Chereads / Mr. A / Chapter 47 - 47. Belum saatnya Alister

Chapter 47 - 47. Belum saatnya Alister

A melepas helm fullfacenya di depan sebuah gedung. Seperti yang telah diketahui, A trlah sampai di alamat yang diberikan Rayn kepadanya. Alamat si pengecut tahi lalat.

A mengerutkan keningnya menatap sekelilingnya yang begitu sepi dan hening. Baru tiba saja, A sudah merasakan hawa panas di tempat ini. Begitu sangat misterius, seolah tak ada tanda-tanda kehidupan.

Namun, apapun itu A tidak takut. Ia pastikan ia akan bertemu dengan pengecut tahi lalat itu. Ia akan menjadikan hari ini adalah hari spesial. Lihat saja nanti.

Setelah menimang-nimang yang akan terjadi, A kemudian meletakkan helmnya menggantung pada hand grip motor sportnya. A memutuskan untuk melihat sekitaran gedung yang dapat diperkiran sudah cukup lama tidak digunakan. Atau mungkin gedung tua ini merupakan markas mereka? A terus bertanya dalam hati.

Ia juga tak lepas dari kewaspadaannya. Mana tahu pengecut itu akan menyerangnya dari belakang saat ia terlihat jengah. Namanya juga pengecut, maka cara kerjanya pasti seorang pecundang. Menyerang dari belakang, bahkan lebih berwibawa dari anjing yang menyerang dari segala sisi.

A nendengus kesal. Ia hampir kewalahan menunggu berlama-lama. A sudah melihat sekeliling gedung, tapi tak ada seorangpun. Anehnya, di daerah ini hanya ada satu rumah, yaitu gedung tua ini sendiri. Lainnya, hanya lahan kosong.

Kerena merasa dipermainkan, A pun menelfon Rayn. Mana tahu Rayn salah menulis alamat. Bukankah, pengecut itu tahu rencananya, tapi kenapa ia belum keluar juga? Pasti salah alamat. Itulah yang ada dipikiran A saat ini.

Lantas, A mengeluarkan handphonenya dan tak menunggu lama ia menelfon Rayn.

"Rayn! Kamu salah ngasih alamat!" teriak A nyosor tanpa menunggi orang di seberang sana berbicara.

Terdengar Rayn yang mendengus kesal. A dapat mendengarnya.

"Apa maksud, Master? Salah alamat? Tidak mungkin Master. Menurut data dari nomor handphone yang telah aku lacak itu adalah asal pemilik nomor handphone itu," jelas Rayn.

"Tapi kenapa di sini tidak ada orang?"

"Maksud Master gak ada orang ... apa ...." Ucapan Rayn menggantung.

"Apa?!"

"Apa mungkin rencana kita telah diketahui oleh mereka?"

Nampak wajah gelisah A. "Sial! Saat perjalanan ke alamat yang kamu berikan kepadaku, pengecut itu kembali mengirim pesan. Dan ia tahu bahwa aku akan menemuinya. Bahkan, aku sempat melihatnya melambai tangan kepadaku."

"Yang benar, Master?" Nada bicara Rayn berubah khawatir. "Kalo begitu Master pulang saja. Aku takut jika sesuatu terjadi kepadamu. Pulanglah," lanjutnya kemudian.

"Aku tidak bisa pulang, Rayn. Aku bukan pengecut seperti dia."

"Cepat pulanglah. Kami takut kerenamu." Kali ini bukan Rayn yang berbicara, tapi Gilang.

"Pulang, Master!" teriak Niel.

"Jangan bikin kami khawatir," sahut Alfraid.

"Bagaimana kalo kami menyusul Master saja?" usul dari Amon.

A bedecak kesal mendengar semua keluhan anggotanya itu. Jujur saja, ia juga ingin segera pulang. Namun, jika misinya telah selesai. A mengerti akan rasa khawatir anggota itu, tapi harus mau bagaimana lagi? Ia sudah setengah jalan. Tidak mungkin ia pulangkan?

"Pulang, Alister!"

Sontak mata A melotot. Ia sedikit menjauhkan handphonenya dari telinganya kala suara melengking yang tidak asing di telinganya berdenging dari sana.

"Ayah," batin A dalam hati.

