Chereads / A Story You Can Tell / Chapter 30 - Keriuhan Di Tengah Pesta

Chapter 30 - Keriuhan Di Tengah Pesta

"Fuga, apa kau yakin?"

Pria berkuncir itu kemudian mengangguk. Albert mengikat sepatu kulit hitamnya, bersamaan dengan itu ia menunjukkan wajah muram. Ada kebimbangan dalam diri anak itu.

Mereka berdua mengenakan setelan jas yang diberikan sebagai hadiah. Keduanya bersiap-siap menuju istana sebelum matahari akhirnya benar-benar tenggelam. Namun, ada perasaan yang menjanggal dalam diri Albert. Seusai Mithyst menyerahkan Lily of the valley kepada Iriel, pembahasan selanjutnya mengenai rencana perjalanan menuju lembah terlarang. Albert sendiri tidak yakin bila kelompok Mithyst bergabung bersamanya.

"Aku sudah bilang, mereka orang-orang yang kuat. Bersama mereka kita akan aman."

"Tapi …."

Lagi-lagi anak itu tak bisa membalas ucapan Fuguel, mereka lalu berangkat, menutup rapat pintu rumah dan berjalan menuju istana.

Dari awal Albert tidak pernah begitu mengerti dengan apa yang pria berkuncir itu pikirkan. Lagi pula sangat sulit menebak pikiran orang-orang tanpa ekspresi seperti Fuguel. Bahkan ada kalanya Albert merasa pria yang mengembara bersamanya itu benar-benar merupakan misteri, termasuk dengan segala keputusan yang ia ambil. Meski begitu, saat Albert khawatir dan ragu, ia mempercayakan semuanya pada keputusan Fuguel. Entah mengapa anak itu merasa bahwa pria itu benar-benar dapat dipercaya.

Saat di perjalanan suasana di antara kedua pengembara itu terasa berat. Kedunya berjalan tanpa sepatah kata pun terucap. Mereka seolah akan berangkat ke medan pertempuran. Padahal sebenarnya hanya akan ke pesta topeng.

"Hei nona!" Sapa Albert kepada seorang gadis yang menunggu di depan gerbang istana setelah sampai di sana.

Albert dan Fuguel memutuskan untuk berpisah karena Albert sudah memiliki janji lain dengan Julia. Lagi pula tidak semua orang dapat memasuki hall. Albert masuk sebagai tamu undangan bersama Julia. Sementara itu, si gadis yang berdiri di depan gerbang istana itu tampak menggunakan gaun merah selutut dengan pita merah di lehernya. Saat Julia melihat Albert muncul, wajahnya tampak berseri-seri.

"Maaf, apa aku membuatmu menunggu lama?" Tanya anak dengan rambut ikal yang kali ini disisir rapi.

"Tidak, aku yang sepertinya datang terlalu cepat," jawab gadis itu. Mereka kemudian menggunakan topeng yang senada dengan pakaian masing-masing. Topeng itu tampak menutupi setengah bagian wajah mereka dari mata hingga hidung.

Saat kedua anak itu berjalan masuk, Albert mengulurkan lengannya, dengan senyum bahagia Julia meletakkan lengannya melingkari lengan Albert. Keduanya menginjakkan kaki di halaman istana dengan terperangah. Meski mereka sudah melihat hasil persiapan sebelumnya, tetapi ketika lampu dinyalakan semuanya terasa berkilau. Folois lagi-lagi tampak bak negeri dongeng. Khususnya bagi anak yang belum terbiasa dengan lingkungan negeri itu.

"Andai Julius datang bersamamu, mungkin dia akan senang." Kalimat itu tiba-tiba terlontar dari mulut Albert, beberapa detik setelahnya ia baru sadar bahwa seharusnya ia tidak mengatakan itu.

Wajah Julia tampak tidak nyaman, gadis itu hanya diam. Dan Albert tersenyum kaku.

"A-apa aku boleh tahu saudaramu itu orangnya seperti apa?"

