Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan sangat melelahkan, tim pertama berbagi amal pada panti jompo akhirnya sampai di tempat tujuan.
Satu persatu murid-murid keluar dari bis dibimbing oleh dua guru laki-laki dan perempuan. Dua guru beda jenis kelamin yang masih honor itu memastikan bahwa tidak ada murid yang tertinggal di dalam bis. Tahunya masih tidur.
Guru laki-laki yang bernama pak Hendra menghitung semua jumlah murid. Akhirnya, semua murid di suruh untuk memasuki pekarangan panti jompo setelah dua guru itu memastikan jumlah murid tepat, 30 orang.
"Kalian tidak boleh berpisah dan harus selalu bersama-sama. Karena ini bukan daerah kita. Jangan sampai ada yang menimbulkan masalah, ingat!" jelas pak Hendra.
"Ya, pak," seru mereka dengan serempak.
Pintu gerbang panti jompo itu terbuka seketika, memgundang perhatian semua murid tertuju di sana. Seorang satpam tersenyum hangat ke arah mereka. Begitupun mereka membalasnya.
Di samping itu, seorang wanita paruh baya datang menghampiri murid lencana bangsa. Sudah tentu dengan senyuman manis tersuguhi.
"Kalian yang murid dari lencana bangsa, ya?" tanya wanita itu.
"Iya Bu, kami di sini ingin berbagi amal buat panti jompo ini," jawab Bu Merry- guru pembimbing wanita.
"Hmmm, kami sangat senang kalian datang jauh-jauh demi membantu panti jompo terkecil ini. Memang kami kurang sponsor di panti ini," balas wanita paruh baya itu yang merupakan pengurus panti jompo tersebut.
"Kami juga sangat berterimakasih atas kedatangan kalian. Jadi, silahkan masuk, dan panggil saja saya Bu Ara," lanjutnya lagi.
"Baik Bu Ara. Terimakasih kembali."
Murid-murid lencana bangsa memasuki panti jompo. Ternyata, mereka sudah ditunggu banyak lansia. Murid-murid itu sedikit terperangah melihat keadaan panti jompo yang sedikit tak mengenakkan di mata.
Bahkan ada salah satu murid yang mual karena tak tahan bau yang menyengat itu. Namun, mereka berusaha untuk biasa-biasa saja.
"Siapa yang milih tempat ini?" tanya salah satu murid.
"Ketua, Mr.A," jawab teman di sampingnya.
"Pilihan yang tepat."
A menatap lansia-lansia itu satu persatu. Intensnya menatap aneh, sepertinya ada yang janggal di tempat ini, menurutnya.
Bagaimana tidak, lansia-lansia itu semua terlihat lemah dan semua lansianya duduk di kursi roda. Panti ini juga terlihat kotor sekali.
Bukankah aneh?
Jie yang berada di samping A menepuk punggung A yang masih berdiri di ambang pintu dengan mata yang menatap depan dengan kosong. Sementara murid lainnya sudah masuk ke dalam panti.
"Lo baik-baik aja?" tanya Jie.
A tersentak. "Hah? Ya ya," jawab A sekenanya. Ia terlihat bingung.
"Ya udah ayo masuk." A manggut-manggut lalu menyusul Jie yang sudah duluan darinya.
Semakin mereka melihat panti lebih dalam, banyak hal-hal aneh yang muncul yang membuat A merinding. Ia mengelus bulu kudunya yang sudah naik sedaritadi. Inilah yang A tidak suka, suasana horor yang merupakan salah satu kelemahannya.
Karena terlalu berkutak-atik dengan otak sendiri, A malah ketinggalan dari murid-murid lainnya. Panti jompo ini terlihat luas sekali.
"Nak, kamu ngapain di sini?"
A melotot, kulit putihnya berubah merah seketika. Jujur, A bisa menghadapi jika itu manusia, tapi kalo yang begini-ginian, A tidak suka.
"Ayahh...," lirih A sembari melihat ke belakang dengan pelan.
"Kamu mau nemanin kakek."
"Tidak!" Sontak A berteriak ketakutan lalu berlari kocar-kacir sembari menarik kopernya.
"Hei!"
