~Waktu berlalu, seiring berjalannya masa. Noe adalah sejarah di Agandara~
Kini A tengah mengejar Anak dan Ayah itu. A harus membalaskan dendam Noe yang tidak tertuntaskan. Apapun dan bagaimanapun caranya.
"Gue sayang sama Noe. Dia udah gue anggap adik sendiri. Jadi, siapapun yang menyakitinya akan mendapatkan yang setimpal," gumam A.
Mata A melihat sepenjuru gang X itu. Ia tersenyum smirk saat melihat Anak dan Ayah itu berlari keluar dari gang.
"Berhenti!" teriak A dengan pistol yang ia arahkan ke arah Anak dan Ayah itu.
Aldo menyuruh Ayahnya berhenti. Ia tidak mau dianggap pecundang karena terus melarikan diri. Lagipula ini kesempatan emas membunuh A karena lelaki itu tengah sendirian.
"Aldo akan melawannya Ayah."
"Tidak Aldo. Lebih baik kita melarikan diri."
A berjalan perlahan menghampiri mereka. Namun, belum sempat Aldo mengeluarkan pistolnya dari saku celananya, A lebih dulu menembak lelaki itu tepat di dahi. Aldo langsung ambruk tak bernyawa lagi.
A hanya ingin bermain dengan si tua bangkak. Si pengkhianat. A sangat benci pengkhianatan.
"Gue, 'kan udah bilang jangan bermain-main dengan Agandara!" teriak A kesetanan membuat tua bangkak itu ketakutan apalagi melihat putranya itu sudah tak bernyawa.
"Lo udah ngebunuh saudara gue." A menangis. Deraian airmata keluar.
"Itu sama halnya lo udah ngebunuh Agandara!"
A semakin mendekat. Mengeluarkan pisaunya.
"Kenapa? Kenapa lo renggut Noe dari kami?"
"Bedebah lo!" Kini A sudah di hadapan tua bangkak itu. Dengan gemetar tua bangkak itu berlutut, memohon ampun kepada Alister.
Namun, Alister itu sudah bukan Alister yang dulu. Salah siapa menyia-nyiakan kesempatan yang telah ia berikan tadi. Menolak kesempatan itu sama saja kau tak sayang dengan nyawamu.
A menarik baju tua bangkak itu hingga ia berdiri dengan ketakutan.
"Kembalikan Noe! Kembalikan! Kembalikan! Ayo kembalikan! Noeku...."
"Maafkan aku! Aku tidak bisa mengembalikan Noe," ujar tua bangkak itu.
"Lalu kenapa lo melakukan itu. Dia sudah tiada. Itu semua karena lo!"
SRET!
SRET!
DOR!
Tua bangkak itu ambruk dengan tubuh yang kejang-kejang. Kemudian A menginjak luka itu hingga membuat tua bangkak itu berteriak kesakitan. Raungan tak mengenakkan.
Tiba-tiba Agandara datang dengan Niel yang menggendong Noe.
"Noe udah tiada," ujar mereka.
Tes tes tes
Airmata A keluar menatap tubuh Noe tak bernyawa. Mata yang tertutup begitu rapi. Setelahnya A kembali menatap tua bangkak itu.
A menjongkok dengan menduduki tubuh tua bangkak itu. A menancapkan pisau itu di dada tua bangkak itu.
SRET
"Ini karena lo ganggu Agandara."
SRET!
"Ini untuk tangis Noe!"
SRET!
"Ini untuk teriakan kesakitan Noe!"
SRET!
"Ini untuk dendam Noe."
SRET!
"Ini untuk Noe."
Pisau di tangan A terjatuh. Pisau itu sudah berlumuran dengan darah. Sedangkan tua bangkak itu sudah tergeletak tragis dengan luka tusukan dan tembakkan di tubuh.
A kemudian berlalu menghampiri Agandara yang menangis tersedu-sedu. Kehilangan bukan semudah kertas berterbangan, kehilangan bukan sesakit saat diputuskan pacar. Kehilangan sahabat adalah hal yang paling sakit dan menguras emosi serta tenaga.
Agandara hanya bisa menangis dan menangis. Menyesal karena mereka tak bisa menjaga Noe. Satu Agandara telah tiada dan berjanji tidak akan ada lagi yang tiada. Mereka memeluk tubuh Noe. Tubuh Noe begitu dingin sangat dingin.
