~Cinta gue tulus, Jie~
Pukul 07. 00 WIB
Motor sport tersusun rapi di parkiran yang telah disediakan dikampus ternama. Bukan hanya itu, beberapa pengguna mobil yang hampor semua deretan seorang sultan. Tak sedikit pula yang hanya menggunakan motor matic.
Sama halnya dengan Agandara. Mereka sudah tiba dikampus beberapa menit yang lalu. Kini mereka sedang berada di dalam kelas. Demi menjaga identitas para sahabatnya, Master A hanya bergaul dengan Noe dan Gilang kakaknya jika berada dalam lingkup sekolah. Noe merupakan member pertama yang bergabung di Agandara.
Terkadang hanya dengan sebuah kode jika suatu hal mendesak yang memungkinkan mereka harus berkumpul. Markas yang terlalu tersembunyi, yaitu di dalam cafe milik Amon. Ruangan cafe yang terlihat diluar sangat kecil, tetapi jika di dalamnya, cafe tersebut sangat mewah. Namun, markas Agandara terletak di balik dinding cafe.
Noe mengambil buku yang ada di atas meja. Meringkuk seolah ingin menyembunyikan wajahnya di balik buku tersebut. Namun, terhalang karena Gilang yang tiba-tiba mengambil buku itu.
Noe berdecak kesal. Sejenak ia menyenggol bahu Gilang yang sibuk berbicara dengan A membuat sang empu menatapnya tajam. Nyali Noe menciut melihat tatapan tajam itu.
"Lang. Gue pinjam bukunya, boleh?" tanya Noe kepada Gilang.
Gilang menoleh diikuti oleh A. "Lo daritadi gak tenang banget. Ada cacing di pantat lo?"
Noe menggeleng pelan. Ada rasa takut tersirat di wajah lelaki itu membuat A dan Gilang langsung bertanya.
"Lo kenapa No? Gelisah gitu," tanya A.
"G-gak. Gue...." Noe menoleh ke arah lelaki seumaran mereka. "Dia ... gila." Noe menujuk lelaki itu yang tersenyum smirk ke arahnya. Gilang dan A ikut melihat lelaki yang sangat aneh itu.
"Dia daritadi ngeliatin gue dengaj wajah menyeramkannya itu. Gue takut A, Lang."
A menggertakkan giginya. Rahangnya yang kokoh itu bergetar dengan emosi di ubun-ubun. Ia ingin menghampiri lelaki itu untuk meminta penjelasan tatapannya terhadap Noe. A tidak ingin temannya merasa tidak aman dan nyaman karena tatapan itu.
Jadi, A berpikir untuk memberi lelaki itu sedikit pelajaran.
"A, udah itu. Biarin aja. Dan lo Noe gak usah takut. Dia gak bisa ngapai-ngapain lo selama kami berada di sisi lo." Gilang berusaha menenangkan dua lelaki itu. Yang satu ketakutan dan satu lagi emosian.
Sungguh sifat yang sangat bertolak belakang.
Tiba-tiba seorang dosen memasuki kelas mereka membuat semua yang sibuk dengan aktivitas mereka terpaksa berhenti. Mereka duduk dengan tenang, kecuali A. Geng motor Agandara yang melihat A dengan santainya mengangkat kaki di atas meja dengan tangan di belakang kepala.
Ruangan kelas itu menjadi sangat hening melihat tatapan dosen yang sangat tajam ke arah A. Gilang yang berada di kursi belakang A mengetok kepala A membuat lelaki itu meringis kesakitan.
"Turunin gak kaki lo!" ujar Gilang penuh penekanan.
"Gak usah khawatir kak. Santai," balas A dengan santainya.
"Alister!" bentak dosen itu, tapi A tetap memejamkan matanya tak peduli dengan bentakan sang dosen.
"ALISTER!"
Bugh!
A membuka matanya. Sorot matanya sangat tajam saat melihat sang dosen yang melempar buku yabg sangat tebal itu tepat mengenai kepalanya. Ketegangan terjadi kala kepala Alister tiba-tiba mengeluarkan darah segar.
Bukannya marah, Alister malah tersenyum. Sedangkan geng Agandara sudah bersiap-siap dengan apa yang terjadi. Alister menghampiri dosen tersebut bernama pak Joko.
Luka Alister tidak terlalu parah. Hanya memar dan darah yang mengucur sedikit saja.
"Ini akibatnya jika kamu tidak sopan!" Dosen tersebut bukannya meminta maaf karena telah berbuat di luar hukum, yaitu memukul siswa hingga berdarah. Meski tidak secara langsung, yang penting dosen tersebut yang menyebabkan luka di kepala Alister.
Jantung para Agandara sudah berdetak tak karuan. Gilang menggigiti kukunya berharap A tak melakukan di luar batas.
"Terserah gue dong pak. Mau gue gak sopan, mau sopan, itu akhlak gue ya punya gue. Bapak gak berhak menghakimi gue seperti ini. Gue bisa tuntut bapak lo dengan luka di kepala gue ini." Alister tertawa renyah ala joker membuat semuanya menjadi bingung. "HAHAHA."
Agandara menghembuskan nafas lega. Ternyata A tidak melakukan seperti yang mereka perkirakan.
Pak Joko gelegapan mendengar A akan menuntutnya dengan luka di kepalanya. Alhasil pak Joko meminta maaf.
"Maafkan bapak A. Bapak hanya kesal karena kamu tidak sopan. Bapak gak bermaksud untuk menyakitimu."
A terlihat memikirkan sesuatu. "Bisa sih pak. Asalkan bapak ngizinin gue keluar selama les bapak. Belajar sama bapak itu membosankan. Juga buat siswa yang ingin keluar dari kelas bapak selain gue harus bapak ngizinan juga."
