Sepulang dari kampus, Alister dan Gilang dibuat terkejut dengan pagar rumah mansion mereka yang terbuka. Keduanya saling tatap-menatap. Seolah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Juga tidak ada satpam yang berjaga di lobi penjagaan.
Biasanya, satpam itu akan membuka pagar ketika A dan Gilang pulang dari kampus atau darimanalah, tapi ini ... kemana satpam itu?
"Kok pagar rumah kebuka, kak? Satpamnya juga kemana?" tanya A.
"Kau bertanya kepadaku atau kepada pagar ini? Yang jelas mana gue tahu, anjrot!" Gilang mendengus kesal. Bagaimana tidak? Adiknya itu malah bertanya kepadanya apa yang terjadi seolah ia tahu semua kebenarannya. Padahal udah jelas mereka berdua baru pulang dari kampus dan tidak tahu apa yang terjadi.
Belum lagi dengan apa yang terjadi yang membuat kepalanya bingung luarbiasa. Sudah ditambah dengan A yang bertanya dengan konyol.
"Yah, aku pikir kakak tahu." A tersenyum sumringah sambil menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
Dengan perasaan kesal, Gilang keluar dari mobil tanpa menanggapi ucapan A tadi. Ia ingin melihat apa yang terjadi. Sementara A, lelaki itu mengendarai mobil memasuki perkarangan rumah. A sedikit jengkel. Niat ingin beristirahat sepulang dari kampus dan lihat apa yang malah terjadi.
Pagar rumah yang terbuka serta satpam yang tiba-tiba hilang membuat rasa lelahnya bertambah saja. Kekesalannya tak berhenti disitu saja. Tugas yang biasanya dilakulan oleh satpam malah dilakukannya. Apalagi kalau bukan memasukkan mobil ke dalam garasi. Ah! Benar-benar menjengkelkan.
"ALISTER! CEPAT KEMARI!"
"Apa lagi, sih?"
Jika begini terus, maka ia akan mendapatkan serangan jantung secara tiba-tiba. Lihatlah, Gilang berteriak membuat A kesal setengah mati. A meraup wajahnya dengan kasar dan segera menyusul Gilang ke dalam rumah yang entah berteriak kenapa.
"Ada ap ...."
Mata A melotot melihat seisi rumah yang sudah mirip dengan kapal pecah yang diterjang badai. Mulut lelaki itu menganga membuat Gilang terkejut melihat ekspresi adiknya itu. Dengan pelan Gilang kembali merapatkan bibir A. Takutnya, nanti lalat masuk dan membuat A malah tersedak.
"Sialan! Apa yang terjadi dengan mansion kita?" A menatap mata Gilang.
"Demi tusuk kondeknya nenek tapasya gue gak tahu!" teriak Gilang frustasi. Bukankah tidak cukup menghadapi keadaan rumah yang begitu memprihatinkan. Kenapa juga ia harus menghadapi pertanyaan A yang tolol?
A menghela nafas. Beruntunglah mereka yang pertama melihat kekacauan mansion ini. Akan lebih bertambah rumit jika Ayah mereka yang melihat ini.
"Kita akan mencari tahu siapa yang telah menghancurkan mansion kita, tapi terlebih dahulu ayo kita bersihkan. Takutnya Ayah pulang dan terkena serangan jantung melihat ini," cetus Gilang dan mulai membersihkan mansion kapal pecah itu satu persatu.
Bukannya membantu Gilang, A malah berdiam diri saja dengan berdiri konyol entah memikirkan apa. Itu membuat Gilang merasa frustasi. Namun, ia tetap berusaha mengatur emosinya.
"Dia adik gue. Jadi, tolong beri hamba kesabaran." Batin Gilang mencoba menyabarkan diri.
"Pasti pengecut itu!" pekik A membuat Gilang seketika menghampirinya.
"Pengecut? Maksud lo apa?" tanya Gilang.
"Pengecut yang selalu mengirim pesan gila kepada kita. Sepertinya pengecut itu sedang mencari muka dengan kita, Kak."
Gilang menopang pinggulnya dengan tangannya. Seolah tengah memikirkan sesuatu. "Jika iya, berani sekali ia mencari masalah dengan kita."
