Chereads / A Story You Can Tell / Chapter 37 - Kepercayaan

Chapter 37 - Kepercayaan

Fuguel tiba di rumah pohon setelah matahari terbenam. Di tubuhnya terdapat bekas luka dan lebam di beberapa tempat. Ketika ia sampai di rumah, niatnya ingin segera membersihkan diri dan istirahat. Namun, ketika ia membuka pintu sosok Albert tampak membuat ruangan berantakan.

"Apa yang kau lakukan?" Mata Fuguel tampak membelalak.

Albert dengan pisau dapur di tangan kanannya dan saus di pipinya terkejut bak pencuri yang tertangkap basah. "K-kau sudah pulang rupanya," ucap anak itu berbasa-basi mencoba mengalihkan perhatian Fuguel walau sedikit.

"Aku tidak mendengar kabar bahwa kau akan pulang," Fuguel melepas sepatu botnya yang dilapisi tanah dan meletakkannya di dekat pintu. Pria itu kemudian berjalan mendekati sumber kekacauan dengan tatapan tajam khas miliknya.

"Hei anak muda, apa yang sedang kau lakukan?"

"Ughhh …," Albert mengalihkan pandangan, mencoba mengelak dari pertanyaan yang Fuguel ajukan. Anak itu benar-benar mengacau kali ini.

Fuguel mengamati berbagai macam benda yang terletak di atas meja dan melihat tungku pembakaran dengan benda gosong di dalamnya. Berdasarkan kekacauan tersebut dapat disimpulkan bahwa Albert mencoba untuk memasak.

Melihat hasil dari masakan anak itu sudah jelas bahwa semuanya tidak bisa di makan. Semuanya tampak gelap dan meragukan. Fuguel sekali pun mungkin akan sakit perut dibuatnya.

"A-aku berpikir kau mungkin lelah … mmm … jadi … mungkin aku bisa membuatkan makanan." Albert tampak kebingungan menjelaskan dirinya. Sedangkan Fuguel menghela napas panjang.

Pria itu menarik kursi kemudian memakan makanan yang dibuat oleh teman pengembaranya. Melihat hal tersebut Albert tampak khawatir, dilihat dari segi apapun makanan itu jelas tidak dapat dikonsumsi.

"Kau tidak perlu memakannya," Albert cepat-cepat menarik piring berisi makanan gosong miliknya.

"Kau sudah membuatkannya untukku bukan? Lagi pula dengan kondisiku yang sekarang, makanan seburuk apapun tetap bisa kumakan."

Mendengar penjelesan Fuguel, tidak membuat Albert terlihat senang maupun kecewa. Meski pria berkuncir itu memakan masakannya, ia terdengar mengejek. Pada akhirnya Albert menyerahkan kembali piring tersebut kemudian menyiapkan air. Tentu saja air sangat penting. Tersedak merupakan situasi yang sepertinya tidak dapat dihindari.

"…."

"Apa kau yakin akan menghabiskannya?"

"…."

"Hei, kau tidak perlu memaksakan diri."

Ekspresi datar Fuguel terlihat mengerikan. Rasa makanan itu memperparah kondisi tubuhnya. Pria itu dengan sigap menghabiskan air putih yang disediakan.

"Lain kali, kau tidak perlu memasak jika tidak ingin membunuh seseorang."

"Ja-jahat sekali!" Albert terperangah mendengar komentar yang menusuk itu. Tetapi sepertinya ia cukup sadar diri untuk tidak lagi menyajikan makanan sebelum yakin makanan tersebut aman.

"Ngomong-ngomong kau habis dari mana? Tubuhmu luka di sana-sini."

Fuguel memperhatikan lengannya yang lebam. "Aku habis melakukan sparing dengan orang-orang dari keluarga Wohnheim."

Selama Albert berlatih di kediaman Vysteria, Fuguel kadang-kadang melakukan sparing dengan orang-orang Roxanne. Setelah pertarungan sengitnya di tengah-tengah kota, tampaknya Roxanne mengakui kehebatan Fuguel dan meminta secara langsung untuk melakukan sparing tersebut. Keluarga Wohnheim terkenal sebagai petarung yang kuat. Mengetahui adanya petarung hebat lainnya di luar sana membuat mereka merasa tertantang. Hal itu juga dianggap Fuguel sebagai pengisi waktu luang.

"Kau sendiri bukannya berlatih dengan keluarga Vysteria?"

