"Aku tidak mengerti, jadi maksudmu kami tidak bisa ke lembah itu?" Tanya Albert, anak itu tampak kebingungan. "Tapi kau …."
"Tenanglah …," ucap Iriel mencoba mengendalikan keadaan. "Memang benar lembah itu tidak lagi dapat diakses, setidaknya bagi penyihir saat ini." Orang-orang mentap bingung.
"Albert," seru Iriel, membuat ketegangan anak itu sedikit berkurang. "Kemarin kau bertanya, mengapa sihirku tetap berfungsi terhadap pengguna supernatural, bukan?" Albert mengangguk.
"Hal itu karena, sihir yang aku gunakan berbeda dengan yang kau pelajari," wanita itu kemudian menaikkan kedua alisnya. "Belum lengkap lebih tepatnya," sambungnya.
"Jadi, aku sendiri tidak bisa membuka gerbang menuju tempat itu?" Albert melontarkan pertanyaan itu dengan berkecil hati. Ada perasaan bersalah dan ketidakberdayaan. Anak itu berpikir, mungkin dirinya telah mengecewakan Fuguel.
"Apa kau bisa membuka gerbang untuk kami?" Tukas Mithyst, anak itu bahkan terlihat lebih terdesak lagi.
Iriel menggelengkan kepala. "Aku minta maaf, tapi sesuai perjanjian aku tidak bisa memasuki tempat itu lagi," ucapnya. Mendengar perkataan wanita itu, baik Mithyst maupun Albert terlihat kecewa. "Tapi anak ini bisa," ia kemudian menepuk punggung si penyihir muda.
Albert kebingungan, "Aku bisa?" Tanyanya.
"Kau hanya perlu mempelajarinya."
Mendengar ucapan masternya, mata Albert tampak berbinar. "Jadi kau akan mengajariku?"
"Tidak," balas wanita itu singkat. Albert terkejut, seketika wajahnya kembali muram.
"Tenang saja, akan ada seseorang yang mengajarimu."
"Kalau begitu sudah diputuskan," suara pria berkuncir itu akhirnya terdengar. Dengan adanya keputusan, Fuguel berniat menyudahi percakapan tersebut dan kembali ke rumah pohon, beristirahat dan bersiap untuk bekerja lagi.
Sebelum mereka pergi Mithyst menyampaikan sesuatu. "Terima kasih karena kalian telah memberikan informasi penting," anak itu kemudian menatap Albert seraya tersenyum hangat. "Aku juga berterima kasih karena kau bahkan berniat belajar demi membuka gerbang itu untuk kami," entah mengapa aura anak itu tampak bersinar saat mengatakannya. "Aku telah salah menilaimu Albert, kau bukan hanya bocah nakal."
Mendengar dirinya disebut bocah nakal, Albert kesal. "Sepertinya kau sudah salah paham, aku tidak berniat membuka gerbang itu untukmu," ujar penyihir muda itu. Rasa canggung yang awalnya selalu muncul terhadap Mithyst hilang entah kemana. Albert akhirnya menunjukkan wajah aslinya.
"Ehh?" Mithyst tampak kebingungan.
"Dari awal aku memang berniat bertemu Iriel untuk menanyakan hal itu, kau tidak perlu merasa tersanjung."
"Hah?"
"Fuga, ayo kembali," anak itu kemudian beranjak dari tempat duduk, mengajak pria berkuncir di sampingnya.
Saat Albert, Fuguel, dan Iriel hendak meninggalkan ruangan, atmosfer di sekitar Mithyst mulai gelap. Wajah anak itu tampak merah padam mengandung rasa malu bercampur marah. Dengan tangan gemetar karena menahan geram, Mithyst mencabut benda tajam dari ikat pinggangnya. Aran yang melihat reaksi tuannya, merasakan adanya ancaman.
"Kutarik ucapanku, kau memang bocah nakal," gumam Mithyst.
"Slaaassshhhh!"
Orang-orang terperanjat, semua perhatian teralihkan kepada sosok dengan bilah pedang di tangannya. Meja kayu panjang di hadapan mereka terbelah menjadi dua. Melihat hal tersebut, Albert bergidik kemudian menelan ludah.
