Chereads / A Story You Can Tell / Chapter 31 - Yang Ditakdirkan

Chapter 31 - Yang Ditakdirkan

"YANG MULIA AKAN MENYAMPAIKAN PIDATONYA!" Seorang pengawal istana berteriak sangat kencang hingga membuat orang-orang di halaman istana menjadi lebih tenang. Walau orang-orang yang tidak berada di hall tidak bisa mendengarkan pidato Sang Raja, tetapi sebagai bentuk penghormatan, mereka tetap tenang sampai pidato tersebut selesai.

Bagi Albert sendiri, mendengarkan pidato adalah sesuatu yang sangat membosankan.

Setelah kembali ke ruangan dan bertemu Julia, Albert menanyakan berbagai hal, terutama alasan di balik perbuatan pria bernama Curtis itu. Julia hanya menjelaskan bahwa hubungan politik di Kerajaan Rurall cukup rumit. Pemuda bernama Curtis itu merupakan pengikut setia Putri Serena, sedangkan Putri Serena dan Mithyst terkadang memiliki pandangan yang berbeda tentang berbagai hal. Penjelasannya cukup sampai disitu, Albert juga tidak menanyakan lebih jauh. Anak itu tidak ingin mencampuri urusan negeri orang lain.

"Oh … bukankah itu Aran?" Bisik Albert kepada gadis di sebelahnya. Julia hanya mengangguk. "Hmmm … sedangkan wanita di samping Aran si gorilla," ucap anak itu dalam hati, tetapi wajahnya tidak menyembunyikan ekspresi kecut ketika melihat Roxanne ada di sana.

Keluarga Aran dan Roxanne merupakan salah satu bangsawan terpandang di Rurall. Di hari-hari penting seperti ini, mereka harus memenuhi tugas sebagai perwakilan keluarga masing-masing. Mereka bersama keluarga bangsawan lainnya berada di dekat keluarga kerajaan.

Sang Raja menyampaikan pidatonya yang berisikan ucapan selamat dan rasa syukur atas suksesnya Eleusinia. Pidato itu berlangsung sekitar setengah jam, tetapi orang-orang dengan sabar tetap mendengarkan sampai akhir. Seusai mendengarkan pidato Sang Raja, semua yang berada di hall bertepuk tangan termasuk Albert, meski sembari menguap dengan lebar.

"Hei, jaga sikapmu," Julia menyikut lengan anak itu karena melihat sikap tidak sopannya. Sedangkan Albert, ia hanya berpikir betapa membosankannya pesta hari ini.

Orang-orang mulai berdansa, alunan musik menghimpun ruangan dan membuat orang-orang terbuai. Satu per satu mulai menunjukkan kebolehan tariannya. Tak mau kalah, Julia menarik tangan Albert dan menari bersama dengan riang gembira.

"Hmmm … rupanya kau bisa berdansa, aku tidak menyangka 'anak' sepertimu bisa melakukannya," tukas Julia.

Albert sedikit kesal, tetapi ia hanya membalas ucapan itu dengan kalimat, "Secara kebetulan aku mempelajarinya."

"Hmmm …" Julia menatap curiga tetapi setelahnya ia tidak lagi menggubris ucapan Albert.

Beberapa lama setelah terpikat dengan suasana pesta, kedua anak itu saling menunduk, menunjukkan penghormatan pada partner dansa setelah selesai menari. Mereka kemudian berjalan mendekati meja, dan masing-masing mengambil segelas jus. Keduanya memilih untuk istirahat seraya melihat orang-orang.

"Nona Elvin!" Seorang gadis berambut merah seumuran Julia berjalan mendekat. "Kau Nona Elvin bukan?" Tanya gadis itu memastikan, Julia kemudian mengangguk. Tentu saja karena topeng yang digunakan, orang-orang jadi tidak bisa mengenali satu sama lain dengan mudah.

"Pita yang kau gunakan sangat lucu, kau terlihat manis," puji gadis itu terhadap benda yang melingkar dengan anggun di leher Julia. Keduanya kemudian tampak berbincang-bincang, melupakan keberadaan Albert di sana.

