shock melihat hal tersebut. Ia sudah yakin yang diserangnya adalah kakek itu bukan Robby.

"Nona, sejak awal kau membuka matamu disini. Kau sudah berada dalan ilusiku. Orang yang bertarung dari tadi denganmu adalah bocah itu. Bocah itu juga telah terperangkap ilusiku dan menganggap dirimu adalah lawan."

"K-kau bohong. Ini cuma ilusi! Aku tak pernah menyerang Robby. Penipu! Lepaskan ilusimu sekarang!" Jennifer berteriak seperti orang gila pada Kakek itu.

"Sayangnya ini kenyataannya."

"T-tidak! Bohong!" Jenny memegang kepalanya dan menggelengkan seolah tak percaya apa yang terjadi.

"Sepertinya, serangan mentalku membuatmu gila. Yah, aku akan meninggalkanmu disini. Sampai jumpa ... Oh ya namaku Fouler, ingat itu," kata Fouler seraya tersenyum pada Jennifer yang sudah gila.

Seraya berbalik ia bergumam, "Dewa Agung Cthullu merupakan pembuat ilusi dan mimpi buruk terkuat yang pernah ada."