~Agandara bubar?~
Makan malam di kediaman Clovis terlihat hening. Hanya dentingan sendok yang berbunyi tanpa ada mata yang saling memandang. Mata hanya fokus pada makanan mereka.
Terlihat Alister hanya menunduk tanpa ada niat untuk memakan makanannya. Hanya tatapan nanar dan bengong lebih tepatnya Alister sedang melamun.
Lelaki itu bertanya dalam diam. Hatinya sedang gelisah memikirkan sang Ayah yang mengatakan bahwa Agandara harus bubar. Apa mungkin ia akan melakukan itu? Agandara adalah hidupnya selama dua tahun ini.
Gilang hanya melirik Alister sejenak dan setelahnya melihat Ayahnya. Gilang tak bisa bayangkan Alister dan Ayahnya bertengkar tadi sore. Gilang hanya bisa menenangkan Ayahnya yang hampir menampar Alister. Mungkin saat ini Alister sedang marah kepada Ayahnya.
Alister terus bersikokoh tidak akan membubarkan Agandara yang membuat emosi Ayahnya meledek. Dan terjadilah pertengkaran sengit itu.
Sekarang Gilang satu-satunya dinding pemersatu Ali sama Ayahnya. Namun, bagaimana caranya ia akan membuat Alister dan Ayahnya kembali seperti sedia kala?
Ah! Gilang hanya bisa menghela nafas. Kemudian menyenggol lengan Alister, tapi nihil lelaki itu tak bergeming menatap Gilang.
"Ayolah! Kapan suasana ini akan berakhir?" Gilang meraup wajahnya dengan kasar. Makan malam ini benar-benar terasa hambar.
Tak ada yang saling berbicara. Hanya diam, diam, dan diam yang terjadi. Bagi Gilang itu sangat membosankan.
Alister terlalu hanyut dalam pemikirannya. Perkataan sang Ayah terus berkeliaran di dalam pemikirannya.
FLASHBACK ON
'Bubarkan Agandara!"
'Tidak Ayah! Itu tidak akan pernah terjadi sampai kapanpun.'
'Lalu apa Alister? Apa kau belum cukup mengorbankan Noe?'
Sesaat Alister terdiam. Tak lama airmatanya mengalir ketika memorinya kembali mengingat Noe. Adik Agandaranya telah tiada dan bahkan untuk bertemu dengannya sekali saja itu mustahil.
'Hiks! Agandara tak bisa hidup tanpa aku Ayah. Dan begitupun denganku, aku tak bisa hidup tanpa Agandara.' Alister bersujud di depan Ayahnya. Dengan tangan yang mengatup di depan dada, Alister terus saja menangis.
Prang!
Ayah Alister melempar barang yang tersusun rapi di atas meja membuat Alister tersentak. Begitupun dengan Gilang. Lelaki itu bungkam seketika.
'Ayah!' teriak Gilang.
'Kamu Alister sudah keterlaluan! Kamu sudah banyak berubah dan tidak mendengarkan Ayah!'
Alister berdiri. "Ya! Aku memang sudah berubah! Aku bukan anak kecil lagi! Aku tahu kehidupanku. Tidak seperti Ayah, hanya tahu bicara saja. Melarangku ini itu. Aku benci!'
Ayah Alister terkejut mendengar penuturan Anaknya itu yang mampu membuat hatinya terasa sakit. Anaknya yang ia rawat dari kecil tanpa seorang ibu dan sekarang Anaknya itu berani mengatakan hal sekejam itu?
Karena emosi, Ayahnya Alister hampir menampar A kalo Gilang tak cepat memeluknya dan menenangkannya.
'Sudah Ayah! Hentikan!'
'Ingat Alister, kamu akan menyesal. Jangan biarkan sampai teman-temanmu menjadi korban.'
FLASHBACK OFF
Tes tes tes
Airmata Alister terjatuh mengenai makanannya yang bahkan sesendok pun belum memasuki mulutnya.
Ia tak ingin membubarkan Agandara, tapi ia juga tak ingin Agandara terluka. Seandainya, Jie ada di sini maka gadis itu bisa menemaninya yang sedang gelisah ini.
Ia juga bukan hanya melindungi Agandara. Ia juga memiliki banyak teka-teki yang harus ia pecahkan. Mulai mencari kenapa Jie memutuskannya hingga siapa yang berani membunuhnya.
Alister rindu mengingat kala kenangan di panti jompo. Itu lebih baik daripada sekarang. Ia ingin kembali ke masa lalu atau setidaknya ia amnesia dan melupakan ini semua.
"Aku tidak lapar. Aku ingin pergi, jangan cari aku." Alister bangkit berdiri, tetapi langsung dihalangi oleh Gilang.
"Kamu mau kemana?" tanya Gilang khawatir.
"Jangan khawatir kak. Aku akan kembali."
"Tapi katakan dulu kamu ingin kemana supaya aku tidak khawatir."
"Sudahlah Gilang. Biarkan dia pergi."
Gilang dan Alister menatap sang Ayah yang tiba-tiba pergi dari ruang makan. Hingga punggung sang Ayah tak nampak kala menaiki tangga ke lantai atas.