Gadis itu lalu menarik tangan Julia dan mengajaknya menuju sekumpulan gadis yang tidak begitu jauh dari mereka.

"Ah! Maaf, tapi aku …," Julia menatap Albert.

"Tidak apa-apa, pergilah," ujar anak muda itu dengan pekanya.

"Sepertinya gadis ini dari keluarga Wohnheim, Julia pasti baik-baik saja." Pikir Albert.

Kedua gadis itu kemudian pergi. Albert yang sendirian kembali merasa bosan. Anak itu memutuskan untuk keluar dan ke balkon sekali lagi. Berharap bahwa malam ini segera berakhir. Tetapi saat ia melihat api unggun yang berkobar dengan indahnya di halaman istana, ia seolah terpikat. Terbesit di kepala anak itu untuk ke sana. Dan tentu saja, ketika selesai memastikan tidak seorang pun memperhatikan, ia menggunakan kekuatannya dan menuruni balkon.

Albert menginjak rumput dan merasakan tekstur tanah yang agak lembek di balik sepatu kulitnya. Ia kemudian mempercepat langkah dan semakin mendekati api unggun itu. Dengan terkagum-kagum, Albert sama sekali tidak melepas pandangan, sampai akhirnya matanya perih karena tidak berkedip. Dan saat anak itu menyeka matanya yang berair, ia melihat beberapa orang berkumpul di depan sebuah batu ukir. Albert kemudian berjalan menuju kerumunan tersebut.

Sesampainya di sana, rupanya batu itu bertuliskan kisah mengenai api unggun tersebut. Orang-orang berkumpul untuk membacanya. "Dikisahkan bahwa siapa saja yang mengenggam sesuatu di depan api unggun tersebut, maka apa yang ia genggam merupakan takdirnya."

"Haha … benar-benar bodoh. Orang-orang di sini rupanya sangat mempercayai takhayul," ucap Albert dalam hati.

Anak itu kemudian meninggalkan tempat tersebut dan kembali berjalan. Kali ini ia mencari pria berkuncir yang sedari tadi belum ia temui di lokasi pesta. Sembari meletakkan kedua tangan di belakang kepala, Albert melirik ke sana kemari.

Albert mendengus, "Manusia sebesar dirinya mengapa sulit sekali ditemukan," gerutu anak itu.

Sementara itu, seorang gadis dengan rambut tertata rapi dengan kepangan yang melilit kepalanya berlari mendekati Albert.

"Gubrakk!"

"Arghh …," Albert merintih kesakitan setelah ia dijatuhi oleh seorang gadis bergaun biru muda selutut.

Anak berambut ikal itu perlahan membuka matanya dan melihat sosok gadis berambut perak di hadapannya. Beberapa detik Albert memandangi pupil gadis itu dan dibuat terjerat di dalam pandangannya. Degupan jantung dan suara napas anak itu seolah terdengar jelas. Albert tidak mampu berpaling. Kemudian beberapa saat setelahnya ia tersadar.

"Minggir!" Tukas anak itu.

Gadis yang dari tadi berada di atasnya dengan sigap melepaskan gengnggaman tangan yang sepertinya baru ia sadari, kemudian ia beranjak. Gadis itu berulang kali menunduk sebagai isyarat permohonan maaf. Albert hanya menghela napas sembari memberishkan pakaiannya.

"Hari ini aku sepertinya benar-benar sial," gumam anak dengan kemeja putih itu. Ia tampak menggaruk-garuk belakang kepalanya.

"Apa kau terburu-buru? Kau boleh pergi," ujar Albert. Gadis itu hanya diam. Albert kemudian menaikkan sebelah alisnya. "Apa gadis ini tidak bisa bicara?" Tanya Albert dalam hati.

"Ya sudahlah, kalau begitu aku pergi dulu." Baru saja Albert berniat untuk kembali ke misi pencarian Fuguel, tiba-tiba gadis itu menarik lengan kemejanya.