"Aaa!"
"Lo kenapa sih? Dari mana aja?"
A akhirnya bisa bernafas lega melihat sang kakak sudah di hadapannya. Dengan perlahan A mengontrol nafasnya yang sudah tersenggal-senggal akibat berlari.
"Kak, tempat ini aneh, A takut." A dengan manjanya bergelantungan di tangan sang kakak.
Gilang berdecak. "Ck, dasar penakut. Mana ada aneh, kau yang aneh," celetuk Gilang.
"Aneh kak, percaya deh sama A. Ihh A takut."
"Lo memang dari dulu seperti ini, takut banget sama yang namanya hantu. Tuan muda kok takut hantu," ledek Gilang.
"Kakak, A bukan takut, tap...."
"Tapi ngeri, iya gue tahu ferguso. Akh ayo ah. Lo pemimpin di sini."
"Kakak!" Rengek A.
Mau tak mau A terpaksa mengikuti Gilang. Murid-murid lainnya sedang berdiri di salah satu ruangan. A meneguk ludahnya kala sang pengurus panti jompo yang tak lain Bu ara memperlihatkan seorang kakek tua yang sudah tak bernyawa di atas kasur.
"Dia baru meninggal tadi pagi. Hari ini kami akan memanggil kerabat kakek ini untuk mengurus pemakamannya," ucap Bu Ara.
"Di panti ini lansia-lansia ini masih ada keluarga?" tanya pak Hendra.
"Ada yang ada keluarga ada juga yang tidak," jawab Bu Ara.
"Lalu yang ada keluarga kenapa lansia-lansia ini dikasih di panti jompo?" Sekarang gantian Bu Merry yang bertanya.
"Itu karena mereka terlalu sibuk mengurus pekerjaan mereka. Jadi, gak ada waktu buat ngurus lansia-lansia ini," jawab Bu Ara.
"Begini Bu, kami di sini bukan hanya berbagi amal, juga menjadi sukarelawan membantu lansia ini selama tiga hari," ungkap Pak Hendra.
"Oh, ya? Kami juga sudah dihubungi oleh pendiri panti ini bahwa kalian akan datang. Jadi, kami sudah mempersiapkan segalanya. Mari saya antar di kamar masing-masing," ajak Bu Ara.
Mereka kembali menelusuri panti jompo itu hingga tiba di depan tiga ruangan. Pak Hendra membagi semua jumlah murid menjadi 10 orang.
"Ini ada tiga ruangan, dan ada sepuluh ranjang tiap ruangan," jelas Bu Ara.
"Baiklah. Kalian akan Bapak bagi dalam 3 tim. Tim A, pemimpin Alister dan 9 anggota lainnya akan tidur di ruang pertama. Begitupun tim C dan tim B," tutut Pak Hendra.
"Ya, pak!"
"Kalian silakan istirahat dulu. Kalo ada apa-apa nanti saya panggil. Juga panggil Bapak kalo terjadi sesuatu kepada kalian."
"Ya, pak!"
A dan 9 anggotanya memasuki ruangan. Benar juga ada sepuluh ranjang dalam ruangan tersebut. A memilih kasurnya berada di tengah-tengah.
"Ini kasur gue. Pilih kasur lo sendiri," ucap A dengan sombong. A meletakkan kopernya di samoing ranjang juga dengan tas gendongnya.
"Hai A," sapa seseorang.
A menoleh. "Lo siapa?" tanya A.
"Gue Reyna, gue perwakilan kelas 11, boleh gak aku tidur di ranjang samping ranjangmu?" tanya gadis itu.
Namun, belum sempat A menjawab, tiba-tiba Jie dari belakang sudah menyolot begitu saja.
"Gak boleh! Ranjang ini milik gue," cetus Jie.
"Tapi ... aku, 'kan yang per..."
"Lo pilih kasur lain aja deh Rey. Dia kekasih gue." Ucapan A membuat Reyna merenggut kesal. Ia kemudian memilih kasur lain. Sementara Jie sudah tersenyum senang.
Di samping ranjang A yang berada di tengah-tengah ada Jie pada bagian kanan, sedangkan pada bagian kiri ada Athar, murid kelas X.