"Bagaimana aku akan memberitahumu kalo Kakak akan mengikutiku?"
Gilang menangkup pipi Alister dengan kedua tangannya. "Baiklah. Kau boleh pergi, tapi kalo ada apa-apa langsung telfon Kakak." Alister mengangguk.
Kemudian Alister berlari kecil menaiki anak tangga untuk mengambil hoddienya. Ia kembali turun dan menghampiri Gilang.
"Aku pergi dulu." Pamit Alister.
"Ingat jangan pulang melebihi jam 11 malam."
Alister tersenyum. "Oke Kak," ucapnya.
•••
Disinilah Alister sekarang. Di depan gundukan tanah yang dimana tempat pemakaman Noe. Lelaki itu masih tak bisa melupakan Noe walau sudah hampir tiga hari Noe meninggal.
"Hai," sapanya seolah ia ingin berbicara dengan Noe.
"Sudah tiga hari bukan? Selama itu kamu baru pergi dan gue masih merindukanmu."
"Gue minta maaf karena gak bisa menjaga lo. Gue emang egois."
Tes tes tes
Airmata Alister mengalir lagi. Entah sudah berapa banyak lelaki itu mengeluarkan airmatanya setelah Noe meninggal. Rasanya tetap beda setelah Noe meninggal.
"Gue gak bisa jadi ketua yang baik. Gue emang idiot! Gue ngorbanin lo!" teriak Alister merasa kecewa dengan dirinya sendiri.
Ia merasa bahwa ia penyebab Noe meninggal. Meski, kenyataannya bahwa yang terjadi kepada Noe adalah kecelakaan dan jauh dari batas kemanusiaannya.
"Gue bodoh! Gue bajingan! Gue rindu Agandara yang utuh," lirihnya di akhir kalimat.
"Noe. Apa gue harus ngebubarin Agandara atau tetap melanjutkan ini?"
'Kita, adalah Agandara. Jangan pernah merasa sendiri. Karena kita adalah sahabat. Satu masalah akan kita selesaikan bersama-sama. Kita gak boleh menyerah sampai maut tiba menyapa.'
Tiba-tiba saja motto Agandara yang mereka pampang di atas dinding di markas mereka melintas di kepala Alister. Sejenak lelaki itu terduduk merenungkan setiap kata pada motto hidup Agandara.
Ia hampir lupa bahwa ia itu tidak sendirian. Masih banyak Agandara yang bergantung kepadanya. Namun, jika ia sudah berserah seperti ini, bagaimana kehidupan Agandara.
Tidak! A bangkit dari duduknya. Menghapus airmatanya. Ia memandangi kuburan Noe lantas menjongkok. Mencium salib yang ditancap di atas kuburan itu.
"Noe. Besok gue dan teman-teman akan mengunjungimu. Saat itu kami akan membawa semua kesukaanmu. Aku pergi dulu."
Alister kemudian bangkit berdiri lagi. Ia memandangi kuburan Noe sejenak barulah lelaki itu benar-benar pergi.
Kini, Alister sedang berdiri di depan cafenya Amon lebih tepatnya tempat markas mereka. Sebuah senyum terbit di wajahnya. Alister memandangi handphonenya. Berniat menghubungi Amon.
Amon tinggal di cafe ini. Cafe ini sudah menjadi rumahnya sebagai anak yatim.
Sambungan terhubung.
'Yah Master. Ada apa?"
"Buka pintu cafe, gue ingin masuk."
'Hah? Master di depan? Kenapa Master di depan? Malam-malam begini?'
"Banyak bacot lo. Cepat bukain pintunya."
Tut!
Sambungan terputus.
Alister terkekeh mendengar pertanyaan Amon yang bertubi-tubi. Ia memiliki tanggungjawab besar di Agandara. Senyum Agandara, tawa Agandara, kebahagiaan Agandara, adalah hal terpenting baginya.
Ia tidak mau egois dan mengorbankan sahabatnya. Bahkan ia rela dirinya terluka supaya Agandara bisa hidup menjadi manusia normal. Alister sudah kapok orang yang ia sayangi menjadi korban.
Pintu cafe terbuka menampakkkan lelaki yang tengah tersenyum ke arahnya. A melambaikan tangannya dibalas hal yang sama oleh Amon.
"Ayo masuk, Master," ajak Amon.
A kemudian memasuki cafe itu dengan merangkul Amon. Dahi lelaki itu mengerut. Amon terus memperhatikan wajah A yang terlihat sembab, tetapi bibir yang melukiskan senyum.
Amon merasa ada hal yang tidak beres dengan Masternya ini.
"Master kenapa ke sini? Ada masalah di rumah?" tanya Amon.
A menoleh menatap Amon. Lelaki itu tersenyum. Terlihat sekali A sedang menyembunyikan masalahnya.
"Gue? Ada masalah? Sorry sang Master itu gak pernah ada masalah. Meski ada masalah, gue pasti bisa mengatasinya."
"Yang bener saja. Master pasti berbohong, ya?"