Persetan! Sial! A terus mengumpati dalam hati. Bukan mengumpati Ayahnya, ya. Bagaimana bisa Ayahnya mengetahui semua ini? Sial, pasti anak buahnya yang memberitahunya.

Kenapa jam segini mereka belum pulang? Lihatlah, Argan sekarang tahu apa yang akan dilakukan oleh A.

"Hehe, A-Ayah ...," lirih A.

"Ayah-Ayah! Dasar anak durhaka. Pulang tidak!"

Lagi A menjauhkan telinganya dari handphonenya. Gila! Teriakan Ayahnya bisa membuat gendang telinganya pecah.

"Ayah, maafkan A. A bakal pulang, tapi set ...."

Ucapan A menggantung kala Argan dengan cepat memotongnya. "Pulanglah Ayah bilang!"

A meringis. Antara ingin pulang dan menetap di sini sampai ia tahu siapa pengecut itu.

"Ayah ... mengertilah ...."

"Pulang A. Cepat! Atau tidak kamu akan tidur di luar malam ini sampai satu minggu lamanya. Kamu tidak boleh menggunakan fasilitas dari Ayah. Ingat apartemen yang Ayah berikan kepadamu jangan sekali-kali datang ke sana," peringat Argan.

A lagi mendesah kesal. "Ah ... Ayah ...." A meringis. "Baiklah!" lanjut A memberi keputusan.

Dari seberang sana Argan tersenyum sambil manggut-manggut.

"Pulang secepatnya," peringat Argan sekali lagi.

"Hmmm," balas A singkat, lalu menutup panggilannya.

Sekali lagi A mengumpat. Kenapa rencananya harus gagal segala lagi? A menebak ini semua pasti ulah anggotanya yang memberitahu kepada Ayahnya.

"Sial! Jam segini kenapa mereka masih belum pulang? lagian ...." A menggaruk pelipis. "Ayah kenapa cepat pulang ke rumah. Biasanya Ayah pulang jam tujuh," lanjut A penuh kebingungan.

Ada rasa antara ragu untuk pergi dan ragu untuk menetap. Jika ia menetap maka hukuman dari Argan menantinya. Sementara jika ia pergi, maka ia tak dapat melihat identitas asli si pengecut itu.

Argggh! Persetan dengan semua ini.

Sungguh, A sekarang ini benad-benar dilanda kegelisahan. Hati ingin menetap, namun perasaan ingin pergi.

