Dua bis datang tepat berhenti di depan sekolah lencana bangsa. Satu bis terdiri dari 30 siswa. Satu persatu murid naik di dalam bis sesuai dengan tim mereka.
A dan Jie masuk paling terakhir, mereka satu tim. Saat mereka masuk, semua kursi terpenuhi, bahkan ada yang sampai terpaksa berdiri. Mau tak mau, mereka juga terpaksa berdiri.
"Ini semua gara-garamu. Kalo kau tidak memanggilku untuk rencana gilamu itu, maka kita tidak akan berdiri di sini," celoteh Jie.
"Lah? Kenapa jadi salah gue?" tanya A bingung.
"Ini harus lo tanggung kalo jika jadi kekasih gue," lanjutnya A.
"Ya, ya terserah lo deh. Bikin sial saja, tahu gak?!" Lagi dan lagi Jie berceletuk terus menyalahkan A.
"Lo pengen duduk?" Jie melirik A yang menatapnya dengan tatapan aneh. Akhirnya Jie pun mengangguk.
A tersenyum jahil, perlahan bis itu berjalan disertai dengan A yang berjalan ke arah dua laki-laki kacamata yang pernah bertemu dengannya di taman belakang sekolah itu.
Yang guy, masih ingat?
'Ternyata guy ini ikut juga. Satu tim sama gue lagi.' Batin A dalam hati.
A kemudian menghampirinya. Sontak, dua laki-laki yang sibuk mengobrol itu langsung terhenti dan menatap A.
Lelaki berkacamata itu tersenyum dan langsung berlagak cari perhatian di depan A.
"Mr.A ada apa?" tanya lelaki guy itu yang diketahui bernama Lucius.
"Nama kamu siapa?" Bukannya menjawab, A malah balik bertanya.
"Oh, nama saya ... panggil saja Luci," jawab Luci seraya tersenyum.
Sementara itu, Jie yang terus memperhatikan A dan Luci sedikit bingung. "Mau apa dia?" Monolog Jie.
Kembali pada A dan Luci, mereka jadi perhatian murid-murid yang ada di dalam bis tersebut.
"K-kamu mau gak ci-cium aku?" tanya A dengan sedikit terbata-bata. Bukan apa-apa, ia hanya jijik jika hal ini benar-benar ia lakukan.
Luci yang mendengar itu, tersenyum merekah kepada A. Juga lelaki yang ada di samping Luci yang terus mendengarkan mereka berbicara sangat terkejut dengan pertanyaan A.
"Mau!" Luci berteriak.
"Ba-baiklah, tapi dengan satu syarat, kau harus memberikan bangkumu kepada gadis itu," ujar A seraya menunjuk Jie. Sedangkan yang ditunjuk malah terlihat bingung dan menunjuk dirinya sendiri.
Bukan hanya itu, murid-murid lain tentunya ikut menatap Jie dengan aneh.
"Bisa gak?"
"Emm. Karena ini hal yang begitu langka baiklah aku mau Mr.A," jawab Luci.
Seketika mata A dan lelaki di samping mereka melotot bukan main, tetapi A harus melakukan ini demi gadis bodoh itu. Ia tidak mau gadis itu terus mengoceh menyalahkannya.
Tidak! Itu mulut yang mengatakan, tetapi hati mengatakan hal lain.
Perlahan A mendekatkan wajahnya kepada Luci yang bibirnya sudah moncong untuk mencium A. Seketika adegan itu membuat semua murid terbelalak kaget. Terlebih Jie.
Chup!
"Iiiih!" Semua murid di dalam bis tersebut melihat adegan itu dengan tatapan jijik.
'Tolong aku Tuhan!' ucap A dalam hati. Sungguh ia sangat jijik.
"Ihhh lo kok cium A. Dasar guy!" Jie tiba-tiba datang dan menarik A untuk berdiri di sampingnya. Perlahan Luci berdiri dan meninggalkan bangkunya dan lebih memilih berdiri. Lagipula baginya mencium seorang idola lebih baik. Hanya sebuah kursi? Apa pentingnya?
"Sekarang lo duduk!" titah A membuat Jie membelalakan matanya.
"Hah? Jadi...,"
"Sudah diam aja, sekarang lo duduk atau gue yang duduk."