Albert diam sejenak. Anak itu sempat ragu sebelum menceritakan hal yang terjadi antara dirinya dan Tuan Tyr. Namun, sudah diputuskan bahwa Albert akan selalu memberitahu Fuguel jika terjadi sesuatu yang mengancam dirinya.

"Jadi bagaimana? Jika kau ingin pergi dari sini, kita sebaiknya bergegas. Aku rasa mereka tidak akan melepaskanmu begitu saja. Aku yang bertanggung jawab karena menyeretmu ke dalam masalah ini," jelas Fuguel setelah mendengar pembicaraan Albert.

Albert bungkam. Ia mengerutkan alis---terlihat berpikir keras. Sampai detik ini anak itu belum memutuskan hal yang ingin ia lakukan. Percaya kepada Tuan Tyr begitu saja benar-benar bukan pilihan yang tepat, tetapi membiarkannya---bahkan setelah mendengar alasannya juga terasa salah.

"Fuga …," Albert terlihat bersedih, tampangnya seperti anak kecil yang benar-benar kesepian dalam kegelapan. "Ada hal yang harus aku ceritakan kepadamu." Si penyihir muda meremas bajunya seolah kesakitan. Tidak, dia memang kesakitan.

Reaksi yang ditunjukkan Fuguel di luar dugaan terlihat begitu tenang. Pria itu seolah mengetahui apa yang selanjutnya anak itu sampaikan. Ketika tiba waktunya, ia berjanji akan mendengarkan.

"Hanya dua orang di dunia ini yang aku percaya, pertama Iriel. Dia adalah orang pertama yang memberiku kesempatan untuk menjadi diri sendiri. Dia adalah sosok yang tak tergantikan, meski kadang menyebalkan …," Albert tersenyum tipis mengingat hal menggelikan yang ia lakukan bersama masternya. Kemudian ia melanjutkan, "Orang kedua adalah kau, Fuga." Ia menunjuk Fuguel dan menatapnya lekat-lekat. Tanpa sedikit pun kerutan di wajah, ia memberikan kesan dalam.

"Sampai sekarang aku tidak mengetahui masa lalumu, tidak pula menanyakan alasan tubuhmu bisa seperti sekarang. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah menanyakannya sampai kau sendiri yang mengatakannya. Meski begitu, aku memilih percaya." Albert menggelengkan kepala beberapa kali. "Bukan. Justru karena kau orangnya maka aku percaya. Sewaktu bertemu di Flugel kau memberiku makan di saat aku sekarat. Kemudian kau meminta tolong kepadaku, menunjukkan sisi lemahmu, sisi yang seharusnya tidak di lihat oleh orang asing sepertiku. Kau membuat diriku memiliki makna sebagai manusia. Karena itu …," Albert terisak beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya. "Karena itu aku akan melakukan apa pun keputusanmu. Tapi aku menyadari bahwa aku sangat egois, membuatmu bertanggung jawab atas semua hal. Jadi …," ekspresi Albert tampak melunak. Ia berucap lirih, "Kali ini biarkan aku memutuskan dan bertanggung jawab dengan benar atas keputusanku. Maaf."

Untuk beberapa saat Fuguel hanya diam. Rasa pahit dari makanan yang ia makan sudah hilang sejak tadi. Sulit menebak apa yang pria itu pikirkan. Wajah datarnya dan keheningan yang ia buat membuat suasana malam menjadi sedikit lebih dingin.

"Kau tidak perlu minta maaf," Fuguel akhirnya mulai berbicara setelah ia bangkit dari kursi dan mulai merapikan meja. "Terima kasih karena kau telah mempercayaiku anak muda."

Sepatah kata dari pria berkuncir itu lebih dari cukup untuk memberi kehangatan kepada hati yang membeku, bahkan es sekali pun seperti akan meleleh. Bisa saja pria itu mengucapkannya hanya sekadar basa-basi atau sebagai bentuk reaksi. Namun, Albert hanya tahu bahwa ucapan itu tulus. Tak perlu memahami ekspresinya, tak perlu menganalisis intonasi suaranya, tak perlu menyelami jiwanya, hanya mendengar kalimat itu, Albert tahu bahwa Fuguel menuangkan jiwanya yang terluka ke dalam kalimat itu.

"Jadi apa kau sudah memutuskan?"

"Belum, aku berniat untuk bertemu Tuan Tyr terlebih dahulu. Tergantung situasinya, keputusanku bisa jadi menolak atau menerima permintaannya." Albert meregangkan anggota tubuhnya, mencoba untuk rileks sebisa mungkin. Setelah itu ia membantu Fuguel merapikan kekacauan yang ia perbuat.

~