Alekta seharian sama sekali tidak ke luar rumah, dia temani oleh Casandra. Sebenarnya dia merasa bosan karena tidak bisa ke mana-mana.
"Sepertinya aku harus kembali ke rumah," ujar Casandra pada Alekta yang sedang membaca majalah.
"Ada apa? Apakah terjadi sesuatu?" tanya Alekta padanya.
"Tidak tahu. Ibu menyuruhku untuk segera pulang ke rumah," jawabnya sembari mengambil tas dan ponselnya.
Casandra pun memeluk Alekta lalu mengucapkan selamat tinggal. Dia berjalan meninggalkan kamar Alekta dengan rasa penasaran sebenarnya apa yang sudah terjadi.
Setelah kepergian Casandra Alekta terlelap, dia tidak menyadari jika hari sudah malam. Kedua orang tuanya pun sudah tiba di rumah.
Alekta terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu kamar. Dia membuka kedua matanya meski masih terasa berat.
"Masuk," ucapnya pada seseorang yang berada di balik pintu kamarnya.
Seorang pelayan wanita membuka pintu kamar lalu dia berjalan masuk. Dia melihat sang nona yang masih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Ada apa?" tanya Alekta pada pelayan itu.
"Tuan dan nyonya sudah menunggu Nona di bawah," jawab pelayan itu.
"Baiklah. Aku akan ke sana, kau bisa pergi dan lanjutkan pekerjaanmu!" ujar Alekta padanya sembari beranjak dan berjalan menuju kamar mandi.
Pelayan itu pun berjalan keluar lalu menutup pintu kamar. Dia pun kembali menyelesaikan semua pekerjaannya.
Alekta mencuci wajahnya agar terlihat segar, meski sebenarnya dia masih merasa kantuk yang begitu besar. Setelah mencuci wajahnya dia mengelapnya dengan handuk.
Dia pun berjalan ke luar dari kamar mandi lalu menatap cermin melihat wajahnya sekilas. Hatinya merasa tidak enak, apakah hari ini akan terjadi sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
Namun, dia menghempaskan semua itu lalu berjalan ke luar kamar dan menuju ayah serta ibu berada. Di bawah itu artinya mereka berdua sedang berada di ruang keluarga.
Alekta menuruni anak tangga dia melihat sekilas kedua orang tuanya sedang duduk di atas sofa sembari mengobrol. Entah apa yang dibicarakan mereka berdua tetapi terlihat dari raut wajah sang ibu yang sangat serius.
"Duduklah!" perintah ayah yang melihat Alekta berjalan mendekat.
Tanpa banyak bicara Alekta pun duduk tepat di seberang ayah dan ibunya. Dia tidak berani menatap wajah sang ayah yang selalu memberikan apa saja yang diinginkannya.
"Ada yang ingin ayahmu katakan," ucap ibu yang memulai pembicaraan.
Alekta hanya diam, dia benar-benar tidak sanggup untuk menatap kedua mata sang ayah. Dia kembali teringat akan malam itu, yang membuat sang ayah begitu kecewanya.
"Dalam waktu dekat ini kamu akan menikah. Suka tidak suka kamu tetap harus menikah dengan orang yang sudah Ayah pilihkan untukmu," ungkap ayah dengan nada tenang dan tegas.
"Apa?" ucap Alekta yang langsung mengangkat kepala dan menatap ayahnya.
Dia begitu terkejut dengan apa yang ayahnya katakan. Ditatapnya kedua mata sang ayah guna melihat apakah semua ini serius lalu dia menatap mata sang ibu. Semuanya tidak dalam mode bercanda, apakah benar serius.
"Kamu harus menikah dengan pria itu dan jangan coba-coba untuk menentang semua ini. Jika tidak ingin membunuh ayahmu!" sambung ibu dengan nada penekanan.
Sebenarnya sang ibu tidak ingin mengatakan semua ini. Namun, apa daya semua itu harus dilakukan demi kebaikan dan kebahagiaan Alekta.
"Aku ... aku mencintai dia. Aku hanya ingin menikah dengannya," ucap Alekta yang membuat ayah geram.
"Cinta? Apa itu cinta hingga kau menyerahkan semuanya pada dia? Apa itu cinta yang kamu pikirkan?!" pekik ayah.