•••
Hari ini, Noe dikebumikan oleh Agandara. Hanya dihadiri oleh Agandara dan Ayah A dan Gilang. Serta seorang pendeta untuk mendoakan Noe supaya tenang di alam sana.
Peti Noe perlahan tertutupi oleh pasir, kian lama kian menumbuk membuat tubuh Noe sudah benar-benar tak lagi ada. Noe tak lagi bersama-sama dengan Agandara.
Dengan wajah sedih Agandara mendoakan Noe. Mereka berdoa dengan harapan Noe akan selalu baik-baik saja. Noe ditempatkan di tempat yang indah.
"Noe, selamat tinggal. Gue sayang sama lo." Gilang.
"Dah Noe, semoga kamu bisa tenang. Gue cinta sama lo." Rayn.
"Hai, apa kabar? Kau tak akan berdiri di samping kami lagi saat Agandara bertindak. Selamat beristirahat." Abra.
"Kamu yang baik di sana Sayang. Niel sayang sama Noe. Pasti dingin, 'kan? Niel berharap Noe yang tenang di sana." Niel.
"Ada hal dimana ini sangat sakit. Kehilangan Noe bukan hal yang mudah bagi Agandara. Terimakasih selama ini Noe jadi saudara sekehidupan kami. Bye Noe." Amon.
"Bye Noe, kami pasti akan merindukanmu. Berharap lo yang tenang di sana." Alfraid.
A tersenyum memejamkan matanya. "Apa gue harus ikhlaskan lo? Gue pikir itu berat. Kami pasti akan sangat merindukan lo. Lo bank senyum buat kami. Lo gak ada lagi saat kita ke markas. Bermain di pantai. Berlibur bersama. Ini saja kami sudah merindukanmu. Bagaimana nanti? Gue sudah ikhlaskan lo. Semoga lo bisa beristirahat dengan tenang. Aku mencintaimu, Noe."
•••
Hari berlalu begitu cepat. Satu minggu lamanya Noe meninggal. Agandara hanya uring-uring gak semangat. Bahkan satu minggu ini mereka tidak sekolah. Mereka hanya berdiam diri di rumah A.
Semuanya terlihat tak bersemangat. Seolah tak ada harapan lagi. Iya, kehilangan itu bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti kita akan terus berlarut dalam kesedihan.
"Mana A?" tanya Gilang yang baru datang ke ruang tamu.
"Ngunci diri di kamar," jawab Niel.
Yaps, sepertinya A yang paling-paling kehilangan di sini. Bagaimana tidak, ini sudah pernah terjadi. Sampai sekarang A tidak tahu dimana keberadaan Aksel. Dan sekarang Noe harus meninggalkan mereka juga.
Tidak! Sebagai manusia A tidak kuat. A memandang foto Noe dan Aksel.
"Sel, lo dimana? Gue kangen," ujar A.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar A berbunyi, A terpaksa meletakkan foto itu di atas nakas. Lalu berjalan untuk membuka pintu. Sebelum itu A mengusap dengan sangat keras wajahnya.
Ceklek!
Pintu terbuka menampakkan Agandara yang berdiri di depan pintu.
"Ada apa?" tanya A terlihat biasa-biasa saja.
"Lo baik-baik saja?" tanya Gilang.
"Masa Master yang paling sedih. Master harus kuat. Noe, ao!" Niel berdecak kesal kala melihat Amon mengucapkan nama Noe. Itu sama saja membuat A teringat kembali teringat dengan Noe.
Alhasil Niel menyiku lembut perut Amon.
"Gue baik-baik saja kok. Gue hanya ingin sendiri dulu." A berniat menutup pintu lagi, tapi terhalangi oleh Gilang. Teman-temannya itu langsung menyerbu ke dalam kamar A.
Mereka sedang berusaha untuk tidak sedih tentang Noe. Namun, mengingat kebersamaan mereka sekarang yang tanpa Noe membuat semua mata berkaca-kaca, tapi mereka berusaha untuk kuat.
"Besok kita sekolah," ucap Alfraid.
"Yah, sudah cukup kita bersedih. Lagipula Noe tak menginginkan ini," timpal Rayn.
"Benar itu Master. Kita harus kuat demi Noe. Melanjutkan lembaran kita tanpa melupakan lembaran kita bersama Noe," sahut Niel.
Agandara memeluk Alister. A tersenyum, benar kata teman-temannya. Mereka harus melanjutkan lembaran mereka.
"Baiklah. Kita akan melanjutkannya."