Mithyst mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, membuat anak berambut ikal itu berkeringat dingin, pikirnya ia akan segera dihabisi. Namun, Mithyst ternyata menyarungkan kembali pedangnya lalu membungkuk sembilan puluh derajat. Adegan yang membuat jantung Albert hampir berhenti.
"Jika kau memang ingin ke lembah terlarang, izinkan aku ikut bersamamu," pinta anak itu, suaranya terdengar parau.
Mithyst yang memohon dengan menurunkan harga dirinya membuat orang-orang tercengang. Aran yang berada di samping anak itu tampak memalingkan wajah. Pemuda itu mengepalkan tangan erat. Sosok terhormat dari Rurall menundukkan kepala dengan putus asa.
"Aku tidak berhak memutuskan itu," kata Albert lirih, ada rasa penyesalan yang muncul karena sedikit mengusili Mithyst.
Tiba-tiba Fuguel berjalan mendekati anak yang masih menunduk itu "Tidak masalah." Ia kemudian memegang pundaknya---membuat Mithyst bangkit dan kembali berdiri tegap.
Mithyst lalu mendongak, memandangi pria di hadapannya. Mata Fuguel terlihat sangat kelam. Kemudian terbesit di pikiran Mithyst, "Ah … dia sama sepertiku, putus asa untuk melindungi hal yang berharga." Hanya berupa asumsi yang didasari insting. Tetapi entah mengapa Mithyst yakin bahwa sosok di hadapannya telah melalui sesuatu yang sangat mengerikan.
Beberapa hari Eleusinia berjalan. Albert tidak bertemu Mithyst sejak pertemuan malam itu. Ia dan Fuguel tetap mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan. Sedangkan Iriel, wanita itu berkeliling kota sembari menunggu hal yang Mithyst janjikan. Lily of the valley akan diserahkan di hari terakhir Eleusinia pada malam puncak.
Malam puncak merupakan penutupan dari perayaan tersebut. Sebuah pesta topeng yang akan dilaksanakan di istana esok hari. Semua penduduk Kota Folois diundang dalam pesta tersebut. Menjelang akhir acara, akan ada pembakaran api unggun, lalu orang-orang akan menari mengitari api unggun tersebut. Sebuah malam yang sangat dinantikan, Albert dan Fuguel yang merupakan orang luar bahkan tetap diundang. Hal itu karena mereka sudah bekerja keras selama sepekan ini.
"Hei, tanganmu berhenti bergerak" suara Julia membuat lamunan Albert buyar.
"Ehh …."
"Kau harus bekerja lebih serius," ujar gadis itu.
"Maaf," balas anak itu ketus.
Julia saat ini berada di halaman istana bersama Albert dan Fuguel. Mereka tengah mempersiapkan dekorasi di halaman tempat api unggun akan dinyalakan. Julia menjadi salah satu penanggung jawab pada malam puncak. Makanya ia bersama penanggung jawab lainnya mengkoordinir para pekerja termasuk Albert dan Fuguel. Fuguel mengangkat dan menyusun kayu untuk api unggun, sedangkan Albert memotong rumput dan merapikan bunga agar terlihat lebih indah.
"Julia," panggil Albert, anak itu tengah merapikan semak-semak, pakaiannya kotor penuh bekas tanah.
"Ada apa?"
"Maaf tiba-tiba, tapi aku ingin bertanya?"
Julia mengangkat sebelah alisnya, "Silakan," balas gadis itu.
"Aku tidak bermaksud menyinggungmu, tapi …," Albert menelan ludah sebelum melanjutkan kalimatnya. "Mengapa anak-anak sepertimu diberi tanggung jawab sepenting ini?"
Mendengar ucapan anak itu, Julia mengerutkan keningnya kemudian melipat kedua lengannya di depan dada. "Benar-benar tidak sopan," ujar gadis itu.