Alekta terperanjat saat ayah mengatakan semua itu. Apakah selama ini ayahnya sudah tahu tentang hubungan mereka berdua yang sudah terlanjur dalam.
"Tapi, Yah...,"
"Tidak ada tapi-tapi! Seorang juga hilangkan semua rasa cintamu itu padanya. Dia bukan orang yang pantas untukmu!" sela ayah seraya tidak ingin ada bantahan lagi.
"Jika kamu sayang Ayah dan Ibu, lakukan apa yang kami inginkan. Ini adalah permintaan pertama dan terakhir kami sebagai orang tuamu," pinta ibu pada Alekta.
Mendengar itu Alekta terdiam, baru kali ini sang ibu bertanya seperti itu. Hatinya sungguh tidak sanggup lagi untuk membantah.
"Berikan aku waktu untuk berpikir," Alekta berkata sembari beranjak dan berjalan meninggalkan ayah serta ibunya.
Ayah hendak beranjak dan mengejar Alekta tetapi ibu memegang tangan ayah seraya berkata untuk memberikan waktu pada Alekta. Sang ibu tidak ingin ada perdebatan yang hebat antara suami dan putrinya.
Alekta berjalan perlahan menuju kamarnya, dia tidak memiliki tenaga lagi berpikir. Ingin rasanya dia menghempaskan semua yang ada di dalam otaknya.
Dia menaiki anak tangga, kedua kakinya terasa lemas dan dia akan terjatuh. Untung saja ada seorang pelayan yang memegangi Alekta.
"Nona, apakah Nona baik-baik saja?" Pelayan itu bertanya pada Alekta, dia begitu khawatir dengan sang nona.
Alekta tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh sang pelayan. Dia hanya diam, pandangannya kosong, pelayan itu pun langsung memapah Alekta menuju kamarnya.
"Nona, saya akan bawakan minuman untuk Anda ya," Pelayan itu berkata lalu berjalan keluar dari kamar Alekta.
Dia benar-benar khawatir dengan keadaan nonanya, di tengah jalan pelayan itu bertemu dengan Ibu Angela.
"Ada apa? Kau terlihat khawatir?" tanya Ibu Angela pada pelayan itu.
"Nona...," jawabnya.
"Ada apa dengan Alekta?!" Ibu Angela bertanya dengan nada khawatir.
Pelayan itu pun menceritakan apa yang baru saja terjadi. Setelah mengatakan itu, dia pamit untuk kembali ke dapur dan membuatkan minuman untuk Alekta.
Ibu Angela mengangguk lalu berjalan menuju kamar Alekta. Dia ingin melihat bagaimana keadaannya setelah mengetahui apa yang diinginkan olehnya dan suaminya.
Diketuknya pintu kamar Alekta tetapi tidak terdengar suara sang putri. Dia pun langsung membuka pintu kamar Alekta.
Berjalan memasuki kamar putrinya, Ibu Angela melihat Alekta yang hanya duduk terpaku. Dia berjalan mendekat lalu duduk di sampingnya.
"Apa kamu kecewa dengan keputusan kami?" Ibu bertanya sembari memegang tangan Alekta dengan lembut.
Alekta masih terdiam, dia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya. Ibu Angela pun kembali bertanya dan sedikit menggoyangkan pundak putrinya itu.
Terdengar suara tangisannya dari putrinya itu, tidak lama kemudian tangisan itu menyeruak. Dia langsung memeluk Alekta dengan erat.
"Aku sangat mencintainya, Bu. Mengapa aku tidak berhak bersama dengannya?" Alekta bertanya sembari menangis.
"Dia tidak pantas untukmu, ayahmu juga tahu. Itu sebabnya mengapa kami berdua tidak merestui hubungan kalian," jawab Ibu Angela dengan lirih.
Alekta terus menangis dan meluapkan semua yang ada di hatinya. Namun, semua itu tidak ada gunanya karena semua sudah diputuskan.
Apa yang sudah diputuskan oleh ayah tidak akan bisa diganggu gugat lagi. Saat Alekta menyiapkan semua kelu kesahnya. Di balik pintu ada seorang yang tadinya berniat untuk mengetuk pintu. Namun, diurungkannya.
Orang itu merasa sedih dengan apa yang sudah didengarnya. "Apakah keinginanku itu telah membuatnya menderita?"