Mata A menjurus menatap ke depan. Mata yang tadinya teduh berubah tajam bak mata elang. "Aku tidak bisa membiarkan dia lagi. Sudah cukup aku diam selama ini. Dia ... aku bersumpah akan membunuhnya!" teriak A frustasi.
"Apa? Jangan, A. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Emosi hanya akan membuat masalah bertambah rumit. Kita harus mengenali musuh kita, baru kita bertindak."
Gilang memegang bahu A. Menyalurkan energi positif dari dalam dirinya untuk adiknya itu. Amarah terasa begitu kental. Bahkan, Gilang takut menatap mata A sekarang ini.
Dengan kasar A menepis tangan Gilang membuat Gilang terbelalak kaget.
"Jika kita diam saja, kak. Bagaimana kita tahu siapa musuh kita? Aku harus menegakkan keadilan kepada Noe. Apa yang dirasakan Noe harus dirasakan pengecut itu. Aku harus membunuhnya!" A melirik vas bunga di sampingnya. Menjatuhkan vas itu tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Gilang yang melihat itu hanya diam. Vas yang jatuh dengan harga bukan main hanya hal biasa bagi mereka. Gilang terdiam sejenak. Hal yang harus ia lakukan adalah sekarang mendukung A tentang keputusan ini.
Menolak dan melarang lelaki itu tentang keputusan ini hanyalah hal yang sia-sia.
"Apa lo yakin, jika dia orangnya?" A berusaha berbicara selembut mungkin.
"Yakin! Jika bukan aku akan tetap membunuhnya. Telfon Rayn!" titah A.
Gilang melotot. "Apa? Rayn? Kenapa menelfon Rayn?"
"Bisa tidak Kakak menuruti ucapanku dulu?"
Gilang tak mau berdebat dengan A. Ia tahu A pasti sangat frustasi melihat keadaan mansion ini. Namun, Gilang masih tidak yakin dengan ucapan A, meski kemungkinan besar apa yang adiknya itu katakan benar. Apa benar pengecut bermasker itu? Iya, sih, bisa saja dia.
Tanpa basa-basi lagi Gilang sudah menghubungi Rayn.
Panggilan tersambung.
"Hallo, bos. Ada apa?" Suara Rayn di seberang sana.
"Lo ke sini secepatnya!" pekik Gilang.
"Tapi kenapa, Lang? Apa semuanya baik-baik saja?"
"Berhenti bertanya dan turuti saja. Cepat ke sini!"
"Suruh dia bawa tab pelacaknya," ujar A yang terduduk di sofa.
"Rayn. Sekalian bawa tab pelacakmu. Cepetan ke sini. Gue tunggu lima belas menit."
"Hah? G-gue aja belum ganti baju dan lo udah nyuruh gue ke sana lima belas menit? Lo gak gila?"
"Berhentilah mengeluh dan lakukan tugasmu!"
Tut!
Panggilan langsung dimatikan oleh Gilang, lalu berjalan ke arah A dan duduk di samping lelaki itu.
"A, gue ingetin. Jangan menyimpulkan sesuatu dengan cepat."
"Aku gak peduli. Aku diam bukan berarti ia bisa seenaknya. Kak, lihat dia berani menghancurkan rumah kita. Coba bayangkan apa yang akan ia lakukan esok hari. Aku gak bisa nahan lagi melihat apa yang telah ia lakukan. Aku pastikan hari ini ia tidak akan menghirup oksigen."
"Lo jangan gila. Kita cari tahu dulu kebenarannya."
Gilang mencoba menenangkan A yang sekarang ini pasti sedang menahan amarahnya. Itu bisa saja terjadi melihat apa yang telah terjadi. Hari ini mereka berani menghancurkan rumah. Entah apa yang akan mereka hancurkan setelah ini.
Masalahnya mereka tidak tahu bagaimana musuh mereka yang sebenarnya. Musuh mereka terlalu pengecut dan hanya mengancam lewat pesan tanpa menunjukkan dirinya yang sebenarnya.
"Dia pengecut! Sialan!" geram A dan menendang meja kaca yang sudah di bereskan oleh Gilang tadi.