Julia kemudian berusaha tetap tersenyum ramah, kemudian menjawab pertanyaan Albert dengan suara lembut. "Julius dari dulu tidak suka keramaian, ia sering menghabiskan waktu di rumah dengan segala kesibukannya. Namun, kadang-kadang ketika aku memaksa bermain, dengan wajah kusutunya ia tetap menuruti keinginanku …," Julia kemudian tertawa kecil, lalu melanjutkan kalimatnya. "Dia benar-benar adik yang selalu membuat kakaknya khawatir. Meski begitu, dia adalah orang yang sangat bisa diandalkan."

Mendengar hal itu Albert tersenyum simpul, "Sepertinya kalian benar-benar dekat."

"Tentu saja, bagaimanapun kami ini anak kembar."

Degan perlahan, langkah kaki kedua anak itu sampai di hall yang berada di lantai dua. Tempat yang hanya dimasuki oleh tamu-tamu khsusus. Penduduk Folois umumnya hanya berada di halaman.

"Apa kau yakin aku bisa masuk?" Tanya Albert.

"Iya, kau tidak perlu khawatir, Julia sudah mempersiapkan semuanya."

Meski Albert tidak yakin, ia hanya memasrahkan nasibnya kepada gadis yang tengah digandengnya itu. Mereka menyerahkan undangan lalu disambut hangat oleh pelayan di depan hall. Mereka memasuki ruangan dengan chandelier raksasa di tengah langit-langit yang tinggi menjulang. Suasana yang sangat megah.

"Selamat malam Nona Elvin." Seorang pria bersama pasangannya menyapa Julia di dekat pintu masuk. Wajah pria itu tidak terlihat karena topeng merah tua di wajahnya, tapi sepertinya ia mengenali Julia.

Julia mengangkat gaunnya kemudian menyilangkan kaki dan menunduk. "Selamat malam Tuan dan Nyonya Wohnheim." Albert yang melihat gadis itu turut memberikan hormat.

"Siapa mereka?" Bisik Albert setelah kedua orang itu pergi.

"Mereka adalah orang tua Roxy."

"Ahh … pantas saja rambut merah pria itu mengingatkanku pada seseorang."

Selama berada di hall, dua tiga orang telah menyapa Julia. Dari sana Albert belajar bahwa gadis itu sepertinya benar-benar bukan orang sembarangan. Tetapi di sisi lain terdengar samar-samar orang bergunjing di sekitar Julia. Albert awalnya berpikir, mungkin saja itu hanya perasaannya sampai seorang pemuda berusia lima tahun di atasnya datang menyapa gadis itu.

"Wah Nona Elvin, rupanya kau hadir juga," meski ucapannya seperti sapaan biasa, tapi dari nada bicara pemuda itu terdengar ledekan. "Aku hanya tidak menyangkanya," sambung pemuda itu sembari menggoyang-goyangkan gelas berisi minuman pekat berwarna merah di tangan kanannya.

Saat melihat pemuda itu, Julia mengepalkan tangannya erat, dari gestur gadis itu terdapat sedikit geram. Albert tidak bisa melihat wajah pemuda itu, tapi mata hitamnya tampak menantang gadis muda di hadapannya. Sebuah pemandangan yang sangat tidak elegan.

"Selamat malam Tuan, perkenalkan saya Albert," Albert mengambil inisiatif, mencoba untuk mencairkan suasana di antara mereka. Setelah memberi penghormatan, ia kemudian mengulurkan tangan.

Mimik pemuda itu tampak enggan, meski begitu ia tetap menjabat tangan anak muda di hadapannya. Ia lalu melirik Julia dan mengucapkan, "Hmmm … jadi dia tamu tambahan yang kau undang kali ini."

Albert sedikit terperanjat, kalimat pemuda itu juga tampaknya benar-benar menusuk Julia. Gadis itu bahkan hanya menunduk dengan wajah merah padam.

