Chereads / Mr. A / Chapter 34 - 34. Misi Noe

Chapter 34 - 34. Misi Noe

~Sedang mencari alasan untuk merebutmu kembali~

Di rumah sakit pelita

A mengerjapkan matanya berulangkali. Samar-samar netranya menerima cahaya yang membuatnya sulit untuk membuka mata. Orang pertama yang A lihat adalah Gilang. Lelaki itu tersenyum melihat A.

"Lo udah sadar?" tanya Gilang.

"Udahlah bego. Pake nanya lagi." Baru saja bangun A sudah marah-marah saja.

"Perhatikan umur bro. Kalau marah-marah terus ntar cepat tua." Gilang terkekeh.

A tak menggubris perkataan Gilang. Matanya menatap seluruh penjuru ruangan yang serba putih itu. A mengernyitkan dahinya.

"Neo dimana?" tanya A.

"Neo? Tadi, gue dan dia mau ngantar lo di rumah sakit, tapi dia tiba-tiba saja turun dari mobil entah mau kemana. Katanya ada urusan penting," jawab Gilang.

A ber-oh ria saja sambil manggut-manggut.

"Yang lainnya?"

"Mereka nanti jenguk lo. Takut kalo berbarengan nanti identitas mereka terbongkar. Lu juga yang saranin kalo di depan umum gak boleh terlalu akrab." A menyengir kuda sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

A merasakan kepalanya berdenyut sangat keras hingga lelaki itu mengerang sakit. Gilang jadi panik melihat itu.

"Lo kenapa A?"

"Gak tahu kak. Kepala A sakit sekali."

"Yaudah ini minum obat lu dulu." Gilang mengambil botol minum yang ia beli tadi saat membeli resep obat dari Dokter. Mengambil satu pil obat dalam kotak kecil di atas nakas di samping tempat tidur.

Gilang membantu A meminum obatnya dengan pelan. Setelah meminum obatnya, A baru merasakan kepalanya agak enakkan. Tubuhnya begitu lemah, A juga tidak tahu apa yang terjadi kepadanya.

"Kak, gue kenapa?"

Gilang menutup botol minum lalu meletakkannya di atas nakas.

"Lo kena demam berdarah. Untung lo langsung dibawa ke rumah sakit, kalo gak...." Gilang menggantungkan ucapannya.

"Kalo gak gue mati?" Dengan cepat A membalas ucapan Gilang.

Gilang berdehem pelan. "Hmmm ... mungkin," ujarnya.

"Hadeuh! Mana ada Master mati hanya karena demam berdarah." Alfraid tiba-tiba datang dengan suara cemprengnya yang membuat A dan Gilang langsung menoleh ke arah pintu.

"Alfraid?" Ucap A dan Gilang serempak.

"Kami juga." Terlihat anggota Agandara memasuki ruangan itu.

"A lo baik-baik aja, 'kan?" Amon bertanya, tapi belum sempat A menjawab, Niel malah ambil alih untuk menjawab pertanyaan dari Amon.

"Pasti dong Mon, dia, 'kan Master kita. Tertembak aja masih hidup." Entah memuji atau mengejek perkataan dari Nie barusan. A tak ambil pusing, ia hanya memutar bola mata dengan malas.

"Eh btw, Neo mana?" Abra mengernyit heran karena sedaritadi pandangannya tak melihat Neo.

"Nah itu! Neo gak tahu kemana. Tadi saat ngantar A ke rumah sakit, dia tiba-tiba turun dari mobil dan pergi begitu saja. Katanya dia ada urusan," jelas Gilang.

"Yang benar saja tuh sikucrit pergi sendirian tanpa kita," sahut Rayn.

"Apa kalian heran gak sama sifat Neo yang sering ketakutan itu?" tanya Abra.

Niel mengernyit. "Apa itu bener? Kok gue gak tahu?"

"Ya, tadi di kampus dia ketakutan sama lelaki sekelas ama kita. Namanya Aldo. Gue gak tahu kenapa Neo takut sama lelaki bernama Aldo itu?" A menimpali.

"Mungkin saja, tapi kalian percaya gak kalo ada yang disembunyikan sama Neo dari kita?" Amon mengungkap pendapatnya.

Semua saling pandang dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Neo dalam bahaya," cetus Niel panik. Semua juga sependapat dengan Niel.

A yang tidak ingin terjadi apa-apa kepada temannya, mengibaskan selimutnya. A memaksakan untuk bangun mencari Neo bersama teman-temannya.

"Master, lo di sini aja. Lo masih sakit." Alfraid mencegah A untuk pergi.

"Yah benar kata Al. Lo disini aja A. Lo masih sakit." Gilang membenarkan ucapan Alfraid.

Tapi namanya aja A, pasti keras kepala jika itu sudah menyangkut dengan keselamatan teman-temannya. Akhirnya mereka terpaksa mengizinkan A untuk mencari Neo bersama.

***

Jie menangis tersedu-sedu melihat luka memar di pipinya akibat tamparan dari pacarnya. Dia Saka. Lelaki yang sudah dua tahun lamanya menjalin hubungan dengannya.