"Mau bagaimana lagi, tentu saja sangat mencurigakan. Meski aku tahu kau bukan orang biasa, tetap saja aneh," Albert menjelaskannya dengan nada kesal. "Kau tahu, aku sudah bekerja dari pagi, waktu istirahat yang kau berikan sama sekali tidak cukup. Aku bahkan curiga, tanggung jawab yang kau maksud itu sepertinya hanya dalih agar bisa mengatur-aturku sesukamu." Sepertinya anak itu mulai naik pitam.
"Ka-kau …," Julia kehabisan kata-kata. Gadis itu kebingungan ingin membalas ucapan anak di hadapannya seperti apa.
"Jangan-jangan kau terus mengikutiku karena sebenarnya kau tidak memiliki pekerjaan apapun untuk dilakukan?"
"Bu-bukan begitu," wajah gadis itu tampak cemberut, ia kemudian memalingkan wajah. "Hmphh, Julia benar-benar tidak suka dengan anak sepertimu."
Albert berdecak kesal, ia kemudian menggerutu dalam hati. "Argghh … anak ini sangat mengesalkan, aku yakin dia sebenarnya sengaja mempersulit pekerjaanku."
Anak itu melanjutkan pekerjaannya dengan wajah kecut. Maklum, matahari sedikit lagi akan tenggelam dan ia belum menyelesaikan semua tugasnya. Sedangkan ia sudah sangat kelelahan.
Julia selalu mengawasi gerak-gerik Albert dan mengoreksi setiap hal yang ia lakukan. Albert seharian ini telah bersabar menghadapi gadis itu. Tapi ia hampir mencapai batasnya.
"Se-sebenarnya …," tiba-tiba gadis itu menarik lengan baju Albert. Ia tampak menunduk dengan wajah merah padam. Ada kegugupan dari nada suaranya. "Julia ingin kita datang bersama saat pesta topeng!"
"Heh?" Albert terperanjat dibuatnya, mata anak itu terbelalak. "Ada apa tiba-tiba?"
"I-itu karena aku kasihan denganmu, pasti kau merasa tidak nyaman karena harus pergi sendiri."
"Apa yang kau bicarakan, aku bersama Fuga."
Tiba-tiba pipi Julia menggelembung, wajahnya merah padam bercampur malu dan kesal. "Albert benar-benar bodoh, hmphh."
Albert menggaruk-garuk kepalanya, ia kebingungan dengan tingkah gadis itu. Sebelumnya ia dibuat kesal, tetapi seketika ia diajak ke pesta. Anak muda itu hanya dapat menghela napas panjang.
"Kau tidak harus mengkhawatirkanku, aku bersama Fuga. Apa kau tidak bersama kembaranmu itu?"
"Tidak," balas Julia singkat. Gadis itu kini tampak muram. "Julius tidak akan datang," gadis itu kemudian mengerutkan alisnya seraya menjorokkan bibir bawahnya ke depan.
"Hahh …," lagi-lagi Albert menghela napas panjang. "Kau hanyalah gadis kesepian yang membutuhkan teman untuk ke pesta. Seharusnya kau bilang dari tadi, tidak perlu mempersulit pekerjaanku dengan mengikutiku setiap saat," jelas anak berambut ikal itu. ia kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Julia yang mendengar hal tersebut menunjukkan gestur malu-malu.
"Ta-tapi Julia tidak memaksamu."
"Apa kau tidak punya teman lain?" Tanya Albert sambil mengangkat sebelah alisnya.
Julia terdiam beberapa saat. "Julia tidak butuh teman yang lain, sudah ada Mithyst dan lainnya," ujar gadis itu, dagunya sedikit terangkat.
"Aku tidak bisa berkomentar banyak, lagi pula aku juga tidak memiliki teman," pikir Albert.
"Baiklah."
"Jadi kau setuju?" Wajah Julia tampak berseri-seri, seperti ada kilauan yang terpancar dari auranya.
"I-iya," jawab Albert canggung.
Begitulah kedua anak itu membuat janji untuk ke pesta pada malam puncak. Meski banyak hal yang sebetulnya membuat mereka resah, tetapi tidak ada salahnya bersenang-senang. Lagi pula hari terakhir Eleusinia merupakan waktu yang pas untuk menikmati hari sebelum menempuh perjalanan panjang.
~