Gadis itu lalu mengambil batu di sekitarnya dan menulis di tanah, "Aku ingin keluar dari sini, bisa kau membantuku?"

Lagi-lagi Albert mengangkat sebelah alisnya, anak itu kemudian melipat kedua lengannya di depan dada. "Apa ada larangan kau tidak bisa keluar dari sini?"

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, ia lagi-lagi menuliskan sesuatu. "Aku tidak boleh terlihat oleh para pengawal. Gadis itu terlihat memelas.

"Maaf, tapi aku juga sedang mencari seseorang," dengan nada yang cukup kasar, Albert menolak.

Bukannya menangis, bukannya menunjukkan ekspresi kecewa, mata gadis itu terlihat menatap tajam. Albert kemudian bergidik. Ia merasakan sesuatu yang tidak asing dari cara gadis itu menatap.

"Ba-baiklah, aku akan membantumu," meski dengan keadaan terpaksa, Albert memilih untuk membantu gadis itu ketimbang berurusan masalah lain. Instingnya yang menggiring untuk mengambil keputusan tersebut.

Ia mengajak gadis itu ke belakang semak-semak di sekitar api unggun. Tempat sepi yang hampir tak seorang pun berlalu lalang di sekitarnya.

"Kemarikan!" Albert mengulurkan tangan. Melihat hal tersebut, gadis itu bingung.

Albert mendengus kemudian menggenggam tangan gadis itu lalu membuat diri mereka tidak terlihat oleh kerumunan. Keduanya berjalan melewati api unggun tanpa seorang pun menyadarinya. Albert menggiring gadis itu melewati gerbang utama.

Setelah melewati gerbang utama, gadis itu menundukkan kepala, isyarat terima kasih. Albert membalasnya dengan menggeleng-gelengkan kepala, "Bukan apa-apa," ucap anak muda itu.

Kemudian kedua anak itu berpisah, Albert kembali mencari Fuguel di halaman istana, dan gadis itu berlari entah kemana. Dan begitulah pertemuan aneh nan misterius itu berakhir.

"Hah, hah, hah … akhirnya ketemu," Setelah berkeliling, Albert menemukan Fuguel di antara kerumunan. Anak itu tersengal-sengal setelah melewati orang banyak. Untungnya, meski dengan topeng, pria raksasa itu dengan mudah dikenali.

"Aku … sudah … ma … cari …," ucapan anak itu tidak terdengar jelas. Fuguel yang melihat kondisinya hanya diam.

"Ayo! Ayo!" Tiba-tiba semuanya mulai bersorak dan suara musik semakin menggelora. Sorang pria gemuk menarik tangan Albert, kemudian Albert yang masih terhuyung-huyung menggengam tangan Fuguel dengan niat menyelamatkan diri. Tetapi mereka kemudian menari di depan api unggun sesuai tradisi. Berbeda dengan di hall, musik yang disenandungkan di antara para penduduk Folois terdengar lebih nyentrik. Tarian mereka juga sepertinya khas dari negeri tersebut. Orang-orang terlihat terbuai dengan semaraknya pesta.

"Apa yang sebenarnya telah kulakukan, mengapa aku harus mengalami semua ini, MENGAPA AKU HARUS MENARI DENGAN OM-OM INI!" Gerutu anak berambut ikal itu dalam benaknya. Ia berharap rintihannya dapat didengar oleh semua orang. Sayangnya, hal yang dapat ia lakukan saat ini hanya berpasrah diri.

Malam semakin larut, tetapi semangat penduduk Folois semakin membara saja. Anak dengan stamina pas-pasan itu kini berada di samping semak-semak dan memuntahkan isi perutnya. Pria rakasasa di sampingnya, berjongkok sambil menopang dagu.

"Bukanya kau bersama Nona Julia di Gedung Utama?"

Albert menyeka mulut, kemudian dengan mata sayu ia menjawab. "Gadis itu sedang menikmati pesta bersama teman-temannya. Aku hanya ingin merasakan udara segar." Fuguel memandanginya curiga, Albert justru memalingkan wajah.