"Ehk iya iya. Makas...." ucapan Jie lagi dan lagi terpotong karena A.
"Jangan geer dulu. Gue gak mau lo cerewet nyalahin gue terus."
Jie memberenggut kesal. Dasar! Kemudian gadis itu duduk di kursi Luci. Sementara itu, A mengambil tisu dari tas gendongannya untuk melap pipinya yang dicium oleh Luci.
Jijik sekali!
Murid-murid disana malah terus menatap Jie dan itu membuatnya jadi salah tingkah. Murid-murid tersebut menaksir bahwa ada sesuatu diantara A dan Jie. Terlebih gadis-gadis yang lainnya yang merasa cemburu dengan Jie yang sangat diperhatikan A.
"A lo gak duduk juga?" tanya Jie. A langsung menatap lelaki di samping Jie. Dengab terburu-buru lelaki itu langsung berdiri dan memilih untuk duduk. Lelaki itu sudah ketakutan melihat tatapan tajam A.
"Gue belum nyuruh dia pergi, ya?" Jie terkekeh.
"Gue yang nyuruh dia pergi," tegas A lalu duduk di samping Jie.
Perjalanan jauh cukup melelahkan bagi murid-murid itu hingga ada yang tertidur di dalam bis. Mereka masih belum sampai pada tempat tujuan mereka yaitu panti jompo. Entah apa yang akan terjadi di sana nanti.
A memejamkan matanya dengan earphone di kedua telinganya. Sementara Jie sudah tertidur.
Tiba-tiba, Jie terbangun dan...
"Huek! Huek!" Gadis itu langsung muntah dan lebih parahnya ia memuntahkan semua isi perutnya di pakaian A.
"Aduh kepala gue sakit sekali," jerit gadis itu sembari memegang kepalanya.
A menghela nafas, celananya penuh muntah gadis itu. Dengan pelan ia memegang kepala gadis itu dan menyandarkannya di bahunya.
"Ternyata lo mabuk perjalanan jauh juga?" tanya A.
"I-iya," jawab Jie lemas.
A memandang muntah Jie di pakaiannya. Lantas, lelaki itu mengeluarkan handphonenya untuk memanggil salah satu guru.
"Ya, A ada apa?" tanya guru wanita di seberang sana.
"Bu, tolong ke kursi belakang. Jie mabuk dan muntah-muntah. Bisa gak mobilnya diberhentiin dulu?"
"Baiklah."
Tut!
Mobil tiba-tiba berhenti, bersamaan dengan seorang guru wanita menghampiri A dan Jie. Bersamaan juga dengan bangunnya semua murid dari tidur mereka.
"Dia baik-baik saja, tapi aku harus mengganti pakaianku," ucap A. Lelaki itu pun keluar dari bis dengan tatapan nanar melihat pakaiannya.
Juga Gilang yang melihat adiknya penuh muntah itu merasa bingung juga. Ia keluar lalu membantu A membersihkan diri di toilet umum yang tak cukup jauh dari bis mereka. Untung saja.
"Kamu kenapa bisa begini?" tanya sang kakak.
"Jie gadis itu memuntahiku," jawab A.
"Gitu? Cepatlah, kita harus sampai di panti jompo."
"Baik kak."
Setelah cukup mengganti pakaiannya, A kembali ke bis dan bis kembali dijalankan. A menatap Jie yang tertidur di sampingnya.
"Tolong oleskan ini di lehernya sampai kita sampai. Kau tidak keberetan, 'kan?" tanya sang guru.
"Ehk tidak bu," jawab A.
Ia kemudian mengambil balsem dari tangan guru wanita itu dan mulai mengoleskannya di leher Jie. Dengan perlahan A mengoleskannya. Meski sedikit A gemetaran ketika tangannya menyentuh leher gadis itu. Dengan susah payah ia menelan salivanya.
A dengan susah payah lagi mengoleskan balsem itu saat melihat bibir Jie. Entah kenapa, sebuah gairah muncul di hatinya untuk mencium gadis itu. Tidak! Ia harus menahan nafsunya. Ia tidak boleh mencintai seorang gadis. Tidak boleh dan tak akan pernah.
Akhirnya, A memutuskan untuk menghentikan mengoles balsem itu di leher Jie. Dan memilih untuk mendengarkan musik dari earphone saja.