Ben masuk ke dalam kamar Elena setelah ia mendapatkan telepon dari Arif. Begitu ia masuk, suara tangis Elena menyeruak di telinganya. Ben melihat Arif berdiri disekitar wanita itu. Ia bertukar pandang dengan Arif sesaat lalu mendekati Elena.
Arif merasa kedekatan atasannya itu adalah hal yang paling tidak ingin dilihatnya. Ia memilih keluar dan meninggalkan kamar itu.
Elena memeluk Ben begitu pria itu berdiri disampingnya. "Aku benci dengan Roy, Ben." Katanya sambil menangis. "Dia sudah keterlaluan hari ini. Dia sudah buat malu aku." Sambungnya dengan tangis yang menguasai.
Ben merapatkan pelukannya dan ia mengelus kepala wanita itu dengan lembut. Ia tidak tahu bagaimana cara menenangkannya.
"Aku gak mau ketemu dengan Roy lagi. Aku gak mau lihat dia lagi." Ucapnya dengan nada kesal.
Ben duduk disamping wanita itu dan Elena menangis didalam bahunya. "Aku akan cari cara bagaimana menjauhkan Roy dari kamu." Ujarnya yakin.
Elena tidak berkomentar. Ia masih sedih karena rasa malunya. Ben menepuk bahu Elena pelan sambil otaknya berpikir cara yang terbaik.
Beberapa menit berlalu setelah Elena menangis hebat. Ia menegakkan tubuhnya. "Aku takut turun ke bawah, Ben." Ujarnya. "Karyawan kamu pasti sudah dengar apa yang Roy bilang tadi."
Ben menggeleng. "Aku akan menjauhkan Roy dari kamu. Aku akan cari jalannya." Ia menegaskan.
Elena mengangguk pelan. Ia berterima kasih kepada pria didepannya ini.
"Kamu mau ngapain sekarang?" Tanya Ben.
"Aku dikamar aja. Aku gak berani kemana-mana." Jawab wanita itu dengan wajah murung.
Melihat sorot mata Elena yang sedih, Ben tidak tega. "Kamu mau nonton konser musik malam ini?" Ajaknya.
Elena mengerutkan keningnya.
Ben mengeluarkan tiket konser yang tadi pagi diberikan oleh promotor kepadanya. "Aku dikasi tiket ini untuk dua orang, nanti malam. Kamu mau pergi." Ada senyum kecil disana.
Elena menggeleng lemah. "Aku gak percaya diri keluar kamar. Lagipula aku gak punya baju untuk pergi nonton konser. Semua baju yang aku bawa cuma untuk kerja." Keluhnya.
Ben mengelus kepala wanita itu. "Aku punya satu baju untuk kamu." Serunya.
"Untuk aku, kenapa?"
"Dulu aku sempat beli baju ini untuk kamu, tapi belum ada waktu yang tepat untuk kasi ke kamu. Aku rasa sekarang saatnya."
Elena memeluk pria itu dengan erat. Ben pun membalasnya.
***
Ben masuk ke dalam ruang kerjanya diikuti oleh Arif dibelakanganya. Ia berjalan ke arah mejanya dan membuka salah satu laci yang paling besar disana. Ia mengambil tas jinjing bertuliskan Limoar disana. Ia melihatnya sejenak dan tampak casual floral dress itu masih ada disana. Arif sudah menebak kalau dress itu bukan milik istri atasannya, melainkan Elena. Karna hanya wanita iu yang selalu mengenakan pakaian serupa.
"Arif, saya sudah berjanji dengan Elena akan menjauhkan Roy darinya. Tapi saya rasa ide saya terlalu jahat." Ucap Ben pada pria itu.
"Apa ide anda?"
"Kamu lebih tahu kegiatan Roy selama ini bagaimana. Kamu foto semuanya lalu kamu sebarkan ke media kalau anak pemilik Sempari ternyata bejat." Jelasnya.
Arif mengerti maksud pria itu. "Saya mengerti, Pak. Biar saya yang urus untuk urusan itu." Sahutnya. Ben berjalan ke arah luar sambil membawa tas jinjing itu.
***
Dewa tiba di restorannya dan seluruh teman kerjanya sibuk membicarakan sesuatu. Ia tidak ikut nimbrung karena piringnya sudah menumpuk. Tapi karena beberapa orang menyebut nama Elena, Dewa menjadi penasaran.
"Ada apa, mbak?" Tanya Dewa dengan wajah serius.
"Enggak. Tadi siang ada laki-laki merusak galeri di lobi." Jawab seorang wanita muda dengan seragam pelayan. Tertulis Lilis disana.
"Laki-lakinya siapa?"
"Gak tahu, ada yang bilang orang gila, ada yang bilang mantannya Ibu Elena, ada yang bilang musuh bisnisnya. Gak jelas." Lilis mengangkat bahunya.
"Terus siapa yang menolong Ibu Elena?" Tanyanya. Bagian ini adalah bagian yang paling penting.
"Satpam."
"Pak Ben gak ada?" Ia menyebut nama itu dengan yakin.
Lilis menggelengkan kepalanya, " Enggak ada. Hari ini belum ada lihat dia lewat di lobi." Sahutnya.
Dewa lega. Ia tidak melanjutkan obrolan itu karena Ben tidak ada disana. Dan ia tidak perlu terlalu khawatir.
Setelah nenyelsaikan tumpukan cucian piringnya, Dewa membawa trolley piring kotornya ke arah depan dan memungutnya. Ia melihat sekilas ke arah galeri Elena dan tampak jendela bagian depannya bolong dan masih menyisakan pecahan disana.