"Nona Elvin telah menolong saya berbagai hal selama beberapa hari terakhir ini. Suatu kehormatan bisa diundang di pesta penutupan Eleusinia." Jelas Albert dengan menunjukkan senyum, meski senyum itu memiliki fungsi yang sama dengan benda di wajahnya.

Pemuda itu kemudian tersenyum angkuh. Ia tampaknya masih belum puas menjahili Julia. "Asal kau tahu saja, gadis ini selalu mengajak 'tamu-tamu khusus' untuk menemaninya ke pesta. Tentu saja kau adalah orang ke sekian yang diajaknya," jelas pemuda itu, membuat Julia semakin tidak nyaman.

Albert tidak bisa membiarkan keadaan menjadi lebih buruk. Gadis dengan gaun merah di sampingnya terlihat akan mengeluarkan air mata.

"Nona Elvin benar-benar rendah hati, ia memberi kesempatan bagi orang-orang seperti kami untuk menikmati pesta megah seperti ini."

Mendengar penjelasan Albert dan melihat senyum simpul di bibirnya membuat pemuda itu tidak bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan sekaligus kesal karena ucapan yang anak itu lontarkan.

"Terima kasih Albert," ucap Julia lirih.

Setelah bercakap dengan suasana tegang, pemuda itu berpaling dan memutuskan untuk pergi. Tetapi saat ia beranjak, sudut bibirnya tampak terangkat ketika melihat seorang pelayan datang mendekat.

"Splasshhh"

Rambut dan pakaian Albert dipenuhi cairan berwarna merah pekat akibat minuman yang tumpah dari tangan pemuda itu. Albert menyadari bahwa pemuda itu berniat buruk kepada Julia dan dengan sigap melindungi gadis itu. Kejadian tersebut kemudian disaksikan oleh orang-orang sekitar, membuat Albert menjadi pusat perhatian.

"Apa yang kau lakukan?!" Bentak Julia kepada pemudia itu dan pelayan yang menabraknya. Julia tampak panik, ia kemudian mengambil sapu tangan di kantongnya dan memberishkan wajah Albert.

"Maafkan saya," pelayan itu kemudian menunduk berulang kali untuk minta maaf. Sedangkan pemuda itu, dengan angkuhnya berbalik dan beranjak pergi.

"Tunggu!" Julia menarik lengan pemuda itu. "Kau belum meminta maaf." Tatapannya begitu tajam. Membuat pemuda itu tidak bisa mengabaikannya.

"Si Pelayan sudah minta maaf, lagi pula ini adalah kecelakan."

Pada akhirnya mereka mulai bersilat lidah hingga membuat sebuah kerumunan. Orang-orang mulai bertanya-tanya dengan kejadian yang baru saja terjadi. Sebelum kejadian semakin runyam, terdengar suara seorang gadis yang membuat suasana hening.

"Curtis, kau harus minta maaf, bagaimanapun kau yang menumpahkan minuman itu." Jelas gadis itu setelah memasuki kerumunan. Orang-orang di sekitar dengan pekanya membuatkan jalan untuknya.

Sedangkan pemuda yang sepertinya bernama Curtis itu berdiam diri dan tampak kesal. Ia memalingkan wajah, kemudian dengan kaku ia berakata, "A-aku minta maaf."

Orang-orang terkejut ketika sosok gadis itu masuk ke dalam kerumunan, gadis dengan tinggi badan 167 cm itu tampaknya bukan orang biasa. Dalam sekejap ia mampu membuat orang-orang bungkam.

"Curtis, kau tidak boleh menjahili Julia, bagaimanapun dia berasal dari keluarga Elvin dan juga pengikut setia 'adikku itu'," jelas si gadis berambut pajang sebatas pinggul. Ia yang menggunakan gaun putih menyapu lantai dengan bahu terbuka membuat wajah para pria di sekitarnya memerah. Meski mengenakan topeng, tetapi keanggunan yang gadis itu pancarkan tidak mampu membuat orang-orang berpaling.