"Ayah! Ini membuatku bingung!" teriak Alister frustasi.

~~~~

"Sudah berapa kali Ayah bilang, jangan buat jantung Ayah ingin meledek! Apa kalian ingin Ayah cepat mati?!"

Alister dan Gilang melotot sempurna kala ucapan yang sakral itu keluar dari mulut sang Ayah. Bahkan, hal barusan yang dikatakan Argan tidak pernah terpikirkan oleh mereka, tapi bagaimana mungkin Ayah mereka mengatakan hal gila itu?

"Yah! Berhenti bicara yang tidak-tidak!" nasehat A.

"Ayah pikir kami mau jika Ayah kenapa-napa?" Gilang ikut menimbrung sembari menggelengkan kepalanya tak tahu jalan pikir Ayah mereka itu.

"Iya, Paman. Jangan bicara seperti itu. Paman sudah seperti Ayah bagi kami. Lalu kenapa kami mau jika Ayah kami kenapa-napa? Ucapan adalah doa, Paman. Jadi, jangan bicara seperti itu lagi," jelas Rayn dengan raut wajah sedih.

Argan menghela napas. Ia menatap setiap inci tujuh wajah lelaki yang kini tengah berdiri di hadapannya. Jujur saja, ia tak ada niat untuk bicara seperti itu. Namun, karena sangat kesal terhadap anak-anaknya itu, maka kata sakral itu keceplosan keluar dari mulutnya.

"Baiklah. Jika kalian tidak ingin Ayah begitu, maka berhentilah mencari masalah."

"Ayah, bukan kami yang cari masalah, tapi mereka. Aku akan membunuh mereka jika aku mau, tapi aku masih punya hati. Sudah diberi hati malah minta jantung. Sialan!" A menggeram dengan kesalnya.

"Sekarang kalian ini sedang cari masalah terhadap siapa, huh!" tanya Argan mencoba sabar.

Agandara serempak menggeleng.

"Kalian gimana sih? Astaga!" Argan memegang kepalanya. Frustasi sekali.

Sementara Agandara kebingungan melihat ekspresi sang Ayah. Mereka saling tatap menatap.

Argan kembali menatap mereka, setelah berselang menit menutup mata mereda dasa stresnya menghadapi tujuh anak-anaknya ini.

"Ayah, mohon. Sudah hentikan kegilaan ini," pinta Argan.

Seketika A melotot. "Tidak! A gak akan pernah berhenti mencari pengecut itu sampai ketemu."

"Jangan keras kepala A!"

"A, gak keras kepala Ayah." A mengetok kepalanya berulangkali. "Nih, kepala A bukan batu, kalo gak percaya belah aja sendiri." Sepertinya A merajuk sambil melipat dadanya dengan muka masam yang tidak aesthetic.

Niel mundur beberapa langkah demi bisa menyamai Gilang. Ia kemudian berbisik. "Sok imut, manja dan tampan. Siapa lagi kalo bukan ...?"

"Alister Branch. Muka tampan, tapi hati kek iblis. Gegara dia, kita masuk dalam situasi ini," jawab Gilang pelan.

"Eyo! Bulu tyt*yd gue merinding nih. Pasti ada yang ngegibahin gue."

Mendengar ucapan A, sontak membuat Gilang dan Niel menegang di tempat. Buru-buru Niel bersembunyi di belakang Gilang kala A menatap mereka dengan horor.

Alhasil, tingkah mereka itu mengundang tawa Agandara lainnya. Tak terkecuali Argan. Ia sekarang tengah mencoba menahan tawanya.

"Lo sih! Ngajak-ngajak gue segala lagi. Udah tahu otak lo blank, malah otak gue juga ikut blank."

"Ye maaf, Lang." Niel hanya bisa menyengir kuda melihat rasa kesal dari Gilang.

"Sudah-sudah! Kalian tidak bisa Ayah biarkan lagi. Kalian sudah melampaui batas."

Argan memberi instruksi untuk ke tujuh lelaki itu agar berdiri sejajar. Semuanya tanpa terkecuali. Segera, Agandara menuruti perintah dari Argan. Sumpah! Rasanya perut Argan ingin meledak karena tak tahan ingin tertawa melihat lucunya tujuh lelaki itu. Mereka lucu sekali seperti anak kecil.

"Baiklah! Siap grakk!" seru Argan memerintah.

Agandara melakukan aba-aba itu dengan saling memandang kebingungan. Latihan militerkah?

"Dengar, baik-baik! Ayah akan memberi kalian hukuman. Mulai besok dan satu bulan ke depan kalian tidak boleh menggunakan motor kemanapun dan teruntuk A dan Gilang, uang jajan kalian Ayah potong. Dari yang 20 juta perbulan, jadi 500 ribu perbulan."

"TIDAK!" teriak Agandara serempak.

"Ayah, Ayah! A tidak terima dengan hukuman itu," ujar A tak terima. Ia melangkah memegang bahu Argan dan menggoyang-goyangkannya. Sementara Argan hanya diam sambil melipat tangan di dada.

"Kalo gak ya, sudah. Keputusan Ayah gak bisa diganggu gugat." Keputusan Argan.

"Bagaimana kami ke kampus kalo gak bawa motor?" tanya Amon sambil menggaruk kepalanya.

"Jalan kaki atau naik taksi. Terserah kalian asalkan gak boleh pakai motor kalian," jawab Argan telak membuat mereka melongo tak percaya.

Sementara itu, A diam dalam seribu bahasa. Diam-diam A menampilkan senyum liciknya. 'Aku lebih pintar dari, Ayah. Motor dilarang, tapi mobil gak. Ya, 'kan," batin A dalam hati.

"Hei, Paman. Gak bisa gitu. Masa kami yanh terkenal tajir naik bus sama jalan kaki," kata Alfraid.

"Ya, terserah kalian. Oh, satu lagi jika kalian melanggar dan diam-diam menggunakan motor kalian. Percayalah Agandara Ayah akan bubarkan." Argan melirik A.

Dengan kesal A ingin mencabik-cabik Ayahnya saat ini juga, tapi tunggu ia begitu menyayangi Ayahnya. Oh, Ayah engkau sangat kejam.