"Dewa, bisa tolong antarkan makanan ke lantai atas?" Tanya manajer restoran itu.
"Bisa, mas." Ia menganggukkan kepalanya. Dewa meletakkan trolley piring kotornya dan membawa trolley manakan menuju lift.
"Ini daftranya ya." Manajernya memberikan sebuah kertas berisikan nomor kamar yang memesan makanan itu. Diantaranya lantai 11, 16, 18 dan 19.
Dewa menekan angka 11 pada tombol lift itu. Hanya ada dirinya dan dua orang lainnya didalam itu. Lift berhenti di lantai 6 dan Ben masuk ke dalamnya. Mereka bertukar senyuman.
"Mau kemana mas?" Tanya Dewa.
"Ke lantai tujuh belas." Jawabnya sambil menekan angka itu. Ia menoleh ke belakang. "Kamu kemana?"
"Antar makanan, mas." Sahutnya. Ia memperhatikan Ben dari belakang. "Ngapain mas ke lantai tujuh belas?" Tanyanya balik mencoba lebih detil.
"Teman saya ada yang kebetulan menginap disana." Ben menoleh ke belakang dan memberikan senyumannya.
Pintu lift terbuka di lantai sebelas. Ben menggeser tubuhnya memberikan ruang pada Dewa untuk keluar. "Duluan ya, mas." Pamitnya. Ben menepuk bahu bocah itu pelan.
Setelah pintu lift tertutup, Dewa menoleh ke belakang sambil menebak-nebak siapa teman Ben yang ditemui oleh pria itu. Entah kenapa ia begitu ingin tahu.
Selang beberapa menit, Dewa kembali masuk ke dalam lift menuju lobi. Namun lift yang dinaikinya berhenti di lantai tujuh belas. Dewa terdiam ketika ia melihat Elena masuk ke dalam lift itu dengan pakaian rapi dengan dress floral dan tas kecil. Seketika Dewa teringat Ben yang sebelumnya juga menuju lantai tujuh belas. Dan semua ingatannya tentang Elena menyeruak keluar.
Dewa menaruh curiga sangat besar saat ini pada Elena. Ia memperhatikan wanita itu dari belakang. Pikirannya penuh dengan tebakan kemana wanita itu akan pergi. Lift itu berhenti di lobi dan Dewa mendorong kereta makanannya keluar. Ia menoleh sekilas dan melihat Elena. Wanita itu memberikan sentuhan make-up pada wajahnya. Bahkan aroma parfumnya juga menyerbak.
Dewa meletakkan kereta makannya agak menepi dan ia berlari menuju tangga darurat menuju basemen. Saat ia sampai di tangga paling bawah, ia langsung mengintip ke arah parkiran. Benar saja, Dewa melihat Elena berjalan dengan terburu-buru dan menutup wajahnya memasuki sebuah mobil yang dikenalinya, mobil Ben. Dan wanita itu duduk dikursi depan. Dewa merasakan emosinya mendidih saat melihat kedua orang itu. Mobil itu melaju meninggalkan basemen. Dewa mengepalkan tangannya dengan kuat. Terbayang dibenaknya wajah manis wali kelasnya yang tertawa dan berubah sedih jika mengetahui apa yang dilihatnya.
***
Roy masuk ke dalam club di Hotel Aryiz. Ia sangat stress hari ini. Bahkan temu janji pembuatan tatonya batal karena ia sedang tidak ingin membuatnya. Ia ingin bertemu dengan Elena tapi wanita itu bersembunyi didalam Hotel Malpis. Sedangkan dirinya, sudah tidak bisa masuk ke dalam Hotel itu karena penjagaan yang ketat.
Roy butuh pelampiasan dan pelarian saat ini. Ia duduk disalah satu sudut dan memesan minumannya. Ia meneguknya beberapa kali agar bebannya berkurang.
Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri Roy dan duduk disampingnya. Wanita itu memberikannya tatapan menggoda. Roy langsung terpancing dan perhatiannya tertumpu disana. Senyuman menyeringainya naik dan ia ingin melampiaskannya sekarang juga.
Seorang pria mengintip dari balik dinding dengan membawa kameranya. Ia mengintip ke arah Roy dan siap memotret apapun yang akan pria itu lakukan.
Roy turun dari kursinya dan mendekat ke arah wanita itu lalu memegang tangannya dengan kuat. Wanita itu kaget dengan perlakuan Roy. Senyuman di wajahnya menghilang dan berubah ketakutan. Ia melepaskan tangan cowok itu dan pergi dari sana.
Senyuman fotograper itu menukik naik. Ia mendapatkan apa yang seharusnya. Ia menjepret semua perlakuan kasar Roy pada wanita itu. Pria itu tidak melewatkan apapun.
Roy tidak membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Ia menarik tangan jenjang itu ke dalam pelukannya. Wanita itu menolak tubuh Roy dengan kuat hingga terlepas. "Dasar gila!" Makinya.
Roy menahan wanita itu lagi dengan cengkramannya yang keras. Wanita itu menampar Roy menggunakan sisa tenaganya. Cengkraman tangan Roy terlepas karena ia memegang pipinya. Wanita itu pergi begitu saja.
Setelah rasa mendapatkan gambar yang diminta oleh kliennya, pria itu pergi meninggalkan club dengan hati-hati.
Roy kehilangannya wanita itu. Ia mengacak rambutnya yang sudah berantakan. Ia menghabiskan minumannya. Roy membuka ponselnya dan menelepon seseorang.
"Halo!" Sapanya tegas. "Kirim gue sekarang juga seperti biasa. Gue butuh sekarang!" Ucapnya yakin.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.