Setelah sosok itu meredakan keriuhan, ia beranjak pergi. Namun, sebelum itu ia menjelaskan satu hal, "Barang cacat sekalipun diterima di Negeri Rurall ini. Makanya Curtis, seharusnya kau juga berlapang dada."

"Ba-baik, Yang Mulia," balas pemuda itu singkat. Ia kemudian mengikuti sosok gadis tersebut pergi. Kerumunan di sekitar Albert dan Julia akhirnya satu per satu beranjak.

Hanya saja, mendengar kalimat terakhir sosok gadis itu membuat Albert kurang nyaman. Dengan tetesan minuman di rambutnya, ia mengerutkan dahi kemudian bertanya, "Siapa wanita itu?" Bisiknya.

Julia menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab. "Tuan Putri Serena, ia adalah Putri Pertama keluarga Quinsley." Mendengar nama itu, Albert hanya dapat tertawa penuh ironi.

"Julia!" Teriak seorang wanita yang bergegas menghampiri Julia. Wanita dengan gaun kuning Sebatas mata kaki itu tampak khawatir. "Apa kau tidak apa-apa?" Tanyanya.

"Julia baik-baik saja," gadis itu kemudian melirik anak muda di sampingnya. "Tapi Albert …."

"Maaf karena aku tidak bisa bersamamu." Roxanne mendekap erat gadis itu. Ada penyesalan yang teramat sangat terdengar dari suaranya.

"Tidak masalah Roxy, lagi pula ini sudah seperti biasanya." Julia kemudian tersenyum ceria. "Tapi kali ini sedikit berbeda, Albert melindungiku."

Roxanne mengerutkan dahi, meski begitu ia menunjukkan senyum hangat. "Hei anak muda!" Roxanne menegur Albert kemudian melepaskan dekapannya. "Terima kasih karena sudah melindungi Julia," ucapnya. Albert hanya mengangkat bahu sembari tersenyum, menandakan bahwa tindakannya bukan hal yang seluar biasa itu.

"Kau bisa ke ruang belakang membersihkan diri." Roxanne kemudian memanggil salah satu pelayan. Pelayan tersebut yang mengantar dan membantu Albert berbenah diri.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Albert, anak itu sedikit cemas meninggalkan Julia sendiri.

"Tentu saja Julia baik-baik saja."

Albert mendengus dan akhirnya pergi bersama pelayan tersebut. Setelah sampai di ruangan tempat para pelayan istirahat, Anak itu melepaskan jas hitam yang ia kenakan dan membersihkan diri. Sayangnya, noda merah di kerah kemeja putihnya tetap berbekas. Albert hanya dapat menghela napas panjang setelah semua yang terjadi.

Setelah selesai merapikan diri, Albert memutuskan berjalan-jalan lalu menuju balkon. Suara alunan musik tampaknya begitu memekakkan bagi anak itu. Memandang langit malam dari lantai dua istana sepertinya tidak buruk juga. Dengan menyandarkan kedua lengan di pagar balkon, Albert menikmati siliran angin malam.

Sesekali anak itu memandangi halaman istana yang sedikit banyak merupakan hasil jerih payahnya. Anak itu terkekeh jika mengingat kejadian ketika ia harus bekerja. Tak pernah sedikitpun terbesit di pikirannya bahwa dia akan menjadi tukang kebun.

Tawa Albert akhirnya terhenti dan tenggelam dalam suasana malam. Anak itu kembali berpikir, "Rupanya karena alasan ini Julia mengajakku. Di negeri manapun, di belahan dunia manapun, tetap sama saja … prasangka-prasangka yang ditujukan tanpa memandang siapa pun. Pastinya tidak menyenangkan ke sebuah pesta seorang diri dengan tatapan-tatapan dingin yang ditujukan kepadamu"

Baru saja Albert akan kembali masuk, ia melihat cahaya dari halaman istana. Rupanya api unggun mulai dinyalakan, sebentar lagi acara puncak. Dan Raja Rurall akan menyampaikan pidatonya.

~