Pak Joko terlihat tak terima dengan syarat dari A. "Tapi A, itu...."
"Oh jadi bapak gak mau? Yasudah. Siap-siap saja bapak lepas dari pekerjaan bapak."
"J-jangan A, jangan. Baiklah bapak ngizinin." Mau tak mau pak Joko menerima syarat dari murid lucknatnya itu daripada harus kehilangan pekerjaannya untuk selama-lamanya.
A tersenyum dengan licik, memberi sebuah kode kepada geng Agandara untuk segera keluar.
***
Geng Agandara sekarang sedang berada di kantin. Tak hanya ada mereka, tetapi murid lainnya yang juga ingin keluar dari les pak Joko. Kecuali perempuan tak ada yang ingin keluar.
Niel bertepuk tangan. "Lo hebat A!" Mereka manggut-manggut. Mereka memang sangat pemalas dalam hal belajar.
Semua terlihat menikmati keadaan ini, Melainkan Gilang yang berkutat dengan ekspresi sedihnya. Lantas melihat itu, A langsung menarik sang kakak dari kerumunan kantin itu.
"Kakak kenapa sedih gitu?" tanya A. Kini mereka sedang berbicara empat mata saja.
"Tidak A. Gue gak sedih. Hanya merindukanmu yang sangat pintar seperti dulu," ucap Gilang.
"Tidak ada di dunia ini yang permanen kak apalagi sifat. Tinta spidol permanen saja bisa dihapus dengan bensin apalagi sifat. Jadi, lupakan A yang dulu. Dia sudah lama meninggal."
"Ini tidak benar Alister. Kamu buat geng Agandara itu memang tidak salah, tapi perubahan lo yang amat buat gue seperti kehilangan lo. Gue mau lo seperti dulu."
A merangkul sang kakak. A mengerti apa yang diucapkan oleh Gilang.
"Tenang kak. Sesorang bisa kembali dalam wujud lamanya. Adakala A akan melakukan itu."
"Tapi sampai kapan A?"
"Sampai gue ngedapatin Jie lagi," ujar A penuh penekanan.
Akhirnya A memutuskan untuk pergi, tapi bukan ke kantin melainkan ke suatu hal yang sangat penting.
Tok! tok!
A mengetuk pintu kelas meminta izin kepada seorang dosan yang tengah sibuk mengajar. Kini lelaki gila itu berada di kelas Jie. Yaps, kalian gak salah dengar kok. Dia sekarang berada di kelaa Jie.
Terpaksa pembelajaran di dalam kelas itu terhenti.
"Ada apa ya, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang merupakan sang dosen.
"Aku mau meminta salah seorang muridmu."
Jawaban A itu membuat salah seorang gadis yang tak lain Jie gelegapan kala pandangan mereka saling bertemu. A mengedipkan matanya ke arah Jie membuat semua murid di sana sorak riuh. Mereka mengerti dengan maksud A.
Begitupun dengan dosen tersebut.
Tiba-tiba mata mereka semua melotot, melihat badboy sekolah yang diidam-idamkan para kaum hawa malah berlutut di hadapab Jie.
"Jie Adora. Bisakah kamu memberiku waktu semenit dalam banyaknya waktu dihidupmu?" Wih romantis sekaliii!
Jie, gadis itu gelegapan dengan pipi yang sudah merah merona bak kepiting rebus.
"Bisakah Jie adora?" tanya A sekali lagi.
'Ihk! Gue pengen banget digituin.'
'Uhhhh sosweetnya!'
'Gaskan Jie. Semangat!'
'Jie terima dong!'
'Seandainya gue diposisi lo Jie, gue bakal pingsan digituin ama cogan.'
"Lebay lo pada! Gue juga ganteng, kok," celetuk seorang lelaki yang merasa risih dengan bisikkan centil dari gadis-gadis itu.
'Akh! Meleleh gue bang.'
"Lonte jalanan lo!"
Jie menggelengkan kepalanya mendengar keriuhan yang terjadi. Mau tak mau Jie menerima A. Kemudian dua sejoli itu keluar dari kelas tersebut. Sementara dosen wanita itu hanya terkekeh geli melihat asmara remaja milenium sekarang.
Sekarang dua sejoli itu berada di taman kampus.
"Cepat lo mau bicarain apa? Gue gak mau buang-buang waktu hanya sekedar bicara hal konyol denganmu," ucap Jie jutek.
"Oke, gue hanya mau bilang kalo gue itu suka sama lo. Gue cinta sama lo. Apa kesalahan gue sehingga lo ngeputusin gue dua tahun yang lalu?" tanya A dengan sedih.
Wajah Jie berusaha untuk biasa-biasa saja, tetapi berbeda dengan hatinya yang berdegub sangat kencang.
"Lo itu baperan banget. Pantesan lo diduain oleh mantan pacar lo. Lo tahu gue itu gak suka sama lo. Gue hanya suka uang lo saja. Sekarang gue sudah punya pacar. Jadi, gue gak butuh lo lagi." Ucapan Jie itu benar-benar membuat hati A terenyuh. Sakit sekali.
"Tapi gue sayang sama lo. Gue gak peduli lo suka ama uang gue, harta gue, atau hanya fisik gue. Yang penting gue hanya butuh lo. Hanya butuh lo Jie."
Grep!
A ambruk seketika di dalam pelukan Jie. Lelaki itu pingsan. Lantas membuat Jie panik. Untung seseorang melewati tempat itu sehingga gadis itu meminta bantuan membopong tubuh A yang sangat besar itu.