Mata Gilang reflek melotot melihat kaki A tersayat dengan pecahan kaca pada meja itu. Darah segar segera keluar membasahi bagian tulang kering Alister.
"Alister! Gue udah bilang lo harus bisa mengontrol amarah lo. Lihat apa yang terjadi."
Wajah Gilang nampak luarbiasa khawatirnya. Gilang membantu A untuk duduk. Entah kenapa ia yang merasakan sakit sementara A yang terluka. Sebagai seorang kakak. Pasti sedih melihat adiknya terluka. Dan itulah yanh sedang terjadi kepada Gilang.
Mulut lelaki itu tak berhenti menggerutu dengan kesal. Sementara A, ia hanya terlihat biasa-biasa saja. Wajahnya tak menampakkan rasa sakit sedikitpun. Hanya sebuah tatapan nanar melihat lukanya. A bergidik ngeri melihat lukanya itu yang menganga.
"Sekalian aja lo potong kaki lo biar lebih pro," sindir Gilang. Beruntung luka itu tak terlalu dalam. Dengan cepat Gilang mencari kotak obat. Setelah menemukannya, Gilang kembali menghampiri A yang dimana di sana sudah ada Rayn yang tengah bercakap-cakap dengan dia.
Rayn juga sama terkejutnya melihat luka pada kaki A.
"Master kenapa gak hati-hati. Pasti sakit." Rayn bergidik ngeri melihat luka itu.
"Biasa. Orang mau melawan maut. Dia pikir dia lebih kuat dari malaikat maut."
Nampak Gilang membawa kota obat segera mengambil duduk di samping A. Ia mengangkat kako Alister dan mulai mengobatinya dengan telaten. Sesekali A meringis kesakitan. Yah, baru terasa sakitnya.
"Master. Nomor telfon yang telah dilacak itu sudah aku temukan dimana tempatnya. Pemilik nomor handphone tersebut tak jauh dari sekitaran Jakarta. Jika Master mau menemui pemilik nomor itu aku akan menemani Master," ucap Rayn.
"Baiklah, tapi aku ke sana sendirian aja."
"Gak boleh! Lo gila, A. Lo emang gak waras," ketus Gilang kesal. Ia tak habis pikir dengan A yang suka sekali melawan maut. Kakinya lagi terluka dan sok- sok-an pergi menemui maut. Adiknya itu memang tidak waras.
"Aku emang gila, Kak. Dan aku bakal hentikan kegilaan setelah mengetahui siapa pengecut itu. Kalian berdoa saja semoga aku tetap baik dan ... hidup." Kalimat terakhir yang diucapkan A begitu tidak bergairah. Mungkin A sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Nafas Gilang memburu karena emosi. Rasa kesal kepada A semakin menjadi-jadi. Ia sudah khawatir dengan mansion dan ditambah dengan A yang malah pergi mencari pengecut itu. Malah ia pergi sendirian. Karena kesal, tanpa ia sadari lelaki itu mengikat perban pada kaki A dengan kuat membuat A mengerang kesakitan.
"Anjirt, sakit!" A menatap Gilang tajam.
"Biarin," ketus Gilang, kemudian pergi meninggalkan keduanya dengan membawa kotak obat pada tangannya.
"Master, benar kata Gilang. Bahaya jika Master pergi sendirian. Kita pergi bersama anggota Agandara saja, ya?" Wajah Rayn menyiratkan sebuah kekhawatiran yang sama halnya dengan Gilang.
"Aku gak mau. Biar aku pergi sendirian aja. Jika kalian pergi, itu hanya akan membuat kalian dalam keadaan bahaya. Dan Aku gak mau itu terjadi. Jika ... sesuatu terjadi kepadaku, maka hiduplah dengan baik."
"Master memang keras kepala." Rayn nampak kesal dengan A yang begitu kerasa kepala. Lelaki itu tak lagi menatap wajah A.
"Rayn, kamu seperti gak tahu aku aja. Aku udah ngelawan malaikat maut dua tahun yang lalu dan pasti kali ini aku juga bisa ngelawan dia. Sudahlah, jangan marah. Percaya sama aku."
Rayn kembali menatap A dengan lekat. "Katakan Master, ini bukan akhirnya."
A tersenyum. " Kapan Aku bilang ini akhirnya?"