"Hiks ... Gue bisa tahan mendapatkan ini, tapi gue gak bisa tahan kalo ini terjadi pada A. Gue sayang sama lo A. Bagaimana caranya agar lo tahu kalo gue tersiksa bersama Saka. Lo harus cari tahu. Hiks...." Jie menangis tersedu-sedu.

Saka menampar Jie karena tahu kalo Jie itu bertemu dengan A. Saka juga tahu apa yang terjadi di kelas saat A berlutut meminta waktu Jie sebentar.

Akhirnya murka Saka meledek kala Jie menentang keinginannya untuk tidak bertemu dengan dia. Dua tahun lamanya gadis itu disiksa oleh Saka jika Jie menentag keinginannya.

"Bagaimana kalo ada yang tahu memar ini?"

Jie buru-buru mengambil salep di laci meja riasnya. Salep yang selalu ia gunakan untuk menutupi bekas luka dari Saka.

Sabar Jie, A begitu mencintaimu. Ia tidak akan membiarkan lelaki itu jika tahu kamu disiksa oleh Saka. Bertahanlah. A sedang mencari alasan untuk merebutmu kembali. Bertahan sampai A kembali dengan cincin yang akan ia sematkan pada jarimu. Biarlah A menyelesaikan satu persatu masalah, setelahnya ia akan menjemputmu.

Jie menghembuskan nafasnya. Setelah Saka mengantarnya ke rumah, Jie memutuskan untuk beristirahat saja. Besok lagi ia akan kembali dengan berbagai sandiwara dengan Saka.

Siapa Saka itu sebenarnya? Itu akan di cari tahu oleh A.

***

Kini, A dan anggota Agandara berada di cafe Amon. Mereka berada di ruangan yang privat dan tak ada yang mengetahui tempat itu walau cafe sedang ramai. Beruntung, Amon tak membuka cafenya dari pagi karena semua pelayan cafe sudah ia suruh untuk berlibur satu pekan.

Mereka bertujuh sibuk memasang perlengkapan, baik pakaian dan senjata mereka. Ada yang sibuk mengisi segala senjata api dengan peluru. Ada yang sibuk merakit bom dan ada juga yang sibuk memakai bajunya.

A yang sibuk mengisi pistolnya dengan peluru berdecak kesal kala handphonenya berbunyi.

A mengerutkan keningnya melihat panggilan dari nomor yang tak dikenal.

"Ada apa Master?" Abra bertanya.

"Ada yang nelfon, tapi nomornya gue gak kenal," jawab A.

"Yaudah jawab aja." Gilang menyarankan.

Sambungan panggilan terhubung.

"Hallo?"

'Hiks! A! Master! Teman-teman! Tolong gue. Hiks! Gue takut.'

"Noe! Noe! L-lo dimana?"

Tut!

Panggilan langsung terputus.

"Siapa A? Lo kok nyebut nama Noe?" Gilang juga ikut bertanya.

Semua jadi panik melihat wajah A yang merah akibat emosi.

Brakk!

A dengan kerasnya menendang meja tempat senjata hingga terbalik dengan sadisnya. Teman-temannya langsung bungkam marah melihat A yang malah emosi seperti itu tanpa memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kenapa A? Lo kok emosian begini," Niel jadi kesal.

"Iya. Lo main sendiri-sendiri aja," ujar Rayn.

"Kita ini teman, lo harus beritahu kami apa yang terjadi supaya kami tahu apa yang terjadi," timpal Gilang. Semua menyetujui itu. A emosian membuat mereka jadi tidak fokus.

Ini misi Noe yang akan mereka ambil alih. Jadi, mereka harus tahu apa yang akan terjadi sehingga rencana bisa mereka susun dengan baik.

"Noe dalam bahaya. Gue terima telfon dan Noe meminta tolong. Dia dalam bahaya," jelas A.

"Kalo begitu sini nomornya biar gue hecker." A menyodorkan handphone itu kepada Rayn. Rayn segera berkutik dengan laptop yang lebih dari lima buah dan komputer sepuluh buah. Rayn berkutak dengan tangan yang sibuk mengetik menghubungkan jaringan handphone yang juga buat Authornya bingung sendiri.

Sedangkan yang lainnya hanya menunggu dengan panik. Terlebih A yang emosi udah di ubun-ubun. Suara tangisan Noe terus menggema di telinganya membuat A makin emosi dan darahnya seakan berteriak ingin membunuh siapa yang telah berani menangisi sahabatnya.

"Gue dapet!" seru Rayn. Agandara segera menghampiri Rayn. Mereka menatap layar laptop.

"Gue gak tahu persis tempatnya, tapi gue cari tempat terdekat dari daerah sinyal nomor handphone itu. Di daerah gang X," jelas Rayn.

"Kalo begitu, kita otw," ujar A.

Mereka kemudian mengambil persenjataan mereka. Tak lupa memakai masker dan kacamata hitam yang bertengger di hidung para cogan-cogan itu.

"Noe! Kami datang."