"Albert!" Julia tampak dari kejauhan, gadis itu berlari kian mendekat.

"Baru saja dibicarakan, gadis itu benar-benar muncul," ujar Albert.

"Kau jahat sekali meninggalkan Julia."

Albert tersenyum kaku sembari menggaruk-garuk kepala. "Hahaha, aku pikir lebih baik membiarkanmu bersenang-senang bersama gadis-gadis itu."

Dengan wajah cemberut Julia menatap Albert, "Ngomong-ngomong, bagaimana kau sampai kemari, orang-orang tidak bisa seenaknya keluar masuk hall."

"Eh, benarkah?" Albert terlihat bingung.

Julia seketika terlonjak, kemudian dengan suara pelan gadis itu berbisik, "Jangan-jangan kau menggunakan kekuatanmu?"

Albert lagi-lagi tersenyum kaku dan menggaruk belakang kepala.

"Sudah kuduga," Julia tampak khawatir, gadis itu kemudian menjelaskan. "Kau tidak boleh sembarangan menggunakan kekuatanmu. Penyihir itu tidak memiliki hubungan baik dengan penduduk Rurall."

"Apa maksudmu?"

"Kau akan tahu nanti," gadis itu kemudian meminta keduanya untuk pulang. Akan berbahaya apabila sebelumnya ada yang melihat Albert menggunakan kekuatannya. Lagi pula anak berambut ikal itu terlihat begitu kepayahan. Sambil mendorong punggung kedua pengembara itu, Julia berkata, "Cepat pulang sana!"

Dan begitulah pesta topeng, perayaan malam puncak Eleusinia berakhir bagi Albert dan Fuguel. Kedua orang itu pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah pohon. Selama perjalanan mereka menceritakan pengalaman unik masing-masing. Seperti rasa minuman atau makanan yang mereka cicipi, kejadian lucu selama pesta berlangsung, atau kejadian menegangkan seperti kejadian sebelumnya.

"Hei apa kau membaca batu ukir dekat api unggun itu?" Tanya Albert, Fuguel hanya membalas singkat, "Tidak," katanya.

"Kau tahu, di sana tertulis 'siapa saja yang mengenggam sesuatu di depan api unggun tersebut, maka apa yang ia genggam merupakan takdirnya' benar-benar menggelikan bukan?"

Albert tertawa terbahak-bahak lalu menyadari sesuatu, "Tunggu dulu, jika yang dituliskan itu benar, berarti hari ini pria gemuk dan pria raksasa telah menjadi takdirku." Anak itu menepuk wajahnya kemudian berkata, "Mana mungkin itu terjadi, benarkan?"

Lalu terlintas di benak Albert, si gadis berambut perak, anak itu kemudian tertawa kecil. "Mana mungkin, bukan?"

Beberapa orang memutuskan untuk pulang, beberapa orang memutuskan untuk tidak ke pesta dan tetap tinggal di rumah, sebagian besar orang memutuskan untuk tetap tinggal di istana menikmati malam puncak. Tetapi ada juga yang diam-diam melakukan sebuah pertemuan.

Seorang wanita tampak menunggu di sebuah tempat terpencil yang tidak begitu jauh dari istana. Saat wanita itu melihat kedatangan gadis berambut perak dengan gaun biru muda selutut, ia menyapa.

"Selamat malam, aku sudah lama menunggumu Pange … ah maaf atas keteledoranku, maksudku Tuan Putri Amethyst Qunisley."

"Tidak perlu meminta maaf," Mithyst menghela napas pelan, ia kemudian berjalan mendekat dan mengulurkan sesuatu kepada Iriel. "Sesuai janjiku, aku membawakanmu Lily of the valley."

"Terima kasih," ucap Iriel tersenyum ramah, wanita itu kemudian mengambil stoples transparan yang Mithyst pegang. "Dengan begini urusan kita selesai, selanjutnya kau bisa menghubungi muridku."

"Aku mengerti."

Pukul satu dini hari. Langit hanya diterangi cahaya rembulan, warna biru gelap hampir selalu menghiasi momen-momen penting.

~