Kini mereka sudah sampai di dalam markas. Kebetulan markas tersebut ada sebuah ranjang tempat tidurnya Amon. Atau juga bisa tempat peristirahatan para Agandara.
Amon duduk di atas ranjang sembari menunggu jawaban dari Alister. Ia yakin ada yang tidak beres dengan masternya ini.
A menghembuskan nafasnya. Ia menatap Amon dalam-dalam, lalu ikut duduk di pinggiran ranjang di samping Amon. A merangkul Amon.
"Gimana, ya? Gue emang ada masalah. Bokap gue dan gue udah berantem."
"Berantem kenapa?" Amon langsung memotong ucapan A membuat A mendengus kesal.
"Lo dengerin dulu bocah." Amon menyengir tak berdosa.
"Bokap gue bilang supaya Agandara bubar."
Pernyataan dari A itu membuat Amon melotot tak percaya. Bagaimana bisa Agandara bubar sementara Agandara udah ada selama dua tahun?
Amon berpikir ini adalah pernyataan paling buruk yang pernah ia dengar.
"Gue gak setuju Agandara di bubarin." Amon mengambil posisi berdiri dengan mata yang menatap A seolah meminta penjelasan tentang ini.
A bangkit berdiri. Memegang kedua bahu Amon. "Gue juga gak mau Mon, tapi apa gue harus nunggu sampai kalian jadi korban baru Agandara di bubarin."
"Masalah itu selalu ada. Itu gunanya Agandara ada supaya masalah bukan masalah sendiri. Kita bisa menyelesaikannya bersama-sama."
"Gue tahu. Gue percaya kita bisa mencari semua di balik ini. Gue masih gak yakin ada apa dengan kematian Noe. Apa perlahan kita akan menjadi korban?" tanya A.
Amon memijit pelipisnya. "Maksud lo?"
A tersenyum miring. "Agandara gak akan bubar. Mari kita bersenang-senang sambil memecahkan teki-teki ini. Lo tahu, kita bukan orang sembarangan. Noe meninggal bukan hal kebetulan mengenai hal yang sudah direncanakan. Dan ini bukan tentang dendamnya kepada Pamannya, tapi dendam seseorang terhadap kita."
"Kita, siapa?" Amon terlihat masih tidak mengerti.
"Noe meninggal memang sudah direncanakan oleh seseorang goblok. Jadi, kita harus mencari tahu siapa seseorang yang pastinya sedang menguntit kita. Dia tahu siapa saja Anggota Agandara. Dan yang jelas bukan salah satu dari kita."
"Oh. Kok gue gak nyangka dan bagaimana Maater bisa tahu?"
"Lo tahu Aldo dan Ayahnya yang menyekap Noe?" Amon mengangguk.
"Mereka gak akan kabur tanpa membawa Noe bersama mereka. Karena semua aset waris itu ada di tangan Noe. Tentu tanpa Noe mereka gak bisa ngambil hal waris itu. Jadi, sudah tentu mereka menyekap Noe karena seseorang menyuruh mereka. Gue, Rayn, dan Abra udah tahu lama. Setelah kita menguburkan Noe. Abra dan Rayn memberitahu gue. Rayn telah menyadap jaringan gudang itu dan ada sebuah cctv yang hidup." A menarik nafasnya.
"Lalu?" tanya Amon semakin penasaran.
"Jadi, di sana tua bangka itu sedang berbicara dengan seseorang. Gue punya rekamannya."
A kemudian mengeluarkan handphonenya dan memberitahu Amon tentang rekaman itu. Benar, dalam rekaman itu ada tua bangka dan Aldo serta seseorang yang masih belum diketahui identitasnya sedang berbicara dengan mereka.
"Gue ngerti Master. Seseorang ini menggunakan Aldo dan paman Noe menjadi tersangka dan kita akan membunuh mereka. Padahal mereka juga diancam oleh seseorang itu."
"Yah. Otak lu kurang konek banget."
Amon menyengir. "Biasa gue gak sering minum milo makanya otak gue kadang ngelag."
"Bisa aja lo kutuk semplak."
"Oh btw, gue nginap," sambung A.
"Bilang aja lo masih marah ama bokap lo?"
"Terserah gue dong. Kalo iya emang kenapa?"
"Tualat lo jadi Anak,tapi Master ini akan kita selidiki, 'kan? Gue gak mau Noe menderita karena pembunuh yang sebenarnya belum terungkap."
"Itu sudah pasti. Gue, Abra, Rayn, dan lo bakal selidiki ini. Lo sama Abra sepulang kampus besok langsung ke TKP."
"Dan Master?"
"Gue ada urusan." A membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Jie?" tebak Amon.
A melirik Amon sejenak lalu kembali menatap langit-langit markas. "Dia seseorang yang sangat penting setelah kalian."
"Gue percaya, Master bisa meluluhkan hatinya."
"Hmmm."
A hanya menanggapi dengan deheman. Ia kemudian menarik selimut lalu tak lama lelaki itu tertidur dan menuju alam mimpi. Begitupun dengan Amon. Ia memeluk A dengan erat. Lihatlah sebegitu sayangnya Agandara kepada Alister.